SIDANG MK TENTANG KEABSAHAN JAKSA AGUNG HENDARMAN SUPANDJI

Pentingnya Belajar Ilmu Tata Negara.....



KELAKUAN BUYUNG DAN DENY INDRAYANA DI SIDANG MK

Hari Selasa 24 Agustus 2010 kemarin, Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan, mendengarkan keterangan ahli dan saksi baik dari Presiden maupun dari Pemohon. Presiden diwakili oleh Menhukham Patrialis Akbar, yang baru muncul setelah banyak dipojokkan media, dan Kepala BPHN Prof Ahmad Ramly serta Dr Fahmi Nasution dari Kejaksaan Agung. Presiden kali ini mengajukan empat “ahli”: Dr. Denny Indrayana, Dr. Adnan Buyung Nasution, Prof. Philipus Hadjon, Ahmad Rustandi dan Dr Muhammad Fadjrul Fallakh. Saya selaku pemohon mengajukan dua orang, satu ahli, yakni Prof. HAS Natabaya dan satu saksi fakta, Prof. Dr. Erman Radjagukguk. DPR sejak awal tidak menunjuk wakil menghadiri sidang uji materil UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ini.
Ketua MK Prof. Muhammad Machfud mempersilahkan saya selaku pemohon membacakan afidavit dari Prof. Dr Erman Radjaguguk selalu mantan Wakil Sekretaris Kabinet (Waseskab), tentang fakta yang diketahuinya sehubungan dengan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung, selama dia menjadi Waseskab. Menurut Prof Erman, yang berkali-kali mempersiapkan Keppres pengangkatan anggota Kabinet dan membacakan Keppres itu dalam upacara pelantikan di istana, Jaksa Agung selalu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bersamaan dengan pengangkatan dan pemberhentian seluruh anggota kabinet. Fakta yang disaksikan Erman ialah terjadi pada masa Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susio Bambang Yudhoyono, sampai pengangkatan jaksa agung Abdul Rahman Saleh. Setelah itu, Erman tidak aktif lagi menjadi Waseskab.

“Pengecualiannya hanya terjadi jika ada jaksa agung yang diberhentikan”, kata Erman. Dia memberi contoh pemberhentian Jaksa Agung Andi Ghalib, yang kemudian diagantikan secara ad interim oleh Ismudjoko. Namun jaksa agung yang baru ini mengisi sisa masa jabatan jaksa agung yang digantikannya. Jadi, kata Erman, tradisi yang terjadi selama dia ketahui selama menjadi Waseskab, masa jabatan Jaksa Agung adalah lima tahun, sama dengan masa jabatan angota kabinet. Sebab kata Erman, Jaksa Agung adalah anggota kabinet. Pengangkatan Jaksa Agung dituangkan dalam satu Keppres, yakni Keppres tentang pembentukan kabinet.

Prof. Natabaya dalam kesaksiannya mengutip teori Prof JHA Logemann, ahli hukum Belanda yang pernah menjadi guru besar Rechts Hoogeschool atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia zaman dulu. Dalam pandangan hukum tatanegara dan administrasi negara, negara kata Logemann sungguhnya adalah “ambt organisatie” atau “organisasi jabatan. Jabatan adalah abstrak dan diatur di dala hukum yang berlaku. Karena abstrak, jabatan tidak dapat berbuat apa-apa melainkan dilakukan oleh “ambtsdragen” atau pemangku jabatan, atau “pejabat” dalam istilah sekarang. Jabatan adalah abadi, sementara pejabat silih berganti. Pejabat dalam struktur ketatanegaraan dan administrasi negara, kata Logemaan, terikat kepada “termijn”, yakni jangka waktu tertentu yang menegaskan berapa lama pejabat itu memangku jabatannya. Kejaksaan adalah organ hukum tatanegara dan sekaligus organ hukum administrasi negara dalam ranah eksekutif. Dalam negara hukum dan demokrasi, tidak dapat dibenarkan adanya jabatan eksekutif tanpa batas waktu. Prof. Natabaya, menafsirkan bahwa karena dalam praktek, dan juga konsideran Kepperes 187/M Th 2004 dan Keppres 31/P Th 2007 dengan jelas menyebutkan masa bakti kabinet adalah tahun 2004 – 2009, maka jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang diangkat menjadi “Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu” dengan “kedudukan setingkat menteri negara”, maka jabatan Hendarman terang benderang berakhir tanggal 20 Oktober 2009, bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden dan masa bakti kabinet. Sementara kedudukan Hendarman sekarang, tidak ada landasan hukumnya, karena dia tak pernah diangkat lagi oleh Presiden menjadi jaksa agung setelah jabatannya berakhir 20 Oktober 2009.

Ahli-ahli yang ditampilkan Presiden yang pertama tampil adalah Ahmad Rustandi. Penjelasannya sederhana, Hendarman bagi Rustandi tetap sah menjadi Jaksa Agung, karena dalam Keppres 183/P Tahun 2009 tanggal 20 Oktober 2009 yang membubarkan Kabinet Indonesia Bersatu dan memberhentikan semua anggotanya, kecuali Hendarman Supandji. Pendapat yang sama dikemukakan semua ahli dari Pemerintah. Prof. Hadjon menambahkan, bahwa secara de fakto Presiden masih “memakai” Hendarman sebagai Jaksa Agung, maka jabatannya tetap sah. Hadjon menolak argumen Natabaya karena Keppres 187 dan 31 menyebutkan batas waktu jabatan Jaksa Agung ialah 20 Oktober 2009. maka meskipun tidak diberhentikan, namun demi hukum, jabatan itu berakhir. Semua ahli Pemerintah berpegang pada alasan ini, Hendarman tidak diberhentikan oleh Presiden SBY tanggal 20 Oktober 2009, sehingga dia tetap sah.

Semua ahli Pemerintah ini menyatakan, karena UU No 16 Tahun 2004 tidak mengatur masa jabatan jaksa agung, maka jabatan jaksa agung dapat saja dijabat seumur hidup. Ini berarti Hendarman Supandji, jaksa agung sekarang ini bisa menjadi Jaksa Agung “ila yaumil qiayamah” kalau tidak mati duluan. Buyung dan Denny Indrayana berdalih, jabatan seumur hidup tidaklah bertentangan dengan asas negara hukum dan demokrasi. Di Amerika Serikat, kata Denny, hakim agung diangkat untuk jabatan seumur hidup. Apa Amerika bukan negara demokrasi? Denny sepertinya lupa, bahwa di Amerika itu hanya jabatan yudikatif, yakni hakim agung saja, yang dijabat seumur hidup, setelah kredebilitasnya sebagai hakim dari bawah memang teruji kehandalan, kejujuran dan keadilannya. Namun Jaksa Agung — yakni jabatan eksekutif – seumur hidup belum ada contohnya di dunia ini. Barangkali Hendarman Supandji akan jadi proyek uji coba Jaksa Agung seumur hidup oleh pemerintah SBY.

Saya selaku pemohon kemudian bertanya kepada Adnan Buyung Nasution. Dalam Pasal 14 UU Wantimpres disebutkan bahwa jabatan Wantimpres berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden. Apakah tanggal 20 Otober 2009, ketika jabatan Presiden SBY berakhir, Saudara Buyung diberhentikan atau tidak oleh Presiden? Dalam pengamatan saya, selama empat bulan sejak 20 Oktober, Saudara Buyung masih tampil sebagai Wantimpres, padahal menurut UU jabatan itu sudah berakhir. Apakah ini juga didasarkan pada pendapat bahwa selama Keppresnya belum dicabut, meskipun melanggar UU, jabatan Buyung sebagai Wantimpres tetap sah? Buyung tidak mau menjawab pertanyaan ini, demikian pula Denny Indrayana. Pertanyaan yang sama saya tanyakan kepada Prof. Hadjon yakni kasus Prof Harun Al Rasid, yang diangkat Presiden Gus Dur menjadi penasehat hukumnya. Meskipun Gus Dur sudah lama tidak menjadi Presiden lagi, bahkan beliau sudah wafat searang, namun Prof Harun masih merasa dirinya sebagai penasehat Presiden, karena Keppres pengangkatannya belum dicabut. Prof. Hadjon juga tidak menjawab pertanyaan ini.

Buyung dan Denny mengatakan bahwa jaksa agung bukanlah menteri, hanya pejabat setingkat menteri, karena itu jabatan Jaksa Agung tidak harus berakhir bersama-sama dengan kabinet. Buyung bahkan mengatakan penyebutan setingkat menteri itu hanya untuk pemberian gaji, tunjangan dan protokoler belaka. Saya mengatakan bahwa bahwa jaksa agung bukan menteri, tetapi pejabat setingkat menteri, hal itu memang jelas. Namun yang penting ialah, menteri dan pejabat setingkat menteri itu anggota kabinet, karena itu jabatan mereka berakhir bersama-sama. Buyung dan Denny ternyata tidak dapat membedakan antara “pejabat dengan kedudukan setingkat menteri negara” dengan “pejabat yang mendapat gaji, tunjangan dan fasilitas setingkat menetri negara”. Yang terakhir ini ialah Wantimpres, Gubernur Lemhanas, dan Ketua Kelompok Kerja Presiden Kuntoro sekarang ini. Kalau ini jelas bukan anggota kabinet.

Dalam keterangannya Buyung Nasution mengatakan kecewa dengan sikap saya selaku pemohon yang mempermasalahkan keabsahan Jaksa Agung, dengan dalil-dali yang bersifat asumtif dan absurd. Saya menyampaikan keberatan (Objection) atas pernyataan Buyung, karena sebagai “ahli” dia menyalahgunakan kesempatan untuk menilai permohonan pemohonan. Sebagai ahli dia harus netral. Namun, saya menyatakan kekecewaan yang lebih besar kepada Buyung atas sikapnya yang tidak tahu diri. Ketika Keppres 31/P Tahun 2007 dan Keppres 183/P Tahun 2009 dirumuskan, Buyung adalah anggota Wantimpres dan Denny adalah Staf Khusus Presiden. Kedua mereka sebenarnya adalah staf Presiden yang ikut bertanggungjawab dalam melahirkan kedua Keppres yang kontroversial tentang status Jaksa Agung itu. Orang yang terlibat dalam proses penyusunan Keppres itu, sebenarnya tidak pantas dihadirkan oleh Presiden sebagai ahli ke sidang MK. Mereka sudah pasti akan membela diri dan membela Presiden. Ahli adalah akademisi yang netral dan tidak berpihak.

Saya sengaja tidak mau mempersoalkan kehadiran Buyung dan Denny yang ditampilkan sebagai “ahli” itu. Saya khuatir kalau menyatakan keberatan, saya akan dimanipulasi seolah takut dengan kedua manusia itu. Padahal sedikitpun saya tidak pernah merasa takut dengan mereka. Bukan sekali dua saya berdebat dengan Buyung, bahkan di MK dalam suatu perkara yang lain. Saya dapat mengukur apa isi kepalanya. Jadi biarkan saja mereka hadir sebagai saksi, sekalian juga untuk melihat apakah mereka tahu diri atau tidak. Nyatanya mereka terus saja hadir sebagai “ahli” juga, walau Denny, ketika berpolemik dengan saya di Koran Sindo, mengaku dia adalah salah seorang yang ikut menyusun Keppres yang diperkarakan di MK itu. Kalau ikut nyusun mestinya duduk sama-sama Menhukham Patrialis Akbar, yakni di deretan kursi Pemerintah untuk membela Presiden. Kok, malah ditampilkan sebagai ahli, mau lagi. Karena mau, maka kelakuan Buyung dan Denny akhirnya benar-benar malu-maluin.****

SOURCE : YUSRIL IHZA MAHENDRA BLOG