JAKSA AGUNG MENURUT DENNY INRAYANA,ADNAN BUYUNG DAN YUSRIL

Buyung dan Denny mengatakan bahwa jaksa agung bukanlah menteri, hanya pejabat setingkat menteri, karena itu jabatan Jaksa Agung tidak harus berakhir bersama-sama dengan kabinet. Buyung bahkan mengatakan penyebutan setingkat menteri itu hanya untuk pemberian gaji, tunjangan dan protokoler belaka. Saya mengatakan bahwa bahwa jaksa agung bukan menteri, tetapi pejabat setingkat menteri, hal itu memang jelas. Namun yang penting ialah, menteri dan pejabat setingkat menteri itu anggota kabinet, karena itu jabatan mereka berakhir bersama-sama. Buyung dan Denny ternyata tidak dapat membedakan antara “pejabat dengan kedudukan setingkat menteri negara” dengan “pejabat yang mendapat gaji, tunjangan dan fasilitas setingkat menetri negara”. Yang terakhir ini ialah Wantimpres, Gubernur Lemhanas, dan Ketua Kelompok Kerja Presiden Kuntoro sekarang ini. Kalau ini jelas bukan anggota kabinet.

Dalam keterangannya Buyung Nasution mengatakan kecewa dengan sikap saya selaku pemohon yang mempermasalahkan keabsahan Jaksa Agung, dengan dalil-dali yang bersifat asumtif dan absurd. Saya menyampaikan keberatan (Objection) atas pernyataan Buyung, karena sebagai “ahli” dia menyalahgunakan kesempatan untuk menilai permohonan pemohonan. Sebagai ahli dia harus netral. Namun, saya menyatakan kekecewaan yang lebih besar kepada Buyung atas sikapnya yang tidak tahu diri. Ketika Keppres 31/P Tahun 2007 dan Keppres 183/P Tahun 2009 dirumuskan, Buyung adalah anggota Wantimpres dan Denny adalah Staf Khusus Presiden. Kedua mereka sebenarnya adalah staf Presiden yang ikut bertanggungjawab dalam melahirkan kedua Keppres yang kontroversial tentang status Jaksa Agung itu. Orang yang terlibat dalam proses penyusunan Keppres itu, sebenarnya tidak pantas dihadirkan oleh Presiden sebagai ahli ke sidang MK. Mereka sudah pasti akan membela diri dan membela Presiden. Ahli adalah akademisi yang netral dan tidak berpihak.

Saya sengaja tidak mau mempersoalkan kehadiran Buyung dan Denny yang ditampilkan sebagai “ahli” itu. Saya khuatir kalau menyatakan keberatan, saya akan dimanipulasi seolah takut dengan kedua manusia itu. Padahal sedikitpun saya tidak pernah merasa takut dengan mereka. Bukan sekali dua saya berdebat dengan Buyung, bahkan di MK dalam suatu perkara yang lain. Saya dapat mengukur apa isi kepalanya. Jadi biarkan saja mereka hadir sebagai saksi, sekalian juga untuk melihat apakah mereka tahu diri atau tidak. Nyatanya mereka terus saja hadir sebagai “ahli” juga, walau Denny, ketika berpolemik dengan saya di Koran Sindo, mengaku dia adalah salah seorang yang ikut menyusun Keppres yang diperkarakan di MK itu. Kalau ikut nyusun mestinya duduk sama-sama Menhukham Patrialis Akbar, yakni di deretan kursi Pemerintah untuk membela Presiden. Kok, malah ditampilkan sebagai ahli, mau lagi. Karena mau, maka kelakuan Buyung dan Denny akhirnya benar-benar malu-maluin.****


SOURCE BLOG YUSRIL IHZA MAHENDRA