KUMPULAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI




UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST
CORRUPTION, 2003
UU RI NOMOR 7 TAHUN 2006
UU RI NOMOR 30 TAHUN 2002
PENJELASAN UU RI NOMOR 30 TAHUN 2002
UU RI NOMOR 31 TAHUN 1999
UU RI NOMOR 20 TAHUN 2001
UU RI NOMOR 28 TAHUN 1999
PENJELASAN UU RI NOMOR 28 TAHUN 1999

Diterbitkan oleh:

DIREKTORAT PEMBINAAN KERJA ANTAR KOMISI DAN INSTANSI
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI


Penterjemah : Biro Hukum dan Direktorat PJKAKI
Penyusun : Direktorat PJKAKI
Desain Sampul : Direktorat Dikyanmas
Editor : Direktorat Dikyanmas
Hak cipta desain poster dan ilustrasi grafis dilindungi oleh undang-undang.
TIDAK UNTUK DIPERJUAL BELIKAN

DAFTAR ISI

UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSAMENENTANG KORUPSI,
2003)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2006
TENTANG PENGESAHAN UNITED NATION CONVENTION AGAINST
CORRUPTION, 2OO3 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
ANTI KORUPSI, 2003)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002
TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI ......... 95
PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30
TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI...................................................................................................... 117
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI..................... 129
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN
1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI............ 141
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999
TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI
KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME ....................................................... 153
PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28
TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN
BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME................................ 163
DIREKTORAT PEMBINAAN JARINGAN KERJA ANTAR KOMISI DAN INSTANSI
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
2006
TIDAK UNTUK DIPERJUAL BELIKAN
4
5
JUARA I
LOMBA POSTER KPK
KATEGORI UMUM
6
JUARA I
LOMBA POSTER KPK
KATEGORI MAHASISWA
7
UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSAMENENTANG
KORUPSI, 2003)
(Terjemahan Tidak Resmi)
Preamble Pembukaan
The States Parties to this Convention, Negara-Negara Pihak pada Konvensi ini,
Concerned about the seriousness of
problems and threats posed by corruption
to the stability and security of societies,
undermining the institutions and values of
democracy, ethical values and justice
and jeopardizing sustainable
development and the rule of law,
Prihatin atas keseriusan masalah dan
ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi
terhadap stabilitas dan keamanan
masyarakat yang merusak lembagalembaga
dan nilai-nilai demokrasi, nilainilai
etika dan keadilan serta
mengacaukan pembangunan yang
berkelanjutan dan penegakan hukum,
Concerned also about the links between
corruption and other forms of crime, in
particular organized crime and economic
crime, including money-laundering,
Prihatin juga atas hubungan antara
korupsi dan bentuk-bentuk lain
kejahatan, khususnya kejahatan
terorganisir dan kejahatan ekonomi,
termasuk pencucian uang,
Concerned further about cases of
corruption that involve vast quantities of
assets, which may constitute a
substantial proportion of the resources of
States, and that threaten the political
stability and sustainable development of
those States,
Prihatin lebih lanjut atas kasus-kasus
korupsi yang melibatkan jumlah aset
yang besar yang dapat merupakan
bagian penting sumber-daya Negara, dan
yang mengancam stabilitas politik dan
pembangunan yang berkelanjutan
Negara tersebut,
Convinced that corruption is no longer a
local matter but a transnational
phenomenon that affects all societies and
economies, making international
cooperation to prevent and control it
essential,
Meyakini bahwa korupsi tidak lagi
merupakan masalah lokal, tetapi
merupakan fenomena internasional yang
mempengaruhi seluruh masyarakat dan
ekonomi, yang menjadikan kerja sama
internasional untuk mencegah dan
mengendalikannya sangat penting,
Convinced also that a comprehensive
and multidisciplinary approach is required
to prevent and combat corruption
effectively,
Meyakini juga bahwa suatu pendekatan
yang komprehensif dan multidisipliner
diperlukan untuk mencegah dan
memberantas korupsi secara efektif,
Convinced further that the availability of
technical assistance can play an
Meyakini lebih lanjut bahwa keberadaan
bantuan teknis dapat memainkan
8
important role in enhancing the ability of
States, including by strengthening
capacity and by institution-building, to
prevent and combat corruption
effectively,
peranan yang penting dalam
meningkatkan kemampuan Negara,
termasuk dengan memperkuat kapasitas
dan dengan peningkatan kemampuan
lembaga untuk mencegah dan
memberantas korupsi secara efektif,
Convinced that the illicit acquisition of
personal wealth can be particularly
damaging to democratic institutions,
national economies and the rule of law,
Meyakini bahwa perolehan kekayaan
pribadi secara tidak sah dapat secara
khusus merusak lembaga-lembaga
demokrasi, sistem ekonomi nasional, dan
penegakan hukum,
Determined to prevent, detect and deter
in a more effective manner international
transfers of illicitly acquired assets and to
strengthen international cooperation in
asset recovery,
Berketetapan untuk mencegah,
mendeteksi, dan menghambat dengan
cara yang lebih efektif transfer
internasional aset yang diperoleh secara
tidak sah dan untuk memperkuat kerja
sama internasional dalam pengembalian
aset,
Acknowledging the fundamental
principles of due process of law in
criminal proceedings and in civil or
administrative proceedings to adjudicate
property rights,
Mengakui prinsip-prinsip dasar prosedur
hukum dalam proses pidana dan perdata
atau proses administratif untuk mengadili
hak-hak atas kekayaan,
Bearing in mind that the prevention and
eradication of corruption is a
responsibility of all States and that they
must cooperate with one another, with
the support and involvement of
individuals and groups outside the public
sector, such as civil society, nongovernmental
organizations and
community-based organizations, if their
efforts in this area are to be effective,
Mengingat bahwa pencegahan dan
pemberantasan korupsi merupakan
tanggung jawab semua Negara dan
bahwa Negara-negara harus saling
bekerja sama, dengan dukungan dan
keterlibatan orang-perorangan dan
kelompok di luar sektor publik, seperti
masyarakat madani, organisasi nonpemerintah,
dan organisasi
kemasyarakatan agar upaya-upaya
dalam bidang ini dapat efektif,
Bearing also in mind the principles of
proper management of public affairs and
public property, fairness, responsibility
and equality before the law and the need
to safeguard integrity and to foster a
culture of rejection of corruption,
Mengingat juga prinsip-prinsip
pengelolaan yang baik urusan-urusan
publik dan kekayaan publik, keadilan,
tanggung jawab, dan kesetaraan di
muka hukum dan kebutuhan untuk
menjaga integritas dan untuk
meningkatkan budaya penolakan
terhadap korupsi,
Commending the work of the
Commission on Crime Prevention and
Criminal Justice and the United Nations
Office on Drugs and Crime in preventing
Menghargai hasil kerja Komisi
Pencegahan Kejahatan dan Peradilan
Pidana dan Kantor Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk Obat Terlarang
dan Kejahatan dalam mencegah dan
9
and combating corruption, memberantas korupsi,
Recalling the work carried out by other
international and regional organizations
in this field, including the activities of the
African Union, the Council of Europe, the
Customs Cooperation Council (also
known as the World Customs
Organization), the European Union, the
League of Arab States, the Organisation
for Economic Cooperation and
Development and the Organization of
American States,
Mengingat hasil kerja organisasiorganisasi
internasional dan regional
lainnya dalam bidang ini, termasuk
kegiatan-kegiatan Uni Afrika, Dewan
Eropa, Dewan Kerja sama Kepabeanan
(juga dikenal sebagai Organisasi
Kepabeanan Dunia), Uni Eropa, Liga
Negara- Negara Arab, Organisasi untuk
Kerja sama Ekonomi dan
Pembangunan dan Organisasi Negara-
Negara Amerika,
Taking note with appreciation of
multilateral instruments to prevent and
combat corruption, including, inter alia,
the Inter-American Convention against
Corruption, adopted by the Organization
of American States on 29 March 1996,1
the Convention on the Fight against
Corruption involving Officials of the
European Communities or Officials of
Member States of the European Union,
adopted by the Council of the European
Union on 26 May 1997,2 the Convention
on Combating Bribery of Foreign Public
Officials in International Business
Transactions, adopted by the
Organisation for Economic Cooperation
and Development on 21 November
1997,3 the Criminal Law Convention on
Corruption, adopted by the Committee of
Ministers of the Council of Europe on 27
January 1999,4 the Civil Law Convention
on Corruption, adopted by the Committee
of Ministers of the Council of Europe on 4
November 1999,5 and the African Union
Convention on Preventing and
Combating Corruption, adopted by the
Heads of State and Government of the
African Union on 12 July 2003,
Mencatat dengan penghargaan
instrumen-instrumen multilateral untuk
mencegah dan memberantas korupsi,
termasuk antara lain Konvensi Antar
Amerika Anti Korupsi yang disahkan
oleh Organisasi Negara-Negara
Amerika pada tanggal 29 Maret 1996,1
Konvensi tentang Pemberantasan
Korupsi yang melibatkan Pejabatpejabat
Masyarakat Eropa atau
Pejabat-pejabat Negara-Negara
Anggota Uni Eropa yang disahkan
oleh Dewan Uni Eropa pada tanggal 26
Mei 1997,2 Konvensi tentang
Memberantas Penyuapan Pejabatpejabat
Publik Asing dalam Transaksitransaksi
Bisnis Internasional yang
disahkan oleh Organisasi untuk Kerja
Sama Ekonomi Dan Pembangunan pada
tanggal 21 November 1997,3 Konvensi
Hukum Pidana tentang Korupsi, yang
disahkan oleh Komite Menteri-menteri
Dewan Eropa pada tanggal 27 Januari
1999,4 Konvensi Hukum Perdata
tentang Korupsi, yang disahkan oleh
Komite Menteri-menteri Dewan Eropa
pada tanggal 4 November 1999,5 dan
Konvensi Uni Afrika tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi, yang
disahkan oleh Kepala-kepala Negara dan
1 Lihat Dokumen E/1996/99.
2 Jurnal Resmi Masyarakat Eropa, C 195, 25 Juni 1997.
3 Lihat Dokumen PBB, “Corruption and Integrity Improvement Initiatives
in Developing Countries” (UN Publication, Sales No. E.98.III.B.18).
4 Dewan Eropa, European Treaty Series, No. 173.
5 Ibid, No. 174.
10
Pemerintahan Uni Afrika pada tanggal
12 Juli 2003,
Welcoming the entry into force on 29
September 2003 of the United Nations
Convention against Transnational
Organized Crime,6
Menyambut berlakunya Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Kejahatan Lintas-Negara Terorganisir 6
pada tanggal 29 September 2003,
Have agreed as follows: Telah menyetujui sebagai berikut:
Chapter I
General provisions
BAB I
Ketentuan Umum
Article 1
Statement of purpose
Pasal 1
Tujuan
The purposes of this Convention are: Tujuan Konvensi ini adalah:
(a) To promote and strengthen measures
to prevent and combat corruption
more efficiently and effectively;
(a) Meningkatkan dan memperkuat
upaya-upaya untuk mencegah dan
memberantas korupsi secara lebih
efisien dan efektif;
(b) To promote, facilitate and support
international cooperation and
technical assistance in the prevention
of and fight against corruption,
including in asset recovery;
(b) Meningkatkan, memfasilitasi, dan
mendukung kerja sama
internasional dan bantuan teknis
dalam pencegahan dan
pemberantasan korupsi, termasuk
dalam pengembalian aset;
(c) To promote integrity, accountability
and proper management of public
affairs and public property.
(c) Meningkatkan integritas,
akuntabilitas, dan pengelolaan yang
baik urusan-urusan publik dan
kekayaan publik.
Article 2
Use of terms
Pasal 2
Penggunaan Istilah
For the purposes of this Convention: Dalam Konvensi ini :
(a) “Public official” shall mean: (a) “Pejabat publik” adalah:
(i) any person holding a legislative,
executive, administrative or
judicial office of a State Party,
whether appointed or elected,
whether permanent or temporary,
whether paid or unpaid,
irrespective of that person’s
seniority;
(i) setiap orang yang memegang
jabatan legislatif, eksekutif,
administratif, atau yudikatif di
suatu Negara Pihak, baik diangkat
atau dipilih, baik tetap atau untuk
sementara, baik digaji atau tidak
digaji, tanpa memperhatikan
senioritas orang itu;
(ii) any other person who performs a
public function, including for a
public agency or public enterprise,
or provides a public service, as
(ii) setiap orang yang
melaksanakan fungsi publik,
termasuk untuk suatu instansi
publik atau perusahaan publik,
6 Resolusi Majelis Umum 55/25, annex I.
11
defined in the domestic law of the
State Party and as applied in the
pertinent area of law of that State
Party;
atau memberikan layanan umum,
sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang nasional Negara
Pihak dan sebagaimana berlaku
di bidang hukum yang sesuai di
Negara Pihak tersebut;
(iii) any other person defined as a
“public official” in the domestic law
of a State Party. However, for the
purpose of some specific
measures contained in chapter II
of this Convention, “public official”
may mean any person who
performs a public function or
provides a public service as
defined in the domestic law of the
State Party and as applied in the
pertinent area of law of that State
Party;
(iii) setiap orang yang dinyatakan
sebagai “pejabat publik” dalam
undang-undang nasional Negara
Pihak. Namun, untuk upayaupaya
tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Bab II Konvensi
ini, “pejabat publik” dapat berarti
setiap orang yang melaksanakan
fungsi publik atau menyediakan
layanan umum sebagaimana
dimaksud dalam undang- undang
nasional Negara Pihak dan
sebagaimana berlaku di bidang
hukum yang sesuai di Negara
Pihak tersebut;
(b) “Foreign public official” shall mean
any person holding a legislative,
executive, administrative or judicial
office of a foreign country, whether
appointed or elected; and any person
exercising a public function for a
foreign country, including for a public
agency or public enterprise;
(b) “Pejabat publik asing” adalah
setiap orang yang memegang jabatan
legislatif, eksekutif, administratif,
atau yudikatif di suatu negara
asing, baik diangkat atau dipilih, dan
setiap orang yang melaksanakan
fungsi publik untuk negara asing,
termasuk untuk instansi publik atau
perusahaan publik;
(c) “Official of a public international
organization” shall mean an
international civil servant or any
person who is authorized by such an
organization to act on behalf of that
organization;
(c) “Pejabat organisasi internasional
publik” adal;ah setiap pegawai sipil
internasional atau setiap orang yang
diberi kewenangan oleh organisasi
tersebut untuk bertindak atas nama
organisasi tersebut;
(d) “Property” shall mean assets of every
kind, whether corporeal or
incorporeal, movable or immovable,
tangible or intangible, and legal
documents or instruments evidencing
title to or interest in such assets;
(d) “Kekayaan” adalah setiap jenis aset,
baik bertubuh atau takbertubuh,
bergerak atau takbergerak, berwujud
atau takberwujud, dan dokumen atau
instrumen hukum yang membuktikan
hak atas atau kepentingan dalam aset
tersebut;
(e) “Proceeds of crime” shall mean any
property derived from or obtained,
directly or indirectly, through the
commission of an offence;
(e) “Hasil kejahatan” adalah setiap
kekayaan yang berasal atau
diperoleh, langsung atau tidak
langsung, dari pelaksanaan
kejahatan;
(f) “Freezing” or “seizure” shall mean
temporarily prohibiting the
(f) “Pembekuan” atau “penyitaan” berarti
pelarangan sementara transfer,
12
transfer,nconversion, disposition or
movement of property or temporarily
assuming custody or control of
property on the basis of an order
issued by a court or other competent
authority;
konversi, pelepasan atau pemindahan
kekayaan, atau penempatan
sementara kekayaan dalam
pengawasan atau pengendalian
berdasarkan perintah pengadilan atau
pejabat berwenang lainnya;
(g) “Confiscation”, which includes
forfeiture where applicable, shall
mean the permanent deprivation of
property by order of a court or other
competent authority;
(g) “Perampasan” yang meliputi
pembayaran denda, jika ada, adalah
perampasan kekayaan secara tetap
berdasarkan perintah pengadilan atau
pejabat berwenang lainnya;
(h) “Predicate offence” shall mean any
offence as a result of which proceeds
have been generated that may
become the subject of an offence as
defined in article 23 of this
Convention;
(h) “Kejahatan asal” adalah setiap
kejahatan yang mengakibatkan
bahwa hasil-hasil yang diperoleh
dapat menjadi subyek dari kejahatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 Konvensi ini;
(i) “Controlled delivery” shall mean the
technique of allowing illicit or suspect
consignments to pass out of, through
or into the territory of one or more
States, with the knowledge and under
the supervision of their competent
authorities, with a view to the
investigation of an offence and the
identification of persons involved in
the commission of the offence.
(i) “Penyerahan terkendali” adalah cara
untuk memungkinkan kiriman yang
taksah atau mencurigakan keluar
dari, melalui atau masuk ke dalam
wilayah satu atau lebih Negara,
dengan sepengetahuan dan di bawah
pengawasan pejabat berwenangnya,
dalam rangka penyidikan kejahatan
dan identifikasi orang-orang yang
terlibat dalam pelaksanaan kejahatan.
Article 3
Scope of application
Pasal 3
Ruang Lingkup Pemberlakuan
1. This Convention shall apply, in
accordance with its terms, to the
prevention, investigation and
prosecution of corruption and to the
freezing, seizure, confiscation and
return of the proceeds of offences
established in accordance with this
Convention.
1. Konvensi ini berlaku, sesuai dengan
ketentuan-ketentuannya, bagi
pencegahan, penyidikan dan
penuntutan korupsi dan bagi
pembekuan, penyitaan, perampasan
dan pengembalian hasil kejahatan
menurut Konvensi ini.
2. For the purposes of implementing this
Convention, it shall not be necessary,
except as otherwise stated herein, for
the offences set forth in it to result in
damage or harm to state property.
2. Jika tidak dinyatakan lain, Konvensi
ini wajib dilaksanakan tanpa
memperhatikan apakah kejahatan
sebagaimana dimaksud dalam
Konvensi ini menimbulkan kerugian
atau kerusakan pada kekayaan
negara.
Article 4
Protection of sovereignty
Pasal 4
Perlindungan Kedaulatan
1. States Parties shall carry out their
obligations under this Convention in a
manner consistent with the principles
1. Negara Pihak wajib melaksanakan
kewajiban-kewajiban dalam Konvensi
ini berdasarkan prinsip kedaulatan
13
of sovereign equality and territorial
integrity of States and that of nonintervention
in the domestic affairs of
other States.
yang sejajar dan integritas wilayah
Negara serta prinsip tidak melakukan
intervensi terhadap masalah dalam
negeri Negara lain.
2. Nothing in this Convention shall
entitle a State Party to undertake in
the territory of another State the
exercise of jurisdiction and
performance of functions that are
reserved exclusively for the
authorities of that other State by its
domestic law.
2. Konvensi ini tidak memberikan hak
kepada suatu Negara Pihak untuk
mengambil tidakan dalam wilayah
Negara Pihak lain untuk menerapkan
yurisdiksi atau melaksanakan fungsifungsi
yang menurut hukum nasional
Negara Pihak lain secara khusus
dimiliki oleh pejabat berwenangnya.
Chapter II
Preventive measures
Bab II
Tindakan Pencegahan
Article 5
Preventive anti-corruption policies
and practices
Pasal 5
Kebijakan dan Praktek Pencegahan
Korupsi
1. Each State Party shall, in accordance
with the fundamental principles of its
legal system, develop and implement
or maintain effective, coordinated
anticorruption policies that promote
the participation of society and reflect
the principles of the rule of law,
proper management of public affairs
and public property, integrity,
transparency and accountability.
1. Negara Pihak wajib, sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar sistem
hukumnya, mengembangkan dan
melaksanakan atau memelihara
kebijakan anti korupsi yang efektif
dan terkoordinasi yang meningkatkan
partisipasi masyarakat dan
mencerminkan prinsip-prinsip
penegakan hukum, pengelolaan
urusan publik dan kekayaan publik
secara baik, integritas, transparansi
dan akuntabilitas.
2. Each State Party shall endeavour to
establish and promote effective
practices aimed at the prevention of
corruption.
2. Negara Pihak wajib mengupayakan
untuk membangun dan
meningkatkan praktek-praktek yang
efektif untuk tujuan pencegahan
korupsi.
3. Each State Party shall endeavour to
periodically evaluate relevant legal
instruments and administrative
measures with a view to determining
their adequacy to prevent and fight
corruption.
3. Negara Pihak wajib mengupayakan
untuk mengevaluasi instrumeninstrumen
hukum dan upaya-upaya
administratif yang terkait secara
berkala agar memadai untuk
mencegah dan memberantas korupsi.
4. States Parties shall, as appropriate
and in accordance with the
fundamental principles of their legal
system, collaborate with each other
and with relevant international and
regional organizations in promoting
and developing the measures referred
to in this article. That collaboration
may include participation in
international programmes and
4. Negara Pihak wajib, jika dipandang
perlu dan sesuai dengan prinsipprinsip
dasar sistem hukumnya,
bekerja sama dengan Negara Pihak
lain dan dengan organisasi
internasional dan regional yang terkait
untuk meningkatkan dan
mengembangkan upaya-upaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
ini. Kerja sama itu dapat meliputi
14
projects aimed at the prevention of
corruption.
partisipasi dalam program dan proyek
internasional yang ditujukan untuk
pencegahan korupsi.
Article 6
Preventive anti-corruption body or
bodies
Pasal 6
Badan atau badan-badan pencegahan
korupsi
1. Each State Party shall, in accordance
with the fundamental principles of its
legal system, ensure the existence of
a body or bodies, as appropriate, that
prevent corruption by such means as:
1. Negara Pihak wajib, sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar sistem
hukumnya, mengusahakan adanya
badan atau badan-badan, jika
dipandang perlu, yang mencegah
korupsi dengan cara seperti:
(a) Implementing the policies referred
to in article 5 of this Convention
and, where appropriate,
overseeing and coordinating the
implementation of those policies;
(a) Mengimplementasikan kebijakan
sebagaimama dimaksud dalam
Pasal 5 Konvensi ini dan, bila
dianggap perlu, mengawasi dan
mengkoordinasi implementasi
kebijakan itu;
(b) Increasing and disseminating
knowledge about the prevention
of corruption.
(b) Meningkatkan dan
menyebarluaskan pengetahuan
tentang pencegahan korupsi.
2. Each State Party shall grant the body
or bodies referred to in paragraph 1 of
this article the necessary
independence, in accordance with the
fundamental principles of its legal
system, to enable the body or bodies
to carry out its or their functions
effectively and free from any undue
influence. The necessary material
resources and specialized staff, as
well as the training that such staff
may require to carry out their
functions, should be provided.
2. Negara Pihak wajib memberikan
kepada badan atau badan-badan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pasal ini kemandirian yang
diperlukan, sesuai dengan prinsipprinsip
dasar sistem hukumnya, guna
memungkinkan badan atau badanbadan
tersebut melaksanakan fungsifungsinya
secara efektif dan bebas
dari pengaruh yang tidak semestinya.
Sumber-sumber material dan staf
khusus yang diperlukan, juga
pelatihan yang mungkin dibutuhkan
staf tersebut untuk melaksanakan
fungsi-fungsinya wajib disediakan.
3. Each State Party shall inform the
Secretary-General of the United
Nations of the name and address of
the authority or authorities that may
assist other States Parties in
developing and implementing specific
measures for the prevention of
corruption.
3. Negara Pihak wajib memberikan
kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa
informasi mengenai nama dan alamat
badan atau badan-badan berwenang
yang dapat membantu Negara Pihak
lain mengembangkan dan
melaksanakan tindakan-tindakan
khusus untuk pencegahan korupsi.
Article 7
Public sector
Pasal 7
Sektor Publik
1. Each State Party shall, where
appropriate and in accordance with
1. Negara Pihak wajib, menurut
kebutuhan dan sesuai dengan
15
the fundamental principles of its legal
system, endeavour to adopt, maintain
and strengthen systems for the
recruitment, hiring, retention,
promotion and retirement of civil
servants and, where appropriate,
other non-elected public officials:
prinsip-prinsip dasar sistem
hukumnya, mengupayakan untuk
mengadakan, melaksanakan dan
memperkuat sistem rekrutmen,
penempatan, pemakaian, promosi
dan pemensiunan pegawai sipil dan,
bila dianggap perlu, pejabat publik
lain yang tidak melalui proses
pemilihan:
(a) That are based on principles of
efficiency, transparency and
objective criteria such as merit,
equity and aptitude;
(a) yang didasarkan pada prinsipprinsip
efisiensi, transparansi, dan
kriteria obyektif seperti prestasi,
sikap adil, dan bakat;
(b) That include adequate procedures
for the selection and training of
individuals for public positions
considered especially vulnerable
to corruption and the rotation,
where appropriate, of such
individuals to other positions;
(b) yang meliputi tata cara yang
memadai bagi seleksi dan
pelatihan orang untuk jabatan
publik yang khususnya
dianggap rawan korupsi serta
rotasi, jika dianggap perlu, orang
tersebut ke jabatan lain;
(c) That promote adequate
remuneration and equitable pay
scales, taking into account the
level of economic development of
the State Party;
(c) yang mendorong pemberian
imbalan yang memadai dan skala
gaji yang adil dengan
mempertimbangkan tingkat
perkembangan ekonomi Negara
Pihak;
(d) That promote education and
training programmes to enable
them to meet the requirements for
the correct, honourable and
proper performance of public
functions and that provide them
with specialized and appropriate
training to enhance their
awareness of the risks of
corruption inherent in the
performance of their functions.
Such programmes may make
reference to codes or standards of
conduct in applicable areas.
(d) yang meningkatkan program
pendidikan dan pelatihan guna
memungkinkan mereka
memenuhi persyaratan untuk
melaksanakan fungsi-fungsi publik
secara yang benar, terhormat dan
baik dan memberikan kepada
mereka pelatihan khusus dan
tepat untuk meningkatkan
kewaspadaan mereka pada risikorisiko
korupsi yang melekat pada
pelaksanaan fungsi-fungsi
mereka. Program-program
tersebut dapat mengacu pada
kode dan standar-standar etika di
bidang-bidang terkait.
2. Each State Party shall also consider
adopting appropriate legislative and
administrative measures, consistent
with the objectives of this Convention
and in accordance with the
fundamental principles of its domestic
law, to prescribe criteria concerning
candidature for and election to public
office.
2. Negara Pihak wajib juga
mempertimbangkan untuk mengambil
tindakan-tindakan legislatif dan
administratif yang layak, sesuai
dengan tujuan Konvensi ini dan
berdasarkan prinsip-prinsip dasar
hukum nasionalnya, untuk
merumuskan kriteria pencalonan dan
pemilihan jabatan publik.
16
3. Each State Party shall also consider
taking appropriate legislative and
administrative measures, consistent
with the objectives of this Convention
and in accordance with the
fundamental principles of its domestic
law, to enhance transparency in the
funding of candidatures for elected
public office and, where applicable,
the funding of political parties.
3. Negara Pihak wajib juga
mempertimbangkan untuk
mengambil tindakan-tindakan
legislatif dan administratif yang layak,
sesuai dengan tujuan Konvensi ini
dan berdasarkan prinsip-prinsip dasar
hukum nasionalnya, untuk
meningkatkan transparansi dalam
pendanaan pencalonan untuk
jabatan publik dan, bila dianggap
perlu, pendanaan partai-partai politik.
4. Each State Party shall, in accordance
with the fundamental principles of its
domestic law, endeavour to adopt,
maintain and strengthen systems that
promote transparency and prevent
conflicts of interest.
4. Negara Pihak wajib, sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar hukum
nasionalnya, mengupayakan untuk
mengadakan, melaksanakan, dan
memperkuat sistem yang
meningkatkan transparansi dan
mencegah benturan kepentingan.
Article 8
Codes of conduct for public officials
Pasal 8
Kode Etik bagi Pejabat Publik
1. In order to fight corruption, each State
Party shall promote, inter alia,
integrity, honesty and responsibility
among its public officials, in
accordance with the fundamental
principles of its legal system.
1. Untuk melawan korupsi, Negara
Pihak wajib meningkatkan, antara
lain, integritas, kejujuran dan
tanggung jawab pada pejabat publik
mereka, sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar sistem hukumnya.
2. In particular, each State Party shall
endeavour to apply, within its own
institutional and legal systems, codes
or standards of conduct for the
correct, honourable and proper
performance of public functions.
2. Khususnya, Negara Pihak wajib
mengupayakan untuk menerapkan
kode atau standar etik pelaksanaan
fungsi-fungsi publik secara benar,
terhormat dan baik di dalam sistem
kelembagaan dan hukum.
3. For the purposes of implementing the
provisions of this article, each State
Party shall, where appropriate and in
accordance with the fundamental
principles of its legal system, take
note of the relevant initiatives of
regional, interregional and multilateral
organizations, such as the
International Code of Conduct for
Public Officials contained in the annex
to General Assembly resolution 51/59
of 12 December 1996.
3. Untuk melaksanakan ketentuan pasal
ini, Negara Pihak wajib, menurut
kebutuhan dan sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar sistem
hukumnya, mencatat prakarsaprakarsa
terkait dari organisasi
regional, antar regional dan
multilateral seperti Kode Etik
Internasional untuk Pejabat Publik
yang tercantum dalam lampiran
Resolusi Majelis Umum Nomor
51/59 tanggal 12 Desember 1996.
4. Each State Party shall also consider,
in accordance with the fundamental
principles of its domestic law,
establishing measures and systems
to facilitate the reporting by public
officials of acts of corruption to
appropriate authorities, when such
4. Negara Pihak wajib juga
mempertimbangkan, sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar hukum
nasionalnya, untuk mengambil
tindakan-tindakan dan mengadakan
sistem guna memfasilitasi pelaporan
oleh pejabat publik tentang perbuatan
17
acts come to their notice in the
performance of their functions.
korupsi kepada pejabat berwenang
yang sesuai, jika dalam pelaksanaan
fungsinya ia mengetahui perbuatan
tersebut.
5. Each State Party shall endeavour,
where appropriate and in accordance
with the fundamental principles of its
domestic law, to establish measures
and systems requiring public officials
to make declarations to appropriate
authorities regarding, inter alia, their
outside activities, employment,
investments, assets and substantial
gifts or benefits from which a conflict
of interest may result with respect to
their functions as public officials.
5. Negara Pihak wajib mengupayakan,
menurut kebutuhan dan sesuai
dengan prinsip-prinsip dasar hukum
nasionalnya untuk mengambil
tindakan-tindakan dan mengadakan
sistem yang mewajibkan pejabat
publik membuat pernyataan kepada
pejabat berwenang yang sesuai
mengenai, antara lain, kegiatan
sampingan, penempatan, investasi,
aset dan pemberian atau manfaat
yang dapat menimbulkan benturan
kepentingan dengan fungsinya
sebagai pejabat publik.
6. Each State Party shall consider
taking, in accordance with the
fundamental principles of its domestic
law, disciplinary or other measures
against public officials who violate the
codes or standards established in
accordance with this article.
6. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk
mengambil, sesuai dengan prinsipprinsip
dasar hukum nasionalnya,
tindakan disipliner atau lainnya
terhadap pejabat yang melanggar
kode atau standar yang dibuat
berdasarkan pasal ini.
Article 9
Public procurement and management
of public finances
Pasal 9
Pengadaan Umum dan Pengelolaan
Keuangan Publik
1. Each State Party shall, in accordance
with the fundamental principles of its
legal system, take the necessary
steps to establish appropriate
systems of procurement, based on
transparency, competition and
objective criteria in decision-making,
that are effective, inter alia, in
preventing corruption. Such systems,
which may take into account
appropriate threshold values in their
application, shall address, inter alia:
1. Negara Pihak wajib, sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar sistem
hukumnya, mengambil langkahlangkah
yang perlu untuk membuat
sistem pengadaan yang baik,
berdasarkan transparansi, kompetisi
dan kriteria obyektif dalam
pengambilan keputusan yang efektif
untuk, antara lain, mencegah
korupsi. Sistem tersebut, yang
dalam pelaksanaannya dapat
mempertimbangkan nilai ambang
batas, wajib memperhatikan, antara
lain:
(a) The public distribution of
information relating to
procurement procedures and
contracts, including information on
invitations to tender and relevant
or pertinent information on the
award of contracts, allowing
potential tenderers sufficient time
to prepare and submit their
(a) Pemberian informasi kepada
publik mengenai tata cara dan
kontrak pengadaan, termasuk
informasi mengenai undangan
tender dan informasi yang
bersangkutan atau penting
dalam pemenangan kontrak,
yang memberikan waktu yang
cukup kepada peserta tender
18
tenders; untuk menyiapkan dan
memasukkan penawarannya;
(b) The establishment, in advance, of
conditions for participation,
including selection and award
criteria and tendering rules, and
their publication;
(b) Penetapan, yang dilakukan
sebelumnya, mengenai
persyaratan bagi peserta,
termasuk kriteria pemilihan dan
pemenangan serta aturan-aturan
tender, dan publikasinya;
(c) The use of objective and
predetermined criteria for public
procurement decisions, in order to
facilitate the subsequent
verification of the correct
application of the rules or
procedures;
(c) Penggunaan kriteria obyektif
dan yang telah ditentukan
sebelumnya, bagi keputusan
pengadaan publik, guna
memudahkan verifikasi
berikutnya menyangkut
pelaksanaan aturan atau prosedur
secara benar;
(d) An effective system of domestic
review, including an effective
system of appeal, to ensure legal
recourse and remedies in the
event that the rules or procedures
established pursuant to this
paragraph are not followed;
(d) Sistem peninjauan-kembali yang
efektif, termasuk sistem upayabanding
yang efektif untuk
menjamin adanya upaya dan
penyelesaian hukum dalam hal
aturan dan prosedur yang dibuat
berdasarkan ayat ini tidak diikuti;
(e) Where appropriate, measures to
regulate matters regarding
personnel responsible for
procurement, such as declaration
of interest in particular public
procurements, screening
procedures and training
requirements.
(e) Jika diperlukan, aturan mengenai
hal-hal menyangkut orang yang
bertanggung jawab atas
pengadaan, seperti pernyataan
mengenai kepentingan dalam
pengadaan publik tertentu,
prosedur penyaringan dan
kebutuhan pelatihan tertentu.
2. Each State Party shall, in accordance
with the fundamental principles of its
legal system, take appropriate
measures to promote transparency
and accountability in the management
of public finances. Such measures
shall encompass, inter alia:
2. Negara Pihak wajib, sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar sistem
hukumnya, tindakan-tindakan yang
sesuai untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan keuangan publik.
Tindakan-tindakan tersebut harus
mencakup, antara lain:
(a) Procedures for the adoption of the
national budget;
(a) Tata cara penetapan anggaran
belanja nasional;
(b) Timely reporting on revenue and
expenditure;
(b) Pelaporan yang tepat-waktu
mengenai pendapatan dan
pengeluaran;
(c) A system of accounting and
auditing standards and related
oversight;
(c) Sistem akuntansi dan standar
audit serta pengawasan terkait;
(d) Effective and efficient systems of (d) Sistem pengelolaan risiko dan
19
risk management and internal
control; and
pengendalian internal yang efektif
dan efisien; dan
(e) Where appropriate, corrective
action in the case of failure to
comply with the requirements
established in this paragraph.
(e) Tindakan korektif, jika dipandang
perlu, apabila hal-hal yang
dipersyaratkan dalam ayat ini
tidak dipenuhi.
3. Each State Party shall take such civil
and administrative measures as may
be necessary, in accordance with the
fundamental principles of its domestic
law, to preserve the integrity of
accounting books, records, financial
statements or other documents
related to public expenditure and
revenue and to prevent the
falsification of such documents.
3. Negara Pihak wajib mengambil
tindakan perdata dan administratif
yang perlu, sesuai dengan prinsipprinsip
dasar sistem hukumnya,
untuk menjamin integritas buku,
catatan akuntansi, laporan
keuangan atau dokumen lain yang
terkait dengan pengeluaran dan
pendapatan publik serta untuk
mencegah pemalsuan dokumendokumen
tersebut.
Article 10
Public reporting
Pasal 10
Pelaporan Publik
Taking into account the need to combat
corruption, each State Party shall, in
accordance with the fundamental
principles of its domestic law, take such
measures as may be necessary to
enhance transparency in its public
administration, including with regard to its
organization, functioning and decisionmaking
processes, where appropriate.
Such measures may include, inter alia:
Dengan mempertimbangkan kebutuhan
untuk memberantas korupsi, setiap
Negara Pihak wajib, sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya,
mengambil tindakan yang diperlukan
untuk meningkatkan transparansi
administrasi publik, termasuk yang
menyangkut organisasi, fungsi dan
pengambilan keputusan, jika dipandang
perlu. Tindakan-tindakan tersebut dapat
meliputi, antara lain:
(a) Adopting procedures or regulations
allowing members of the general
public to obtain, where appropriate,
information on the organization,
functioning and decision-making
processes of its public administration
and, with due regard for the protection
of privacy and personal data, on
decisions and legal acts that concern
members of the public;
(a) Menetapkan tata cara atau aturan
yang memungkinkan anggota
masyarakat umum memperoleh, jika
dianggap perlu, informasi mengenai
organisasi, fungsi, dan pengambilan
keputusan administrasi publik serta
keputusan dan tindakan hukum yang
menyangkut para anggota
masyarakat dengan memperhatikan
perlindungan atas privasi dan data
pribadi;
(b) Simplifying administrative procedures,
where appropriate, in order to
facilitate public access to the
competent decision-making
authorities; and
(b) Menyederhanakan tata cara
administratif, jika dipandang perlu,
untuk memudahkan akses publik
pada pejabat berwenang pengambil
keputusan; dan
(c) Publishing information, which may
include periodic reports on the risks of
corruption in its public administration.
(c) Mempublikasikan informasi, yang
dapat mencakup laporan-laporan
berkala mengenai risiko korupsi
dalam administrasi publik.
20
Article 11
Measures relating to the judiciary and
prosecution services
Pasal 11
Tindakan yang Berhubungan dengan
Layanan Peradilan dan Penuntutan
1. Bearing in mind the independence of
the judiciary and its crucial role in
combating corruption, each State
Party shall, in accordance with the
fundamental principles of its legal
system and without prejudice to
judicial independence, take measures
to strengthen integrity and to prevent
opportunities for corruption among
members of the judiciary. Such
measures may include rules with
respect to the conduct of members of
the judiciary.
1. Mengingat kemandirian peradilan dan
perannya yang penting dalam
memberantas korupsi, Negara Pihak
wajib, sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar sistem hukumnya dan dengan
memperhatikan kemandirian
peradilan, mengambil tindakan untuk
memperkuat integritas dan mencegah
kesempatan melakukan korupsi di
antara anggota peradilan. Tindakan
itu dapat meliputi aturan mengenai
etika perilaku anggota peradilan.
2. Measures to the same effect as those
taken pursuant to paragraph 1 of this
article may be introduced and applied
within the prosecution service in those
States Parties where it does not form
part of the judiciary but enjoys
independence similar to that of the
judicial service.
2. Tindakan yang dampaknya serupa
dengan tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dapat
dilakukan dan diterapkan dalam
layanan penuntutan di Negara Pihak
di mana layanan ini tidak merupakan
bagian dari peradilan tetapi memiliki
kemandirian yang sama seperti pada
layanan peradilan.
Article 12
Private sector
Pasal 12
Sektor swasta
1. Each State Party shall take
measures, in accordance with the
fundamental principles of its domestic
law, to prevent corruption involving
the private sector, enhance
accounting and auditing standards in
the private sector and, where
appropriate, provide effective,
proportionate and dissuasive civil,
administrative or criminal penalties for
failure to comply with such measures.
1. Negara Pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan, sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar hukum
internalnya, untuk mencegah korupsi
yang melibatkan sektor swasta,
meningkatkan standar akuntansi dan
audit di sektor swasta dan, jika
dipandang perlu, memberikan sanksi
perdata, administratif atau pidana
yang efektif, proporsional dan bersifat
larangan bagi yang tidak mematuhi
tindakan-tindakan tersebut.
2. Measures to achieve these ends may
include, inter alia:
2. Tindakan untuk mencapai tujuan ini
dapat mencakup, antara lain:
(a) Promoting cooperation between
law enforcement agencies and
relevant private entities;
(a) Meningkatkan kerja sama antar
instansi penegakan hukum dan
badan swasta terkait;
(b) Promoting the development of
standards and procedures
designed to safeguard the
integrity of relevant private
entities, including codes of
conduct for the correct,
(b) Meningkatkan pengembangan
standar dan tata cara yang
dirancang untuk menjaga
integritas badan swasta terkait,
termasuk kode etik bagi
pelaksanaan kegiatan usaha dan
21
honourable and proper
performance of the activities of
business and all relevant
professions and the prevention of
conflicts of interest, and for the
promotion of the use of good
commercial practices among
businesses and in the contractual
relations of businesses with the
State;
profesi terkait secara benar,
terhormat dan baik, dan
pencegahan benturan
kepentingan, serta bagi
peningkatan penggunaan praktek
komersial yang baik dan dalam
hubungan kontraktual usaha
dengan Negara;
(c) Promoting transparency among
private entities, including, where
appropriate, measures regarding
the identity of legal and natural
persons involved in the
establishment and management
of corporate entities;
(c) Meningkatkan transparansi di
badan swasta, termasuk, jika
dianggap perlu, melakukan
tindakan yang menyangkut
identitas badan hukum dan orangperorangan
yang terlibat dalam
pendirian dan pengelolaan badan
usaha;
(d) Preventing the misuse of
procedures regulating private
entities, including procedures
regarding subsidies and licenses
granted by public authorities for
commercial activities;
(d) Mencegah penyalahgunaan tata
cara yang mengatur badan
swasta, meliputi tata cara
mengenai subsidi dan lisensi
untuk kegiatan komersial yang
diberikan oleh badan publik;
(e) Preventing conflicts of interest by
imposing restrictions, as
appropriate and for a reasonable
period of time, on the professional
activities of former public officials
or on the employment of public
officials by the private sector after
their resignation or retirement,
where such activities or
employment relate directly to the
functions held or supervised by
those public officials during their
tenure;
(e) Mencegah benturan kepentingan
dengan mengenakan
pembatasan-pembatasan, jika
dipandang perlu dan untuk jangka
waktu yang wajar, terhadap
kegiatan profesional mantan
pejabat publik atau terhadap
penggunaan pejabat publik oleh
sektor swasta setelah ia
mengundurkan diri atau pensiun,
jika kegiatan atau penggunaan
tersebut berkait langsung dengan
fungsi yang dipegang atau
diawasi oleh pejabat publik itu
selama masa jabatannya;
(f) Ensuring that private enterprises,
taking into account their structure
and size, have sufficient internal
auditing controls to assist in
preventing and detecting acts of
corruption and that the accounts
and required financial statements
of such private enterprises are
subject to appropriate auditing
and certification procedures.
(f) Mengusahakan agar perusahaan
swasta, dengan memperhatikan
struktur dan ukurannya, memiliki
pengendalian audit internal yang
cukup untuk membantu
pencegahan dan deteksi
perbuatan korupsi dan agar
catatan dan laporan keuangan
perusahaan swasta tersebut
tunduk pada tata cara audit dan
sertifikasi yang sesuai.
3. In order to prevent corruption, each
State Party shall take such measures
3. Untuk mencegah korupsi, Negara
Pihak wajib mengambil tindakan22
as may be necessary, in accordance
with its domestic laws and regulations
regarding the maintenance of books
and records, financial statement
disclosures and accounting and
auditing standards, to prohibit the
following acts carried out for the
purpose of committing any of the
offences established in accordance
with this Convention:
tindakan yang diperlukan, sesuai
dengan hukum dan peraturan
nasionalnya menyangkut
penyimpanan buku dan catatan,
pengungkapan laporan keuangan
serta standar akuntansi dan audit,
untuk melarang perbuatan-perbuatan
berikut yang dilakukan untuk
melakukan kejahatan yang ditetapkan
dalam Konvensi ini:
(a) The establishment of off-thebooks
accounts;
(a) Pembuatan akuntasi pembukuan
ekstra;
(b) The making of off-the-books or
inadequately identified
transactions;
(b) Pembuatan transaksi yang
dicatat secara kurang jelas atau di
dalam buku ekstra;
(c) The recording of non-existent
expenditure;
(c) Pencatatan pengeluaran fiktif;
(d) The entry of liabilities with
incorrect identification of their
objects;
(d) Pencatatan hutang dengan
identifikasi obyek yang tidak
benar;
(e) The use of false documents; and (e) Penggunaan dokumen palsu; dan
(f) The intentional destruction of
bookkeeping documents earlier
than foreseen by the law.
(f) Perusakan dokumen pembukuan
dengan sengaja lebih awal dari
yang ditetapkan oleh undangundang.
4. Each State Party shall disallow the
tax deductibility of expenses that
constitute bribes, the latter being one
of the constituent elements of the
offences established in accordance
with articles 15 and 16 of this
Convention and, where appropriate,
other expenses incurred in
furtherance of corrupt conduct.
4. Negara Pihak wajib tidak
membolehkan pengurangan pajak
atas biaya-biaya yang merupakan
suap, mengingat suap merupakan
satu dari unsur utama kejahatan
berdasarkan ketentuan pasal 15 dan
pasal 16 Konvensi ini serta, jika
dianggap perlu, pengeluaran lain
yang yang dikeluarkan untuk
melanjutkan perilaku korup.
Article 13
Participation of society
Pasal 13
Partisipasi masyarakat
1. Each State Party shall take
appropriate measures, within its
means and in accordance with
fundamental principles of its domestic
law, to promote the active
participation of individuals and groups
outside the public sector, such as civil
society, non-governmental
organizations and community-based
organizations, in the prevention of
and the fight against corruption and to
1. Negara Pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan yang perlu, sesuai
kewenangannya dan sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar hukum
nasionalnya, untuk meningkatkan
partisipasi aktif orang-perorangan dan
kelompok di luar sektor publik, seperti
masyarakat sipil, organisasi nonpemerintah
dan organisasi
kemasyarakatan, dalam pencegahan
dan pemberantasan korupsi serta
23
raise public awareness regarding the
existence, causes and gravity of and
the threat posed by corruption. This
participation should be strengthened
by such measures as:
meningkatkan kesadaran masyarakat
akan adanya, penyebab dan
kegawatan korupsi serta ancaman
yang ditimbulkan oleh korupsi.
Partisipasi ini harus diperkuat dengan
tindakan-tindakan seperti:
(a) Enhancing the transparency of
and promoting the contribution of
the public to decision-making
processes;
(a) Meningkatkan transparansi dan
mendorong kontribusi publik pada
proses pengambilan keputusan;
(b) Ensuring that the public has
effective access to information;
(b) Mengusahakan agar publik
memiliki akses yang efektif pada
informasi;
(c) Undertaking public information
activities that contribute to nontolerance
of corruption, as well as
public education programmes,
including school and university
curricula;
(c) Melakukan kegiatan informasi
publik yang menimbulkan sikap
non-toleransi terhadap korupsi,
serta program pendidikan publik,
meliputi kurikulum sekolah dan
universitas;
(d) Respecting, promoting and
protecting the freedom to seek,
receive, publish and disseminate
information concerning corruption.
That freedom may be subject to
certain restrictions, but these shall
only be such as are provided for
by law and are necessary:
(d) Menghormati, mendorong dan
melindungi kebebasan untuk
mencari, menerima,
mempublikasikan dan
menyebarluaskan informasi
tentang korupsi. Kebebasan itu
dapat dikenakan pembatasan
tertentu, akan tetapi hanya sejauh
yang ditetapkan dalam undangundang
dan sejauh diperlukan:
(i) For respect of the rights or
reputations of others;
i) Untuk menghormati hak
atau nama baik pihak lain;
(ii) For the protection of national
security or order public or of
public health or morals.
ii) Untuk melindungi
keamanan nasional atau
ketertiban umum atau
kesehatan atau moral
masyarakat.
2. Each State Party shall take
appropriate measures to ensure that
the relevant anti-corruption bodies
referred to in this Convention are
known to the public and shall provide
access to such bodies, where
appropriate, for the reporting,
including anonymously, of any
incidents that may be considered to
constitute an offence established in
accordance with this Convention.
2. Negara Pihak wajib mengambil
tindakan yang perlu untuk menjamin
agar badan anti korupsi terkait
sebagaimana dimaksud dalam
Konvensi ini diketahui oleh publik dan
wajib memberikan akses pada badan
tersebut, jika itu perlu, untuk
pelaporan, termasuk yang tanpa
nama, atas setiap kejadian yang
dapat dianggap merupakan kejahatan
menurut Konvensi ini.
24
Article 14
Measures to prevent moneylaundering
Pasal 14
Tindakan untuk mencegah pencucian
uang
1. Each State Party shall: Negara Pihak wajib :
(a) Institute a comprehensive
domestic regulatory and
supervisory regime for banks and
non-bank financial institutions,
including natural or legal persons
that provide formal or informal
services for the transmission of
money or value and, where
appropriate, other bodies
particularly susceptible to moneylaundering,
within its competence,
in order to deter and detect all
forms of money-laundering, which
regime shall emphasize
requirements for customer and,
where appropriate, beneficial
owner identification, recordkeeping
and the reporting of
suspicious transactions;
Membentuk rezim pengaturan dan
pengawasan internal yang
komprehensif untuk bank dan
lembaga keuangan non-bank,
termasuk orang-perorangan dan
badan hukum yang memberikan
jasa resmi atau takresmi
pengiriman uang atau nilai dan,
jika dpandang perlu, badan lain
yang khususnya rawan pencucian
uang, untuk, di dalam
kewenangannya, menangkal dan
mendeteksi semua bentuk
pencucian uang, dan rezim
tersebut waiib menekankan
mengenai persyaratan bagi
nasabah dan, jika diperlukan,
identifikasi penerima hak,
pencatatan dan pelaporan
transaksi yang mencurigakan;
(b) Without prejudice to article 46 of
this Convention, ensure that
administrative, regulatory, law
enforcement and other authorities
dedicated to combating moneylaundering
(including, where
appropriate under domestic law,
judicial authorities) have the ability
to cooperate and exchange
information at the national and
international levels within the
conditions prescribed by its
domestic law and, to that end,
shall consider the establishment
of a financial intelligence unit to
serve as a national centre for the
collection, analysis and
dissemination of information
regarding potential moneylaundering.
Dengan tidak mengurangi ketentuan
pasal 46 Konvensi ini,
mengusahakan agar badan
berwenang di bidang administrasi,
regulasi, penegakan hukum dan
lainnya yang bertugas
memberantas pencucian uang
(termasuk badan peradilan, jika itu
perlu menurut hukum nasional)
memiliki kemampuan untuk
bekerja sama dan tukar-menukar
informasi di tingkat nasional dan
internasional berdasarkan
persyaratan yang ditentukan oleh
hukum nasional dan, dalam
rangka itu, wajib
mempertimbangkan pembentukan
unit intelijen keuangan yang
bertindak sebagai pusat nasional
yang melakukan pengumpulan,
analisis, dan penyebarluasan
informasi mengenai pencucian
uang.
2. States Parties shall consider
implementing feasible measures to
detect and monitor the movement of
cash and appropriate negotiable
instruments across their borders,
Negara Pihak wajib mempertimbangkan
untuk melakukan tindakan-tindakan
yang layak guna mendeteksi dan
memantau pergerakan uang tunai
dan instrumen surat berharga yang
25
subject to safeguards to ensure
proper use of information and without
impeding in any way the movement of
legitimate capital. Such measures
may include a requirement that
individuals and businesses report the
cross-border transfer of substantial
quantities of cash and appropriate
negotiable instruments.
melintasi perbatasannya, dengan
memperhatikan syarat-syarat bagi
penggunaan informasi itu secara
wajar serta tanpa menghambat
pergerakan modal yang sah.
Tindakan-tindakan tersebut dapat
mencakup persyaratan agar orangperorangan
dan badan usaha
melaporkan transfer lintas-batas uang
tunai dan instrumen sekuritas dalam
jumlah besar.
3. States Parties shall consider
implementing appropriate and
feasible measures to require financial
institutions, including money
remitters:
Negara Pihak wajib mempertimbangkan
untuk melakukan tindakan-tindakan
yang wajar dan layak untuk
mewajibkan lembaga keuangan,
termasuk pengirim uang :
(a) To include on forms for the
electronic transfer of funds and
related messages accurate and
meaningful information on the
originator;
Untuk di dalam formulir transfer
elektronik dana dan pesan terkait,
mencantumkan informasi yang
tepat dan penting mengenai asalusulnya;
(b) To maintain such information
throughout the payment chain;
and
Untuk menyimpan informasi tersebut
di sepanjang rangkaian
pembayaran; dan
(c) To apply enhanced scrutiny to
transfers of funds that do not
contain complete information on
the originator.
Untuk menerapkan ketelitian ekstra
atas transfer dana yang tidak
mencantumkan informasi lengkap
mengenai asal-usulnya;
4. In establishing a domestic regulatory
and supervisory regime under the
terms of this article, and without
prejudice to any other article of this
Convention, States Parties are called
upon to use as a guideline the
relevant initiatives of regional,
interregional and multilateral
organizations against moneylaundering.
Dalam membentuk rezim pengaturan dan
pengawasan nasional berdasarkan
ketentuan pasal ini, dan dengan
memperhatikan pasal lain Konvensi
ini, Negara Pihak dihimbau untuk
berpedoman pada prakarsa
organisasi regional, antar-regional
dan multilateral terkait yang
menentang pencucian uang.
5. States Parties shall endeavour to
develop and promote global, regional,
subregional and bilateral cooperation
among judicial, law enforcement and
financial regulatory authorities in
order to combat money-laundering.
Negara Pihak wajib berupaya
mengembangkan dan mendorong
kerja sama global, regional,
subregional dan bilateral antara
badan peradilan, regulasi, penegakan
hukum dan keuangan untuk
memberantas pencucian uang.
26
Chapter III
Criminalization and law enforcement
Bab III
Kriminalisasi dan penegakan hukum
Article 15
Bribery of national public officials
Pasal 15
Penyuapan pejabat publik nasional
Each State Party shall adopt such
legislative and other measures as may be
necessary to establish as criminal
offences, when committed intentionally:
Negara Pihak wajib mengambil tindakantindakan
legislatif dan lainnya yang perlu
untuk menetapkan sebagai kejahatan,
jika dilakukan dengan sengaja:
(a) The promise, offering or giving, to a
public official, directly or indirectly, of
an undue advantage, for the official
himself or herself or another person
or entity, in order that the official act
or refrain from acting in the exercise
of his or her official duties;
(a) Janji, tawaran, atau pemberian
manfaat yang tidak semestinya
kepada pejabat publik, secara
langsung atau taklangsung, untuk
pejabat publik itu sendiri atau orang
atau badan lain agar pejabat itu
bertindak atau tidak bertindak
melaksanakan tugas resminya;
(b) The solicitation or acceptance by a
public official, directly or indirectly, of
an undue advantage, for the official
himself or herself or another person
or entity, in order that the official act
or refrain from acting in the exercise
of his or her official duties.
(b) Permintaan atau penerimaan manfaat
yang tidak semestinya oleh pejabat
publik, secara langsung atau tidak
langsung, untuk pejabat itu sendiri
atau orang atau badan lain agar
pejabat itu bertindak atau tidak
bertindak melaksanakan tugas
resminya.
Article 16
Bribery of foreign public officials and
officials of public international
organizations
Pasal 16
Penyuapan pejabat publik asing dan
pejabat organisasi internasional
publik
1. Each State Party shall adopt such
legislative and other measures as
may be necessary to establish as a
criminal offence, when committed
intentionally, the promise, offering or
giving to a foreign public official or an
official of a public international
organization, directly or indirectly, of
an undue advantage, for the official
himself or herself or another person
or entity, in order that the official act
or refrain from acting in the exercise
of his or her official duties, in order to
obtain or retain business or other
undue advantage in relation to the
conduct of international business.
1. Negara Pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan legislatif dan
lainnya yang perlu untuk menetapkan
sebagai kejahatan, jika dilakukan
dengan sengaja, janji, tawaran atau
pemberian manfaat yang tidak
semestinya kepada pejabat publik
asing atau pejabat organisasi
internasional publik, secara langsung
atau tidak langsung, untuk pejabat
publik itu sendiri atau orang atau
badan lain agar pejabat itu bertindak
atau tidak bertindak melaksanakan
tugas resminya, untuk memperoleh
ataumempertahankan bisnis atau
manfaat lain yang tidak semestinya
dalam kaitannya dengan pelaksanaan
bisnis internasional.
2. Each State Party shall consider
adopting such legislative and other
measures as may be necessary to
establish as a criminal offence, when
2. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk mengambil
tindakan-tindakan legislatif dan lain
yang perlu untuk menetapkan
27
committed intentionally, the
solicitation or acceptance by a foreign
public official or an official of a public
international organization, directly or
indirectly, of an undue advantage, for
the official himself or herself or
another person or entity, in order that
the official act or refrain from acting in
the exercise of his or her official
duties.
sebagai kejahatan, jika dilakukan
dengan sengaja, permintaan atau
penerimaan manfaat yang tidak
semestinya oleh pejabat publik asing
atau pejabat organisasi publik
internasional, secara langsung atau
tidak langsung, untuk pejabat itu
sendiri atau orang atau badan lain
agar pejabat itu bertindak atau tidak
bertindak melaksanakan tugas
resminya.
Article 17
Embezzlement, misappropriation or
other diversion of property by a public
official
Pasal 17
Penggelapan, penyalahgunaan, atau
penyimpangan lain kekayaan oleh
pejabat publik
Each State Party shall adopt such
legislative and other measures as may be
necessary to establish as criminal
offences, when committed intentionally,
the embezzlement, misappropriation or
other diversion by a public official for his
or her benefit or for the benefit of another
person or entity, of any property, public or
private funds or securities or any other
thing of value entrusted to the public
official by virtue of his or her position.
Negara Pihak wajib mengambil tindakantindakan
legislatif dan lainnya yang perlu
untuk menetapkan sebagai kejahatan,
jika dilakukan dengan sengaja,
penggelapan, penyalahgunaan atau
penyimpangan lain oleh pejabat publik
untuk kepentingan sendiri atau untuk
kepentingan orang atau badan lain,
terhadap kekayaan, dana atau sekuritas
publik atau swasta atau barang lain yang
berharga yang dipercayakan kepadanya
karena jabatannya.
Article 18
Trading in influence
Pasal 18
Pemanfaatan pengaruh
Each State Party shall consider adopting
such legislative and other measures as
may be necessary to establish as
criminal offences, when committed
intentionally:
Negara Pihak wajib mempertimbangkan
untuk mengambil tindakan-tindakan
legislatif dan lainnya yang perlu untuk
menetapkan sebagai kejahatan, jika
dilakukan dengan sengaja:
(a) The promise, offering or giving to a
public official or any other person,
directly or indirectly, of an undue
advantage in order that the public
official or the person abuse his or her
real or supposed influence with a
view to obtaining from an
administration or public authority of
the State Party an undue advantage
for the original instigator of the act or
for any other person;
(a) Janji, tawaran atau pemberian
manfaat yang tidak semestinya
kepada pejabat publik atau orang lain,
secara langsung atau tidak langsung,
agar pejabat publik atau orang itu
menyalahgunakan pengaruhnya yang
ada atau yang dianggap ada dengan
maksud memperoleh manfaat yang
tidak semestinya dari lembaga
pemerintah atau lembaga publik
Negara Pihak untuk kepentingan
penghasut asli perbuatan itu atau
untuk orang lain;
(b) The solicitation or acceptance by a
public official or any other person,
directly or indirectly, of an undue
advantage for himself or herself or for
(b) Permintaan atau penerimaan manfaat
yang tidak semestinya oleh pejabat
publik atau orang lain, secara
langsung atau tidak langsung, untuk
28
another person in order that the
public official or the person abuse his
or her real or supposed influence with
a view to obtaining from an
administration or public authority of
the State Party an undue advantage.
dirinya atau untuk orang lain agar
pejabat publik atau orang itu
menyalahgunaan pengaruhnya yang
ada atau yang dianggap ada dengan
maksud memperoleh manfaat yang
tidak semestinya dari lembaga
pemerintah atau lembaga publik
Negara Pihak.
Article 19
Abuse of functions
Pasal 19
Penyalahgunaan fungsi
Each State Party shall consider adopting
such legislative and other measures as
may be necessary to establish as a
criminal offence, when committed
intentionally, the abuse of functions or
position, that is, the performance of or
failure to perform an act, in violation of
laws, by a public official in the discharge
of his or her functions, for the purpose of
obtaining an undue advantage for himself
or herself or for another person or entity.
Negara Pihak wajib mempertimbangkan
untuk mengambil tindakan-tindakan
legislatif dan lainnya yang perlu untuk
menetapkan sebagai kejahatan, jika
dilakukan dengan sengaja,
penyalahgunaan fungsi atau jabatan,
dalam arti, melaksanakan atau tidak
melaksanakan suatu perbuatan, yang
melanggar hukum, oleh pejabat publik
dalam pelaksanaan tugasya, dengan
maksud memperoleh manfaat yang tidak
semestinya untuk dirinya atau untuk
orang atau badan lain.
Article 20
Illicit enrichment
Pasal 20
Memperkaya diri secara tidak sah
Subject to its constitution and the
fundamental principles of its legal
system, each State Party shall consider
adopting such legislative and other
measures as may be necessary to
establish as a criminal offence, when
committed intentionally, illicit enrichment,
that is, a significant increase in the assets
of a public official that he or she cannot
reasonably explain in relation to his or
her lawful income.
Dengan memperhatikan konstitusi dan
prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya,
Negara Pihak wajib mempertimbangkan
untuk mengambil tindakan-tindakan
legislatif dan lainnya yang perlu untuk
menetapkan sebagai kejahatan, jika
dilakukan dengan sengaja, perbuatan
memperkaya diri, dalam arti,
penambahan besar kekayaan pejabat
publik itu yang tidak dapat secara wajar
dijelaskannya dalam kaitan dengan
penghasilannya yang sah.
Article 21
Bribery in the private sector
Pasal 21
Penyuapan di sektor swasta
Each State Party shall consider adopting
such legislative and other measures as
may be necessary to establish as
criminal offences, when committed
intentionally in the course of economic,
financial or commercial activities:
Negara Pihak wajib mempertimbangkan
untuk mengambil tindakan-tindakan
legislatif dan lainnya yang perlu untuk
menetapkan sebagai kejahatan, jika
dilakukan dengan sengaja dalam rangka
kegiatan ekonomi, keuangan atau
perdagangan:
(a) The promise, offering or giving,
directly or indirectly, of an undue
advantage to any person who directs
or works, in any capacity, for a private
(a) Janji, penawaran atau pemberian,
secara langsung atau tidak langsung,
manfaat manfaat yang tidak
semestinya kepada orang yang
29
sector entity, for the person himself or
herself or for another person, in order
that he or she, in breach of his or her
duties, act or refrain from acting;
memimpin atau bekerja, dalam
jabatan apapun, untuk badan sektor
swasta, untuk dirinya atau untuk
orang lain, agar ia, dengan melanggar
tugasnya, bertindak atau tidak
bertindak;
(b) The solicitation or acceptance,
directly or indirectly, of an undue
advantage by any person who directs
or works, in any capacity, for a private
sector entity, for the person himself or
herself or for another person, in order
that he or she, in breach of his or her
duties, act or refrain from acting.
(b) Permintaan atau penerimaan, secara
langsung atau tidak langsung,
manfaat yang tidak semestinya oleh
orang yang memimpin atau bekerja,
dalam jabatan apapun, di badan
sektor swasta, untuk dirinya atau
untuk orang lain, agar ia, dengan
melanggar tugasnya, bertindak atau
tidak bertindak.
Article 22
Embezzlement of property in the
private sector
Pasal 22
Penggelapan kekayaan di sektor
swasta
Each State Party shall consider adopting
such legislative and other measures as
may be necessary to establish as a
criminal offence, when committed
intentionally in the course of economic,
financial or commercial activities,
embezzlement by a person who directs
or works, in any capacity, in a private
sector entity of any property, private
funds or securities or any other thing of
value entrusted to him or her by virtue of
his or her position.
Negara Pihak wajib mempertimbangkan
untuk mengambil tindakan-tindakan
legislatif dan lainnya yang perlu untuk
menetapkan sebagai kejahatan, jika
dilakukan dengan sengaja, dalam rangka
kegiatan ekonomi, keuangan atau
perdagangan, penggelapan oleh orang
yang memimpin atau bekerja, dalam
jabatan apapun, di badan sektor swasta,
terhadap kekayaan, dana atau sekuritas
swasta atau barang lain yang berharga
yang dipercayakan kepadanya karena
jabatannya.
Article 23
Laundering of proceeds of crime
Pasal 23
Pencucian hasil kejahatan
1. Each State Party shall adopt, in
accordance with fundamental
principles of its domestic law, such
legislative and other measures as
may be necessary to establish as
criminal offences, when committed
intentionally:
1. Negara Pihak wajib mengambil,
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
hukum nasionalnya, tindakantindakan
legislatif dan lainnya yang
perlu untuk menetapkan sebagai
kejahatan, jika dilakukan dengan
sengaja:
(a) (i) The conversion or transfer of
property, knowing that such
property is the proceeds of
crime, for the purpose of
concealing or disguising the
illicit origin of the property or
of helping any person who is
involved in the commission of
the predicate offence to evade
the legal consequences of his
(a)(i) Konversi atau transfer
kekayaan, padahal
mengetahui bahwa kekayaan
tersebut adalah hasil
kejahatan, dengan maksud
menyembunyikan atau
menyamarkan asal-usul tidak
sah kekayaan itu atau
membantu orang yang terlibat
dalam pelaksanaan kejahatan
asal untuk menghindari
30
or her action; konsekuensi hukum
perbuatannya.
(ii) The concealment or disguise
of the true nature, source,
location, disposition,
movement or ownership of or
rights with respect to property,
knowing that such property is
the proceeds of crime;
(ii) Penyembunyian atau
penyamaran sifat sebenarnya,
sumber, lokasi, pelepasan,
pergerakan atau pemilikan
atau hak yang berkenaan
dengan kekayaan, padahal
mengetahui bahwa kekayaan
itu adalah hasil kejahatan;
(b) Subject to the basic concepts of its
legal system:
(b) Dengan memperhatikan
konsep dasar sistem hukumnya:
(i) The acquisition, possession or
use of property, knowing, at
the time of receipt, that such
property is the proceeds of
crime;
(i)Perolehan, pemilikan atau
penggunaan kekayaan,
padahal mengetahui, pada
waktu menerimanya, bahwa
kekayaan itu adalah hasil
kejahatan;
(ii) Participation in, association
with or conspiracy to commit,
attempts to commit and aiding,
abetting, facilitating and
counseling the commission of
any of the offences
established in accordance with
this article.
(ii)Partisipasi dalam, hubungan
dengan atau
persekongkolan untuk
melakukan, percobaan
untuk melakukan dan
membantu, memfasilitasi
dan menganjurkan
pelaksanaan kejahatan
menurut pasal ini;
2. For purposes of implementing or
applying paragraph 1 of this article:
2. Untuk melaksanakan atau
menerapkan ketentuan ayat 1:
(a) Each State Party shall seek to
apply paragraph 1 of this article
to the widest range of predicate
offences;
(a) Negara Pihak wajib berusaha
menerapkan ketentuan ayat 1
dalam arti seluas-luasnya
kejahatan asal;
(b) Each State Party shall include
as predicate offences at a
minimum a comprehensive
range of criminal offences
established in accordance with
this Convention;
(b) Negara Pihak wajib memasukkan
sebagai kejahatan asal sekurangkurangnya
suatu rangkaian
komprehensif kejahatan menurut
Konvensi ini;
(c) For the purposes of
subparagraph (b) above,
predicate offences shall include
offences committed both within
and outside the jurisdiction of
the State Party in question.
However, offences committed
outside the jurisdiction of a State
Party shall constitute predicate
offences only when the relevant
(c) Untuk maksud sub-ayat (b) di
atas, kejahatan asal meliputi
kejahatan yang dilakukan di
dalam dan di luar yurisdiksi
Negara Pihak yang bersangkutan.
Namun, kejahatan yang dilakukan
di luar yurisdiksi Negara Pihak
merupakan kejahatan asal hanya
jika perbuatan yang bersangkutan
merupakan kejahatan menurut
31
conduct is a criminal offence
under the domestic law of the
State where it is committed and
would be a criminal offence
under the domestic law of the
State Party implementing or
applying this article had it been
committed there;
hukum nasional Negara tempat
perbuatan dilakukan dan
merupakan kejahatan menurut
hukum nasional Negara Pihak
yang melaksanakan atau
menerapkan pasal ini seandainya
perbuatan tersebut dilakukan di
Negara Pihak itu.
(d) Each State Party shall furnish
copies of its laws that give effect
to this article and of any
subsequent changes to such
laws or a description thereof to
the Secretary-General of the
United Nations;
(d) Negara Pihak wajib menyerahkan
salinan undang-undang yang
menerapkan pasal ini dan
perubahan undang-undang itu
atau keterangan mengenai hal itu
kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa;
(e) If required by fundamental
principles of the domestic law of
a State Party, it may be
provided that the offences set
forth in paragraph 1 of this
article do not apply to the
persons who committed the
predicate offence.
(e) Jika diwajibkan oleh prinsipprinsip
dasar hukum nasional
suatu Negara Pihak, dapat
ditentukan bahwa kejahatan
sebagaimana dimaksud pada ayat
1 tidak berlaku bagi orang yang
melakukan kejahatan asal.
Article 24
Concealment
Pasal 24
Penyembunyian
Without prejudice to the provisions of
article 23 of this Convention, each State
Party shall consider adopting such
legislative and other measures as may be
necessary to establish as a criminal
offence, when committed intentionally
after the commission of any of the
offences established in accordance with
this Convention without having
participated in such offences, the
concealment or continued retention of
property when the person involved knows
that such property is the result of any of
the offences established in accordance
with this Convention.
Dengan memperhatikan ketentuan pasal
23 Konvensi ini, Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk mengambil
tindakan-tindakan legislatif dan lainnya
yang perlu untuk menetapkan sebagai
kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja
setelah kejahatan dilakukan sesuai
dengan Konvensi ini tanpa berpartisipasi
dalam kejahatan tersebut,
penyembunyian atau penahanan terusmenerus
kekayaan jika orang yang
terlibat mengetahui bahwa kekayaan itu
adalah hasil dari kejahatan menurut
Konvensi ini.
Article 25
Obstruction of justice
Pasal 25
Penghalangan peradilan
Each State Party shall adopt such
legislative and other measures as may be
necessary to establish as criminal
offences, when committed intentionally:
Negara Pihak wajib mengambil tindakantindakan
legislatif dan lainnya yang perlu
untuk menetapkan sebagai kejahatan,
jika dilakukan dengan sengaja:
(a) The use of physical force, threats or
intimidation or the promise, offering
or giving of an undue advantage to
induce false testimony or to interfere
(a) Penggunaan kekuatan fisik, ancaman
atau intimidasi atau janji, tawaran
atau pemberian manfaat yang tidak
semestinya untuk memberikan
32
in the giving of testimony or the
production of evidence in a
proceeding in relation to the
commission of offences established
in accordance with this Convention;
kesaksian palsu atau untuk
mencampuri pemberian kesaksian
atau pengajuan bukti dalam proses
hukum yang berkaitan dengan
pelaksanaan kejahatan menurut
Konvensi ini;
(b) The use of physical force, threats or
intimidation to interfere with the
exercise of official duties by a justice
or law enforcement official in relation
to the commission of offences
established in accordance with this
Convention. Nothing in this
subparagraph shall prejudice the
right of States Parties to have
legislation that protects other
categories of public official.
(b) Penggunaan kekuatan fisik,
ancaman, intimidasi untuk
mencampuri pelaksanaan tugas resmi
pejabat peradilan atau penegakan
hukum yang berkaitan dengan
pelaksanaan kejahatan menurut
Konvensi ini. Ketentuan sub-ayat ini
tidak mengurangi hak Negara Pihak
untuk mempunyai peraturan
perundang-undangan yang
melindungi kelompok pejabat publik
lain.
Article 26
Liability of legal persons
Pasal 26
Tanggung jawab badan hukum
1. Each State Party shall adopt such
measures as may be necessary,
consistent with its legal principles, to
establish the liability of legal persons
for participation in the offences
established in accordance with this
Convention.
1. Negara Pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan yang perlu, sesuai
dengan prinsip-prinsip hukumnya,
untuk menetapkan tanggung jawab
badan hukum yang berpartisipasi
dalam kejahatan menurut Konvensi
ini.
2. Subject to the legal principles of the
State Party, the liability of legal
persons may be criminal, civil or
administrative.
2. Dengan memperhatikan prinsipprinsip
hukum Negara Pihak,
tanggung jawab badan hukum dapat
bersifat pidana, perdata atau
administratif.
3. Such liability shall be without
prejudice to the criminal liability of the
natural persons who have committed
the offences.
3. Tanggung jawab tersebut tidak
mengurangi tanggung jawab pidana
orang-perorangan yang melakukan
kejahatan.
4. Each State Party shall, in particular,
ensure that legal persons held liable
in accordance with this article are
subject to effective, proportionate and
dissuasive criminal or non-criminal
sanctions, including monetary
sanctions.
4. Negara Pihak wajib, pada khususnya,
mengusahakan agar badan hukum
yang bertanggungjawab menurut
pasal ini dikenakan sanksi pidana
atau non-pidana yang efektif,
proporsional dan bersifat larangan,
termasuk sanksi keuangan.
Article 27
Participation and attempt
Pasal 27
Partisipasi dan percobaan
1. Each State Party shall adopt such
legislative and other measures as
may be necessary to establish as a
criminal offence, in accordance with
1. Negara Pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan legislatif dan
lainnya yang perlu untuk menetapkan
sebagai kejahatan, sesuai dengan
33
its domestic law, participation in any
capacity such as an accomplice,
assistant or instigator in an offence
established in accordance with this
Convention.
hukum nasionalnya, partisipasi dalam
kapasitas apa pun seperti kakitangan,
pembantu atau penghasut dalam
kejahatan menurut Konvensi ini.
2. Each State Party may adopt such
legislative and other measures as
may be necessary to establish as a
criminal offence, in accordance with
its domestic law, any attempt to
commit an offence established in
accordance with this Convention.
2. Negara Pihak dapat mengambil
tindakan-tindakan legislatif dan
lainnya yang perlu untuk menetapkan
sebagai kejahatan, sesuai dengan
hukum nasionalnya, percobaan untuk
melakukan kejahatan menurut
Konvensi ini.
3. Each State Party may adopt such
legislative and other measures as
may be necessary to establish as a
criminal offence, in accordance with
its domestic law, the preparation for
an offence established in accordance
with this Convention.
3. Negara Pihak dapat mengambil
tindakan-tindakan legislatif dan
lainnya yang perlu untuk menetapkan
sebagai kejahatan, sesuai dengan
hukum nasionalnya, persiapan
kejahatan menurut Konvensi ini.
Article 28
Knowledge, intent and purpose as
elements of an offence
Pasal 28
Pengetahuan, maksud dan tujuan
sebagai unsur kejahatan
Knowledge, intent or purpose required as
an element of an offence established in
accordance with this Convention may be
inferred from objective factual
circumstances.
Pengetahuan, maksud dan tujuan yang
dipersyaratkan sebagai unsur dari
kejahatan menurut Konvensi ini dapat
disimpulkan dari hal-hal nyata yang
objektif.
Article 29
Statute of limitations
Pasal 29
Kadaluarsa
Each State Party shall, where
appropriate, establish under its domestic
law a long statute of limitations period in
which to commence proceedings for any
offence established in accordance with
this Convention and establish a longer
statute of limitations period or provide for
the suspension of the statute of
limitations where the alleged offender has
evaded the administration of justice.
Negara Pihak wajib, jika dipandang perlu,
menetapkan di dalam hukum
nasionalnya, jangka waktu kadaluarsa
yang lama bagi pelaksanaan proses
terhadap kejahatan menurut Konvensi ini
dan menetapkan jangka waktu
kadaluarsa yang lebih lama atau
mengatur penundaan kadaluarsa jika
tersangka pelaku telah menghindar dari
proses peradilan.
Article 30
Prosecution, adjudication and
sanctions
Pasal 30
Penuntutan, Pemeriksaan di
Pengadilan dan Sanksi
1. Each State Party shall make the
commission of an offence established
in accordance with this Convention
liable to sanctions that take into
account the gravity of that offence.
1. Negara Pihak wajib mengenakan
sanksi terhadap pelaksanaan
kejahatan menurut Konvensi ini
dengan memperhatikan berat
ringannya kejahatan.
2. Each State Party shall take such 2. Negara Pihak wajib mengambil
34
measures as may be necessary to
establish or maintain, in accordance
with its legal system and
constitutional principles, an
appropriate balance between any
immunities or jurisdictional privileges
accorded to its public officials for the
performance of their functions and the
possibility, when necessary, of
effectively investigating, prosecuting
and adjudicating offences established
in accordance with this Convention.
tindakan-tindakan yang perlu untuk
menetapkan atau mempertahankan,
sesuai dengan sistem hukum dan
prinsip-prinsip konstitusinya,
perimbangan yang wajar antara
kekebalan atau hak istimewa
yurisdiksi yang diberikan kepada
pejabat publiknya untuk
melaksanakan fungsinya dan
kemungkinan, jika diperlukan, untuk
menyidik, menuntut dan mengadili
kejahatan menurut Konvensi ini.
3. Each State Party shall endeavour to
ensure that any discretionary legal
powers under its domestic law
relating to the prosecution of persons
for offences established in
accordance with this Convention are
exercised to maximize the
effectiveness of law enforcement
measures in respect of those offences
and with due regard to the need to
deter the commission of such
offences.
3. Negara Pihak wajib mengupayakan
agar setiap kewenangan hukum
diskresioner dalam hukum
nasionalnya menyangkut penuntutan
terhadap orang atas kejahatan
menurut Konvensi ini dilaksanakan
untuk memaksimalkan keefektivan
tindakan penegakan hukum terhadap
kejahatan tersebut dan dengan
memperhatikan kebutuhan untuk
menangkal terjadinya kejahatan.
4. In the case of offences established in
accordance with this Convention,
each State Party shall take
appropriate measures, in accordance
with its domestic law and with due
regard to the rights of the defense, to
seek to ensure that conditions
imposed in connection with decisions
on release pending trial or appeal
take into consideration the need to
ensure the presence of the defendant
at subsequent criminal proceedings.
4. Menyangkut kejahatan menurut
Konvensi ini, Negara Pihak wajib
mengambil tindakan yang perlu,
sesuai dengan hukum nasionalnya
dan dengan memperhatikan hak
pembelaan, agar persyaratan yang
dikenakan dalam kaitan dengan
putusan tentang pelepasan sebelum
pemeriksaan pengadilan atau
banding, ditetapkan dengan
memperhatikan kebutuhan untuk
menjamin kehadiran terdakwa pada
proses pidana selanjutnya.
5. Each State Party shall take into
account the gravity of the offences
concerned when considering the
eventuality of early release or parole
of persons convicted of such
offences.
5. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan berat-ringannya
kejahatan yang bersangkutan ketika
mempertimbangkan saat bagi
pelepasan lebih awal atau
pembebasan bersyarat bagi orang
yang dihukum karena kejahatan
tersebut.
6. Each State Party, to the extent
consistent with the fundamental
principles of its legal system, shall
consider establishing procedures
through which a public official
accused of an offence established in
accordance with this Convention may,
where appropriate, be removed,
6. Negara Pihak, sepanjang sesuai
dengan prinsip-prinsip dasar sistem
hukumnya, wajib mempertimbangkan
untuk menetapkan tata cara bagi
pejabat publik yang didakwa atas
kejahatan menurut Konvensi ini
untuk, jika dipandang perlu,
diberhentikan, diberhentikan
35
suspended or reassigned by the
appropriate authority, bearing in mind
respect for the principle of the
presumption of innocence.
sementara atau dialih-tugaskan oleh
pejabat yang berwenang, dengan
memperhatikan prinsip praduga tak
bersalah.
7. Where warranted by the gravity of the
offence, each State Party, to the
extent consistent with the
fundamental principles of its legal
system, shall consider establishing
procedures for the disqualification, by
court order or any other appropriate
means, for a period of time
determined by its domestic law, of
persons convicted of offences
established in accordance with this
Convention from:
7. Dengan memperhatikan beratnya
kejahatan, Negara Pihak, sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsipprinsip
dasar sistem hukumnya, wajib
mempertimbangkan untuk
menetapkan dengan perintah
pengadilan atau cara lain yang
sesuai, untuk jangka waktu yang
ditentukan oleh hukum nasionalnya,
tata cara yang tidak membolehkan
orang yang dihukum karena
kejahatan menurut Konvensi ini
untuk:
(a) Holding public office; and (a) Memegang jabatan publik; dan
(b) Holding office in an enterprise
owned in whole or in part by the
State.
(b) Memegang jabatan dalam
perusahaan yang dimiliki
seluruhnya atau sebagiannya oleh
Negara.
8. Paragraph 1 of this article shall be
without prejudice to the exercise of
disciplinary powers by the competent
authorities against civil servants.
8. Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 tidak mengurangi
pelaksanaan kewenangan disipliner
terhadap pegawai sipil oleh pejabat
yang berwenang.
9. Nothing contained in this Convention
shall affect the principle that the
description of the offences
established in accordance with this
Convention and of the applicable
legal defenses or other legal
principles controlling the lawfulness of
conduct is reserved to the domestic
law of a State Party and that such
offences shall be prosecuted and
punished in accordance with that law.
9. Ketentuan Konvensi ini tidak
mempengaruhi prinsip bahwa uraian
tentang kejahatan menurut Konvensi
ini dan pembelaan hukum yang
berlaku atau prinsip hukum lainnya
yang mengatur keabsahan perilaku
tunduk pada hukum nasional Negara
Pihak dan bahwa kejahatan tersebut
akan dituntut dan dihukum sesuai
dengan hukum itu.
10. States Parties shall endeavour to
promote the reintegration into society
of persons convicted of offences
established in accordance with this
Convention.
10. Negara Pihak wajib berupaya untuk
meningkatkan pemasyarakatankembali
orang yang dihukum karena
kejahatan menurut Konvensi ini.
Article 31
Freezing, seizure and confiscation
Pasal 31
Pembekuan, penyitaan dan
perampasan
1. Each State Party shall take, to the
greatest extent possible within its
domestic legal system, such
measures as may be necessary to
1. Negara Pihak wajib mengambil,
sepanjang dimungkinkan dalam
sistem hukum nasionalnya, tindakantindakan
yang perlu untuk
36
enable confiscation of: memungkinkan perampasan:
(a) Proceeds of crime derived from
offences established in
accordance with this Convention
or property the value of which
corresponds to that of such
proceeds;
(a) Hasil kejahatan yang berasal dari
kejahatan menurut Konvensi ini
atau kekayaan yang nilainya
setara dengan hasil kejahatan itu;
(b) Property, equipment or other
instrumentalities used in or
destined for use in offences
established in accordance with
this Convention.
(b) Kekayaan, peralatan atau sarana
lain yang digunakan atau
dimaksudkan untuk digunakan
untuk kejahatan menurut
Konvensi ini.
2. Each State Party shall take such
measures as may be necessary to
enable the identification, tracing,
freezing or seizure of any item
referred to in paragraph 1 of this
article for the purpose of eventual
confiscation.
2. Negara Pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan yang perlu untuk
mengidentifikasi, melacak,
membekukan atau menyita setiap
barang sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 untuk tujuan perampasan.
3. Each State Party shall adopt, in
accordance with its domestic law,
such legislative and other measures
as may be necessary to regulate the
administration by the competent
authorities of frozen, seized or
confiscated property covered in
paragraphs 1 and 2 of this article.
3. Negara Pihak wajib mengambil,
sesuai dengan hukum nasionalnya,
tindakan-tindakan legislatif dan
lainnya yang perlu untuk mengatur
pengadministrasian oleh pejabat yang
berwenang atas kekayaan yang
dibekukan, disita atau dirampas
sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dan ayat 2.
4. If such proceeds of crime have been
transformed or converted, in part or in
full, into other property, such property
shall be liable to the measures
referred to in this article instead of the
proceeds.
4. Jika hasil kejahatan telah diubah atau
dikonversi, sebagiannya atau
seluruhnya, ke dalam kekayaan lain,
maka sebagai gantinya, kekayaan
tersebut wajib dikenakan tindakantindakan
sebagaimana dimaksud
dalam pasal ini.
5. If such proceeds of crime have been
intermingled with property acquired
from legitimate sources, such
property shall, without prejudice to
any powers relating to freezing or
seizure, be liable to confiscation up to
the assessed value of the
intermingled proceeds.
5. Jika hasil kejahatan telah bercampur
dengan kekayaan yang diperoleh dari
sumber-sumber yang sah, maka
dengan tidak mengurangi
kewenangan yang berkaitan dengan
pembekuan atau penyitaan, kekayaan
tersebut wajib dikenakan perampasan
sampai nilai perkiraan dari hasil
kejahatan yang dicampur tersebut.
6. Income or other benefits derived from
such proceeds of crime, from property
into which such proceeds of crime
have been transformed or converted
or from property with which such
proceeds of crime have been
6. Pendapatan atau manfaat lain yang
berasal dari hasil kejahatan, dari
kekayaan yang berasal dari
perubahan atau konversi hasil
kejahatan atau dari kekayaan yang
telah bercampur dengan hasil
37
intermingled shall also be liable to the
measures referred to in this article, in
the same manner and to the same
extent as proceeds of crime.
kejahatan, wajib juga dikenakan
tindakan-tindakan sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini, dengan
cara dan lingkup yang sama seperti
hasil kejahatan.
7. For the purpose of this article and
article 55 of this Convention, each
State Party shall empower its courts
or other competent authorities to
order that bank, financial or
commercial records be made
available or seized. A State Party
shall not decline to act under the
provisions of this paragraph on the
ground of bank secrecy.
7. Untuk melaksanakan pasal ini dan
pasal 55 Konvensi ini, Negara Pihak
wajib memberikan kewenangan
kepada pengadilan atau badan
berwenangnya yang lain untuk
memerintahkan agar dokumen bank,
keuangan atau perusahaan diberikan
atau disita. Negara Pihak tidak boleh
menolak melaksanakan ketentuan
pasal ini dengan alasan kerahasian
bank.
8. States Parties may consider the
possibility of requiring that an offender
demonstrate the lawful origin of such
alleged proceeds of crime or other
property liable to confiscation, to the
extent that such a requirement is
consistent with the fundamental
principles of their domestic law and
with the nature of judicial and other
proceedings.
8. Negara Pihak dapat
mempertimbangkan kemungkinan
untuk mewajibkan pelaku untuk
menunjukkan kesyahan asal-usul dari
apa yang diduga sebagai hasil
kejahatan atau kekayaan lain yang
dikenakan perampasan, sepanjang
kewajiban tersebut sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar hukum
nasionalnya dan dengan proses
pengadilan dan proses lainnya.
9. The provisions of this article shall not
be so construed as to prejudice the
rights of bona fide third parties.
9. Ketentuan pasal ini tidak boleh
merugikan hak pihak ketiga yang
beritikad baik.
10. Nothing contained in this article shall
affect the principle that the measures
to which it refers shall be defined and
implemented in accordance with and
subject to the provisions of the
domestic law of a State Party.
10. Ketentuan pasal ini tidak
mempengaruhi prinsip bahwa
tindakan-tindakan sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini diartikan
dan dilaksanakan sesuai dengan dan
tunduk pada ketentuan-ketentuan
hukum nasional Negara Pihak.
Article 32
Protection of witnesses, experts and
victims
Pasal 32
Perlindungan saksi, ahli dan korban
1. Each State Party shall take
appropriate measures in accordance
with its domestic legal system and
within its means to provide effective
protection from potential retaliation or
intimidation for witnesses and experts
who give testimony concerning
offences established in accordance
with this Convention and, as
appropriate, for their relatives and
1. Negara Pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan yang perlu sesuai
dengan sistem hukum nasionalnya
dan kemampuannya, untuk
memberikan perlindungan yang
efektif terhadap kemungkinan
pembalasan atau intimidasi, bagi
saksi dan ahli yang memberikan
kesaksian mengenai kejahatan
menurut Konvensi ini dan, sepanjang
perlu, bagi keluarganya serta orang38
other persons close to them. orang lain yang dekat dengannya.
2. The measures envisaged in
paragraph 1 of this article may
include, inter alia, without prejudice to
the rights of the defendant, including
the right to due process:
2. Tindakan-tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dapat, dengan
memperhatikan hak terdakwa
termasuk haknya atas proses hukum,
meliputi, antara lain:
(a) Establishing procedures for the
physical protection of such
persons, such as, to the extent
necessary and feasible, relocating
them and permitting, where
appropriate, non-disclosure or
limitations on the disclosure of
information concerning the identity
and whereabouts of such persons;
(a) Menetapkan tatacara
perlindungan fisik bagi orang
dengan, sepanjang perlu dan
layak, memindahkannya ke
tempat lain dan, sepanjang perlu,
tidak mengizinkan pengungkapan
atau membatasi pengungkapan
informasi mengenai identitas dan
keberadaan orang tersebut;
(b) Providing evidentiary rules to
permit witnesses and experts to
give testimony in a manner that
ensures the safety of such
persons, such as permitting
testimony to be given through the
use of communications
technology such as video or other
adequate means.
(b) Membuat aturan pembuktian yang
memungkinkan saksi dan ahli
memberikan kesaksian dengan
cara yang menjamin
keselamatannya, seperti
kesaksian yang diberikan melalui
teknologi komunikasi seperti video
atau sarana lain yang sesuai.
3. States Parties shall consider entering
into agreements or arrangements with
other States for the relocation of
persons referred to in paragraph 1 of
this article.
3. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk
mengadakan perjanjian atau
pengaturan dengan Negara lain untuk
pemindahan orang sebagaimana
dimaksud pada ayat 1.
4. The provisions of this article shall also
apply to victims insofar as they are
witnesses.
4. Ketentuan pasal ini berlaku juga bagi
korban sepanjang ia menjadi saksi.
5. Each State Party shall, subject to its
domestic law, enable the views and
concerns of victims to be presented
and considered at appropriate stages
of criminal proceedings against
offenders in a manner not prejudicial
to the rights of the defense.
5. Negara Pihak wajib, berdasarkan
hukum nasionalnya, memungkinkan
pendapat dan kekuatiran korban
dikemukakan dan dipertimbangkan
pada tahap yang sesuai di dalam
proses pidana terhadap pelaku
dengan cara yang tidak mengabaikan
hak pembelaan.
Article 33
Protection of reporting persons
Pasal 33
Perlindungan pelapor
Each State Party shall consider
incorporating into its domestic legal
system appropriate measures to provide
protection against any unjustified
treatment for any person who reports in
good faith and on reasonable grounds to
the competent authorities any facts
Negara Pihak wajib mempertimbangkan
untuk memasukkan ke dalam sistem
hukum nasionalnya tindakan-tindakan
yang perlu untuk memberikan
perlindungan terhadap perlakuan yang
tidak adil bagi orang yang melaporkan
dengan itikat baik dan dengan alasan39
concerning offences established in
accordance with this Convention.
alasan yang wajar kepada pihak yang
berwenang fakta-fakta mengenai
kejahatan menurut Konvensi ini.
Article 34
Consequences of acts of corruption
Pasal 34
Akibat tindakan korupsi
With due regard to the rights of third
parties acquired in good faith, each State
Party shall take measures, in accordance
with the fundamental principles of its
domestic law, to address consequences
of corruption. In this context, States
Parties may consider corruption a
relevant factor in legal proceedings to
annul or rescind a contract, withdraw a
concession or other similar instrument or
take any other remedial action.
Dengan memperhatikan hak-hak pihak
ketiga yang diperoleh dengan itikat baik,
Negara Pihak wajib mengambil tindakantindakan,
sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar hukum nasionalnya, untuk
mengatasi akibat-akibat korupsi. Dalam
kaitan ini, Negara Pihak dapat
mempertimbangkan korupsi sebagai
faktor yang relevan dalam proses hukum
untuk membatalkan atau meniadakan
kontrak, mencabut konsesi atau
instrumen lain yang sama atau
mengambil tindakan pemulihan lain.
Article 35
Compensation for damage
Pasal 35
Kompensasi kerugian
Each State Party shall take such
measures as may be necessary, in
accordance with principles of its domestic
law, to ensure that entities or persons
who have suffered damage as a result of
an act of corruption have the right to
initiate legal proceedings against those
responsible for that damage in order to
obtain compensation.
Negara Pihak wajib mengambil tindakantindakan
yang perlu, sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum nasionalnya, untuk
menjamin agar badan atau orang yang
menderita kerugian sebagai akibat dari
perbuatan korupsi mempunyai hak untuk
mengajukan tuntutan hukum terhadap
mereka yang bertanggung jawab atas
kerugian itu untuk memperoleh
kompensasi.
Article 36
Specialized authorities
Pasal 36
Badan khusus
Each State Party shall, in accordance
with the fundamental principles of its
legal system, ensure the existence of a
body or bodies or persons specialized in
combating corruption through law
enforcement. Such body or bodies or
persons shall be granted the necessary
independence, in accordance with the
fundamental principles of the legal
system of the State Party, to be able to
carry out their functions effectively and
without any undue influence. Such
persons or staff of such body or bodies
should have the appropriate training and
resources to carry out their tasks.
Negara Pihak wajib, sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya,
menjamin adanya badan atau badanbadan
atau orang-orang khusus untuk
memberantas korupsi melalui penegakan
hukum. Badan atau badan-badan atau
orang-orang tersebut harus diberikan
kemandirian yang diperlukan, sesuai
dengan prinsip-prinsip sistem hukum
Negara Pihak, agar dapat melaksanakan
fungsi-fungsi mereka secara efektif dan
tanpa pengaruh yang tidak semestinya.
Orang-orang atau staf dari badan atau
badan-badan tersebut harus memiliki
pelatihan dan sumber-daya yang
memadai untuk melaksanakan tugastugas
mereka.
40
Article 37
Cooperation with law enforcement
authorities
Pasal 37
Kerja sama dengan badan penegakan
hukum
1. Each State Party shall take
appropriate measures to encourage
persons who participate or who have
participated in the commission of an
offence established in accordance
with this Convention to supply
information useful to competent
authorities for investigative and
evidentiary purposes and to provide
factual, specific help to competent
authorities that may contribute to
depriving offenders of the proceeds of
crime and to recovering such
proceeds.
1. Negara Pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan yang perlu untuk
mendorong orang yang berpartisipasi
atau telah berpartisipasi dalam
pelaksanaan suatu kejahatan
menurut Konvensi ini untuk memberi
informasi yang berguna kepada
badan yang berwenang untuk tujuan
penyidikan dan pembuktian serta
memberikan bantuan yang nyata dan
khusus kepada badan yang
berwenang untuk melepaskan hasil
kejahatan dari pelaku kejahatan dan
mengambil hasil itu.
2. Each State Party shall consider
providing for the possibility, in
appropriate cases, of mitigating
punishment of an accused person
who provides substantial cooperation
in the investigation or prosecution of
an offence established in accordance
with this Convention.
2. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk
memberikan kemungkinan, dalam
kasus tertentu, untuk mengurangi
hukuman terdakwa yang memberikan
kerja sama yang penting dalam
penyidikan atau penuntutan kejahatan
menurut Konvensi ini.
3. Each State Party shall consider
providing for the possibility, in
accordance with fundamental
principles of its domestic law, of
granting immunity from prosecution to
a person who provides substantial
cooperation in the investigation or
prosecution of an offence established
in accordance with this Convention.
3. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk
memberikan peluang, sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar hukum
nasionalnya, untuk memberikan
kekebalan terhadap penuntutan
kepada orang yang menunjukkan
kerja sama yang penting dalam
penyidikan atau penuntutan kejahatan
menurut Konvensi ini.
4. Protection of such persons shall be,
mutatis mutandis, as provided for in
article 32 of this Convention.
4. Perlindungan bagi orang tersebut
wajib diberikan, mutatis mutandis,
sebagaimana diatur dalam pasal 32
Konvensi ini.
5. Where a person referred to in
paragraph 1 of this article located in
one State Party can provide
substantial cooperation to the
competent authorities of another
State Party, the States Parties
concerned may consider entering into
agreements or arrangements, in
accordance with their domestic law,
concerning the potential provision by
the other State Party of the treatment
set forth in paragraphs 2 and 3 of this
5. Jika orang sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 yang berada di suatu
Negara Pihak dapat memberikan
kerja sama yang penting kepada
pejabat yang berwenang dari Negara
Pihak lain, maka Negara-Negara
Pihak tersebut dapat
mempertimbangkan untuk
mengadakan perjanjian atau
pengaturan, sesuai dengan hukum
nasional masing-masing, mengenai
kemungkinan pemberian perlakuan
sebagaimana dimaksud pada ayat 2
41
article. dan ayat 3.
Article 38
Cooperation between national
authorities
Pasal 38
Kerjasama antara badan nasional
yang berwenang
Each State Party shall take such
measures as may be necessary to
encourage, in accordance with its
domestic law, cooperation between, on
the one hand, its public authorities, as
well as its public officials, and, on the
other hand, its authorities responsible for
investigating and prosecuting criminal
offences. Such cooperation may include:
Negara Pihak wajib mengambil tindakantindakan
yang perlu untuk mendorong,
sesuai dengan hukum nasionalnya, kerja
sama antara, di satu pihak, badan
berwenangnya serta pejabat publiknya,
dan, di lain pihak, badan berwenangnya
yang bertanggung jawab atas penyidikan
dan penuntutan kejahatan. Kerja sama
tersebut dapat meliputi :
(a) Informing the latter authorities, on
their own initiative, where there are
reasonable grounds to believe that
any of the offences established in
accordance with articles 15, 21 and
23 of this Convention has been
committed; or
(a) Memberikan kepada badan
berwenang yang disebut belakangan,
informasi atas prakarsa mereka
sendiri, dalam hal terdapat alasanalasan
yang wajar untuk meyakini
bahwa kejahatan yang dilakukan
sesuai dengan pasal 15, pasal 21 dan
pasal 23 Konvensi ini telah dilakukan;
atau
(b) Providing, upon request, to the latter
authorities all necessary information.
(b) Memberikan, atas permintaan, semua
informasi yang diperlukan kepada
badan berwenang yang disebut
belakangan;
Article 39
Cooperation between national
authorities and the private sector
Pasal 39
Kerjasama antara badan nasional
yang berwenang dan sektor swasta
1. Each State Party shall take such
measures as may be necessary to
encourage, in accordance with its
domestic law, cooperation between
national investigating and prosecuting
authorities and entities of the private
sector, in particular financial
institutions, relating to matters
involving the commission of offences
established in accordance with this
Convention.
1. Negara Pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan yang perlu untuk
mendorong, sesuai dengan hukum
nasionalnya, kerjasama antara badan
nasional yang berwenang melakukan
penyidikan dan penuntutan dan
badan-badan sektor swasta,
khususnya lembaga keuangan,
berkaitan dengan hal-hal menyangkut
pelaksanaan kejahatan menurut
Konvensi ini.
2. Each State Party shall consider
encouraging its nationals and other
persons with a habitual residence in
its territory to report to the national
investigating and prosecuting
authorities the commission of an
offence established in accordance
with this Convention.
2. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk mendorong
warga negaranya dan orang lain yang
berkediaman tetap dalam wilayahnya
untuk menyampaikan laporan
mengenai terjadinya kejahatan
menurut Konvensi ini kepada badan
nasional yang berwenang melakukan
penyidikan dan penuntutan.
42
Article 40
Bank secrecy
Pasal 40
Kerahasiaan bank
Each State Party shall ensure that, in the
case of domestic criminal investigations
of offences established in accordance
with this Convention, there are
appropriate mechanisms available within
its domestic legal system to overcome
obstacles that may arise out of the
application of bank secrecy laws.
Negara Pihak wajib mengusahakan agar
dalam penyidikan pidana atas kejahatan
menurut Konvensi ini terdapat
mekanisme yang memadai di dalam
sistem hukum nasionalnya untuk
mengatasi hambatan-hambatan yang
mungkin timbul dari penerapan undangundang
tentang kerahasiaan bank.
Article 41
Criminal record
Pasal 41
Catatan kejahatan
Each State Party may adopt such
legislative or other measures as may be
necessary to take into consideration,
under such terms as and for the purpose
that it deems appropriate, any previous
conviction in another State of an alleged
offender for the purpose of using such
information in criminal proceedings
relating to an offence established in
accordance with this Convention.
Negara Pihak dapat mengambil tindakantindakan
legislatif atau lainnya yang perlu
untuk mempertimbangkan, berdasarkan
persyaratan dan untuk maksud yang
dianggapnya layak, penghukuman di
Negara lain atas pelaku dengan tujuan
untuk mempergunakan informasi itu di
dalam proses pidana yang berkaitan
dengan kejahatan menurut Konvensi ini.
Article 42
Jurisdiction
Pasal 42
Yurisdiksi
1. Each State Party shall adopt such
measures as may be necessary to
establish its jurisdiction over the
offences established in accordance
with this Convention when:
1. Negara Pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan yang perlu untuk
menetapkan yurisdiksinya atas
kejahatan menurut Konvensi ini jika:
(a) The offence is committed in the
territory of that State Party; or
(a) Kejahatan itu dilakukan di dalam
wilayah Negara Pihak itu; atau
(b) The offence is committed on
board a vessel that is flying the
flag of that State Party or an
aircraft that is registered under the
laws of that State Party at the time
that the offence is committed.
(b) Kejahatan itu dilakukan di atas
kapal yang berbendera Negara
Pihak itu atau pesawat terbang
yang terdaftar berdasarkan
undang-undang Negara Pihak itu
pada saat kejahatan dilakukan.
2. Subject to article 4 of this Convention,
a State Party may also establish its
jurisdiction over any such offence
when:
2. Dengan memperhatikan ketentuan
pasal 4 Konvensi ini, Negara Pihak
dapat juga menetapkan yurisdiksinya
atas suatu kejahatan jika:
(a) The offence is committed against
a national of that State Party; or
(a) Kejahatan itu dilakukan terhadap
warga negara Negara Pihak itu;
atau
(b) The offence is committed by a
national of that State Party or a
stateless person who has his or
(b) Kejahatan itu dilakukan oleh
warga negara Negara Pihak itu
atau orang tanpa
43
her habitual residence in its
territory; or
kewarganegaraan yang
berkediaman tetap di dalam
wilayahnya; atau
(c) The offence is one of those
established in accordance with
article 23, paragraph 1 (b) (ii), of
this Convention and is committed
outside its territory with a view to
the commission of an offence
established in accordance with
article 23, paragraph 1 (a) (i) or (ii)
or (b) (i), of this Convention within
its territory; or
(c) Kejahatan itu merupakan salah
satu dari kejahatan-kejahatan
sebagaimana dimaksud dalam
pasal 23 ayat 1 (b) (ii) Konvensi
ini dan dilakukan di luar
wilayahnya dengan tujuan untuk
melaksanakan kejahatan
sebagaimana dimaksud dalam
pasal 23 ayat 1 (a) (i) atau (ii) atau
(b) (i) Konvensi ini di dalam
wilayahnya; atau
(d) The offence is committed against
the State Party.
(d) Kejahatan itu dilakukan terhadap
Negara Pihak.
3. For the purposes of article 44 of this
Convention, each State Party shall
take such measures as may be
necessary to establish its jurisdiction
over the offences established in
accordance with this Convention
when the alleged offender is present
in its territory and it does not extradite
such person solely on the ground that
he or she is one of its nationals.
3. Untuk tujuan pasal 44 Konvensi ini,
Negara Pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan yang perlu untuk
menetapkan yurisdiksinya atas
kejahatan menurut Konvensi ini jika
tersangka pelaku berada di
wilayahnya dan Negara Pihak itu
tidak mengekstradisi orang itu karena
alasan bahwa orang itu adalah warga
negaranya.
4. Each State Party may also take such
measures as may be necessary to
establish its jurisdiction over the
offences established in accordance
with this Convention when the alleged
offender is present in its territory and
it does not extradite him or her.
4. Negara Pihak dapat juga mengambil
tindakan-tindakan yang perlu untuk
menetapkan yurisdiksi atas kejahatan
menurut Konvensi ini jika tersangka
pelaku berada di wilayahnya dan
tidak diekstradisi.
5. If a State Party exercising its
jurisdiction under paragraph 1 or 2 of
this article has been notified, or has
otherwise learned, that any other
States Parties are conducting an
investigation, prosecution or judicial
proceeding in respect of the same
conduct, the competent authorities of
those States Parties shall, as
appropriate, consult one another with
a view to coordinating their actions.
5. Jika Negara Pihak yang
melaksanakan yurisdiksinya
berdasarkan ayat 1 atau ayat 2
diberitahu, atau mengetahui, bahwa
suatu Negara Pihak lain sedang
melakukan penyidikan, penuntutan
atau proses pengadilan berkenaan
dengan hal yang sama, maka pejabat
yang berwenang dari Negara-Negara
Pihak itu wajib, sepanjang perlu,
berkonsultasi satu sama lain untuk
mengkoordinasikan tindakan-tindakan
mereka.
6. Without prejudice to norms of general
international law, this Convention
shall not exclude the exercise of any
criminal jurisdiction established by a
State Party in accordance with its
6. Tanpa mengurangi norma-norma
hukum internasional umum, Konvensi
ini tidak mengesampingkan
pelaksanaan yurisdiksi pidana yang
ditetapkan oleh suatu Negara Pihak
44
domestic law. sesaui dengan hukum nasionalnya.
Chapter IV
International cooperation
Bab IV
Kerjasama Internasional
Article 43
International cooperation
Pasal 43
Kerjasama internasional
1. States Parties shall cooperate in
criminal matters in accordance with
articles 44 to 50 of this Convention.
Where appropriate and consistent
with their domestic legal system,
States Parties shall consider assisting
each other in investigations of and
proceedings in civil and administrative
matters relating to corruption.
1. Negara Pihak wajib bekerja sama
dalam masalah-masalah kejahatan
sesuai dengan ketentuan pasal 44
sampai pasal 50 Konvensi ini.
Sepanjang perlu dan sesuai dengan
sistem hukum nasional masingmasing,
Negara-Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk saling
membantu penyidikan dan proses
dalam masalah-masalah perdata dan
admistratif yang berkaitan dengan
korupsi.
2. In matters of international
cooperation, whenever dual
criminality is considered a
requirement, it shall be deemed
fulfilled irrespective of whether the
laws of the requested State Party
place the offence within the same
category of offence or denominate the
offence by the same terminology as
the requesting State Party, if the
conduct underlying the offence for
which assistance is sought is a
criminal offence under the laws of
both States Parties.
2. Dalam masalah-masalah kerja sama
internasional, dalam hal kriminalitas
ganda dianggap sebagai persyaratan,
maka hal itu dianggap sebagai telah
dipenuhi tanpa memperhatikan
apakah undang-undang Negara Pihak
yang diminta menempatkan kejahatan
itu ke dalam kategori kejahatan yang
sama atau menyebut kejahatan itu
dengan istilah yang sama seperti di
Negara Pihak yang meminta, jika
perbuatan yang mendasari kejahatan
yang menjadi alasan permintaan
bantuan adalah kejahatan menurut
undang-undang kedua Negara Pihak.
Article 44
Extradition
Pasal 44
Ekstradisi
1. This article shall apply to the offences
established in accordance with this
Convention where the person who is
the subject of the request for
extradition is present in the territory of
the requested State Party, provided
that the offence for which extradition
is sought is punishable under the
domestic law of both the requesting
State Party and the requested State
Party.
1. Pasal ini berlaku bagi kejahatankejahatan
menurut Konvensi ini jika
orang yang diminta untuk
diekstradisikan berada di wilayah
Negara Pihak yang diminta, dengan
ketentuan bahwa kejahatan yang
menjadi dasar permintaan ekstradisi
itu dapat dihukum menurut hukum
nasional Negara Pihak yang meminta
dan Negara Pihak yang diminta.
2. Notwithstanding the provisions of
paragraph 1 of this article, a State
Party whose law so permits may grant
the extradition of a person for any of
the offences covered by this
2. Menyimpang dari ketentuan ayat 1,
Negara Pihak yang hukumnya
membolehkan, dapat mengabulkan
ekstradisi untuk kejahatan yang diatur
dalam Konvensi ini yang menurut
45
Convention that are not punishable
under its own domestic law.
hukum nasionalnya tidak dapat
dihukum.
3. If the request for extradition includes
several separate offences, at least
one of which is extraditable under this
article and some of which are not
extraditable by reason of their period
of imprisonment but are related to
offences established in accordance
with this Convention, the requested
State Party may apply this article also
in respect of those offences.
3. Jika permintaan ekstradisi meliputi
beberapa kejahatan yang terpisah,
dan sekurang-kurangnya satu dari
kejahatan itu dapat diekstradisi
menurut pasal ini dan kejahatan
lainnya tidak dapat diekstradisi
dengan karena alasan jangka waktu
penghukumannya tetapi mempunyai
kaitan dengan kejahatan menurut
Konvensi ini, maka Negara Pihak
yang diminta dapat menerapkan
pasal ini juga bagi kejahatankejahatan
itu.
4. Each of the offences to which this
article applies shall be deemed to be
included as an extraditable offence in
any extradition treaty existing
between States Parties. States
Parties undertake to include such
offences as extraditable offences in
every extradition treaty to be
concluded between them. A State
Party whose law so permits, in case it
uses this Convention as the basis for
extradition, shall not consider any of
the offences established in
accordance with this Convention to be
a political offence.
4. Kejahatan yang dapat dikenakan
penerapan pasal ini harus dianggap
termasuk dalam kejahatan yang
dapat diekstradisi di dalam perjanjian
ekstradisi antara Negara-negara
Pihak. Negara-negara Pihak akan
memasukkan kejahatan tersebut
sebagai kejahatan yang dapat
diekstradisi di dalam perjanjian
ekstradisi yang akan dibuat di antara
mereka. Negara Pihak yang
hukumnya membolehkannya, dalam
hal Negara Pihak itu menggunakan
Konvensi ini sebagai dasar untuk
ekstradisi, tidak boleh
memperlakukan kejahatan menurut
Konvensi ini sebagai kejahatan politik.
5. If a State Party that makes extradition
conditional on the existence of a
treaty receives a request for
extradition from another State Party
with which it has no extradition treaty,
it may consider this Convention the
legal basis for extradition in respect of
any offence to which this article
applies.
5. Jika Negara Pihak yang
mempersyaratkan ekstradisi pada
adanya perjanjian menerima
permintaan ekstradisi dari Negara
Pihak lain yang tidak mempunyai
perjanjian ekstradisi dengan Negara
Pihak itu, maka Negara Pihak itu
dapat mempertimbangkan Konvensi
ini sebagai dasar hukum ekstradisi
bagi kejahatan yang dapat dikenakan
penerapan pasal ini.
6. A State Party that makes extradition
conditional on the existence of a
treaty shall:
6. Negara Pihak yang mempersyaratkan
ekstradisi pada adanya perjanjian
wajib:
(a) At the time of deposit of its
instrument of ratification,
acceptance or approval of or
accession to this Convention,
inform the Secretary-General of
the United Nations whether it will
(a) Pada saat penyimpanan
instrumen pengesahan,
penerimaan atau persetujuan atau
aksesi Konvensi ini,
memberitahukan kepada
Sekretaris Jenderal Perserikatan
46
take this Convention as the legal
basis for cooperation on
extradition with other States
Parties to this Convention; and
Bangsa-Bangsa apakah akan
menggunakan Konvensi ini
sebagai dasar hukum bagi kerja
sama ekstradisi dengan Negara
Pihak lain pada Konvensi ini; dan
(b) If it does not take this Convention
as the legal basis for cooperation
on extradition, seek, where
appropriate, to conclude treaties
on extradition with other States
Parties to this Convention in order
to implement this article.
(b) Jika Negara Pihak itu tidak
menggunakan Konvensi ini
sebagai dasar hukum bagi
kerjasama ekstradisi,
mengupayakan, sepanjang perlu,
untuk mengadakan perjanjian
ekstradisi dengan Negara Pihak
lain pada Konvensi ini untuk
melaksanakan pasal ini.
7. States Parties that do not make
extradition conditional on the
existence of a treaty shall recognize
offences to which this article applies
as extraditable offences between
themselves.
7. Negara-Negara Pihak yang tidak
mempersyaratkan ekstradisi pada
adanya perjanjian wajib mengakui
kejahatan yang dapat dikenakan
penerapan pasal ini sebagai
kejahatan yang dapat diekstradisi di
antara Negara-Negara Pihak itu.
8. Extradition shall be subject to the
conditions provided for by the
domestic law of the requested State
Party or by applicable extradition
treaties, including, inter alia,
conditions in relation to the minimum
penalty requirement for extradition
and the grounds upon which the
requested State Party may refuse
extradition.
8. Ekstradisi tunduk pada syarat-syarat
yang ditetapkan dalam hukum
nasional Negara Pihak yang diminta
atau dalam perjanjian ekstradisi yang
berlaku, termasuk antara lain,
persyaratan yang terkait dengan
syarat hukuman minimum untuk
ekstradisi dan alasan-alasan bagi
Negara Pihak yang diminta untuk
menolak ekstradisi.
9. States Parties shall, subject to their
domestic law, endeavour to expedite
extradition procedures and to simplify
evidentiary requirements relating
thereto in respect of any offence to
which this article applies.
9. Negara Pihak wajib, berdasarkan
hukum nasionalnya, berupaya untuk
mempercepat prosedur ekstradisi dan
menyederhanakan persyaratan
pembuktian yang berkaitan dengan
itu menyangkut kejahatan yang dapat
dikenakan penerapan pasal ini.
10. Subject to the provisions of its
domestic law and its extradition
treaties, the requested State Party
may, upon being satisfied that the
circumstances so warrant and are
urgent and at the request of the
requesting State Party, take a person
whose extradition is sought and who
is present in its territory into custody
or take other appropriate measures to
ensure his or her presence at
extradition proceedings.
10. Berdasarkan ketentuan-ketentuan
hukum nasionalnya dan perjanjian
ekstradisinya, Negara Pihak yang
diminta, setelah meyakini keadaankeadaan
yang ada menghendaki
demikian atau sifatnya mendesak dan
atas permintaan Negara Pihak yang
meminta, dapat mengambil orang
yang dimintakan ekstradisi dan yang
berada dalam wilayahnya untuk
ditahan atau mengambil tindakantindakan
yang perlu lainnya untuk
menjamin kehadirannya pada proses
47
ekstradisi.
11. A State Party in whose territory an
alleged offender is found, if it does not
extradite such person in respect of an
offence to which this article applies
solely on the ground that he or she is
one of its nationals, shall, at the
request of the State Party seeking
extradition, be obliged to submit the
case without undue delay to its
competent authorities for the purpose
of prosecution. Those authorities shall
take their decision and conduct their
proceedings in the same manner as
in the case of any other offence of a
grave nature under the domestic law
of that State Party. The States Parties
concerned shall cooperate with each
other, in particular on procedural and
evidentiary aspects, to ensure the
efficiency of such prosecution.
11. Negara Pihak yang di dalam
wilayahnya ditemukan tersangka
pelaku, jika Negara Pihak itu tidak
mengekstradisi orang itu untuk
kejahatan yang terkena penerapan
pasal ini karena alasan bahwa orang
itu adalah warga negaranya, wajib,
atas permintaan Negara Pihak yang
memohon ekstradisi, untuk
menyerahkan kasus itu tanpa
penundaan yang tidak perlu kepada
pejabat berwenangnya untuk
dilakukan penuntutan. Pejabat yang
berwenang itu wajib mengambil
putusan dan melaksanakan proses
dengan cara yang sama seperti untuk
kasus lain yang berat menurut hukum
nasional Negara Pihak itu. Negara-
Negara Pihak yang bersangkutan
wajib saling bekerja sama, khususnya
menyangkut aspek prosedur dan
pembuktian, untuk menjamin efisiensi
penuntutan tersebut.
12. Whenever a State Party is permitted
under its domestic law to extradite or
otherwise surrender one of its
nationals only upon the condition that
the person will be returned to that
State Party to serve the sentence
imposed as a result of the trial or
proceedings for which the extradition
or surrender of the person was sought
and that State Party and the State
Party seeking the extradition of the
person agree with this option and
other terms that they may deem
appropriate, such conditional
extradition or surrender shall be
sufficient to discharge the obligation
set forth in paragraph 11 of this
article.
12. Jika suatu Negara Pihak dibolehkan
oleh hukum nasionalnya untuk
mengekstradisi atau menyerahkan
warga negaranya dengan syarat
bahwa orang itu akan dikembalikan
ke Negara Pihak itu untuk menjalani
hukuman yang dijatuhkan sebagai
akibat pengadilan atau proses hukum
yang menjadi dasar permintaan
ekstradisi atau pemindahan orang itu
dan Negara Pihak itu serta Negara
Pihak yang memohon ekstradisi
menyetujui opsi ini dan syarat-syarat
lain yang dianggap layak, maka
ekstradisi atau penyerahan bersyarat
itu sudah cukup untuk melepaskan
kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat 11.
13. If extradition, sought for purposes of
enforcing a sentence, is refused
because the person sought is a
national of the requested State Party,
the requested State Party shall, if its
domestic law so permits and in
conformity with the requirements of
such law, upon application of the
requesting State Party, consider the
enforcement of the sentence imposed
under the domestic law of the
13. Jika ekstradisi, yang diminta dalam
rangka melaksanakan suatu
hukuman, ditolak karena orang yang
diminta adalah warga negara Negara
Pihak yang diminta, maka Negara
Pihak yang diminta, jika hukum
nasionalnya membolehkannya dan
berdasarkan syarat-syarat yang
ditetapkan dalam hukum tersebut,
atas permohonan Negara Pihak yang
meminta, wajib mempertimbangkan
48
requesting State Party or the
remainder thereof.
untuk melaksanakan hukuman yang
dijatuhkan berdasarkan hukum
nasional Negara Pihak yang meminta
atau sisa hukuman tersebut.
14. Any person regarding whom
proceedings are being carried out in
connection with any of the offences to
which this article applies shall be
guaranteed fair treatment at all stages
of the proceedings, including
enjoyment of all the rights and
guarantees provided by the domestic
law of the State Party in the territory
of which that person is present.
14. Setiap orang yang sedang menjalani
proses hukum yang berkaitan dengan
kejahatan yang dapat dikenakan
penerapan pasal ini, wajib dijamin
untuk diperlakukan dengan adil pada
semua tahap proses, termasuk
menikmati semua hak dan jaminan
yang diberikan oleh hukum nasional
Negara Pihak tempat orang itu
berada.
15. Nothing in this Convention shall be
interpreted as imposing an obligation
to extradite if the requested State
Party has substantial grounds for
believing that the request has been
made for the purpose of prosecuting
or punishing a person on account of
that person’s sex, race, religion,
nationality, ethnic origin or political
opinions or that compliance with the
request would cause prejudice to that
person’s position for any one of these
reasons.
15. Ketentuan Konvensi ini tidak boleh
ditafsirkan sebagai memberikan
kewajiban untuk melakukan ekstradisi
jika Negara Pihak yang diminta
memiliki alasan-alasan yang kuat
untuk meyakini bahwa permintaan itu
telah diajukan untuk tujuan
penuntutan atau penghukuman
seseorang berdasarkan kelamin, ras,
agama, kebangsaan, asal etnis atau
aliran politik orang itu atau bahwa
pengabulan permintaan itu akan
membahayakan kedudukan orang itu
karena satu dari alasan-alasan
tersebut.
16. States Parties may not refuse a
request for extradition on the sole
ground that the offence is also
considered to involve fiscal matters.
16. Negara Pihak tidak boleh menolak
permintaan ekstradisi semata-mata
karena alasan bahwa kejahatan itu
dianggap melibatkan juga masalah
perpajakan.
17. Before refusing extradition, the
requested State Party shall, where
appropriate, consult with the
requesting State Party to provide it
with ample opportunity to present its
opinions and to provide information
relevant to its allegation.
17. Sebelum menolak ekstradisi, Negara
Pihak yang diminta wajib, sepanjang
perlu, berkonsultasi dengan Negara
Pihak yang meminta untuk
memberikan kesempatan yang cukup
kepadanya untuk menyampaikan
pendapatnya dan memberikan
informasi yang terkait dengan
persangkaannya.
18. States Parties shall seek to conclude
bilateral and multilateral agreements
or arrangements to carry out or to
enhance the effectiveness of
extradition.
18. Negara-Negara Pihak wajib
mengupayakan untuk mengadakan
perjanjian atau pengaturan bilateral
dan multilateral untuk melaksanakan
atau meningkatkan efektivitas
ekstradisi.
49
Article 45
Transfer of sentenced persons
Pasal 45
Pemindahan orang terhukum
States Parties may consider entering into
bilateral or multilateral agreements or
arrangements on the transfer to their
territory of persons sentenced to
imprisonment or other forms of
deprivation of liberty for offences
established in accordance with this
Convention in order that they may
complete their sentences there.
Negara-Negara Pihak dapat
mempertimbangkan untuk mengadakan
perjanjian atau pengaturan bilateral atau
multilateral mengenai pemindahan ke
wilayahnya orang yang dihukum dengan
pidana penjara atau dengan bentuk lain
perampasan kebebasan karena
kejahatan menurut Konvensi ini agar
orang itu dapat menyelesaikan
hukumannya di sana.
Article 46
Mutual legal assistance
Pasal 46
Bantuan hukum timbal-balik
1. States Parties shall afford one
another the widest measure of mutual
legal assistance in investigations,
prosecutions and judicial proceedings
in relation to the offences covered by
this Convention.
1. Negara Pihak wajib saling
memberikan sebesar mungkin
bantuan hukum timbal-balik bagi
penyidikan, penuntutan dan proses
pengadilan berkaitan dengan
kejahatan menurut Konvensi ini.
2. Mutual legal assistance shall be
afforded to the fullest extent possible
under relevant laws, treaties,
agreements and arrangements of the
requested State Party with respect to
investigations, prosecutions and
judicial proceedings in relation to the
offences for which a legal person may
be held liable in accordance with
article 26 of this Convention in the
requesting State Party.
2. Bantuan hukum timbal-balik wajib
diberikan sebesar-besarnya
berdasarkan undang-undang, traktat,
perjanjian dan pengaturan Negara
Pihak yang diminta bagi penyidikan,
penuntutan dan proses pengadilan
yang berkaitan dengan kejahatan
yang memungkinan
pertanggungjawaban badan hukum
sesuai dengan ketentuan pasal 26
Konvensi ini di Negara Pihak yang
meminta.
3. Mutual legal assistance to be afforded
in accordance with this article may be
requested for any of the following
purposes:
3. Bantuan hukum timbal-balik yang
akan diberikan sesuai dengan pasal
ini dapat diminta untuk tujuan-tujuan
berikut:
(a) Taking evidence or statements
from persons;
(a) Mengambil bukti atau pernyataan
dari orang;
(b) Effecting service of judicial
documents;
(b) Menyampaikan dokumen
pengadilan;
(c) Executing searches and seizures,
and freezing;
(c) Melakukan penyelidikan dan
penyitaan serta pembekuan;
(d) Examining objects and sites; (d) Memeriksa barang dan tempat;
(e) Providing information, evidentiary
items and expert evaluations;
(e) Memberikan informasi, barang
bukti dan penilaian ahli;
(f) Providing originals or certified
copies of relevant documents and
(f) Memberikan dokumen asli atau
salinan resminya dan catatan
50
records, including government,
bank, financial, corporate or
business records;
yang relevan, termasuk catatan
pemerintah, bank, keuangan,
perusahaan atau usaha;
(g) Identifying or tracing proceeds of
crime, property, instrumentalities
or other things for evidentiary
purposes;
(g) Mengidentifikasi atau melacak
hasil kejahatan, kekayaan, sarana
atau hal lain untuk tujuan
pembuktian;
(h) Facilitating the voluntary
appearance of persons in the
requesting State Party;
(h) Memfasilitasi kehadiran orang
secara sukarela di Negara Pihak
yang meminta;
(i) Any other type of assistance that
is not contrary to the domestic law
of the requested State Party;
(i) Bantuan lain yang tidak
bertentangan dengan hukum
nasional Negara Pihak yang
diminta;
(j) Identifying, freezing and tracing
proceeds of crime in accordance
with the provisions of chapter V of
this Convention;
(j) Mengidentifikasi, membekukan
dan melacak hasil kejahatan
sesuai dengan ketentuanketentuan
Bab V Konvensi ini.
(k) The recovery of assets, in
accordance with the provisions of
chapter V of this Convention.
(k) Mengembalikan aset, sesuai
dengan ketentuan-ketentuan Bab
V Konvensi ini.
4. Without prejudice to domestic law, the
competent authorities of a State Party
may, without prior request, transmit
information relating to criminal
matters to a competent authority in
another State Party where they
believe that such information could
assist the authority in undertaking or
successfully concluding inquiries and
criminal proceedings or could result in
a request formulated by the latter
State Party pursuant to this
Convention.
4. Tanpa mengurangi hukum nasional,
pejabat berwenang suatu Negara
Pihak dapat, tanpa permintaan lebih
dahulu, menyampaikan informasi
yang berkaitan dengan masalahmasalah
pidana kepada pejabat
berwenang di Negara Pihak lain yang
meyakini bahwa informasi itu dapat
membantu untuk melakukan atau
menuntaskan penyelidikan dan
proses pidana atau dapat
menghasilkan permintaan yang
dirumuskan oleh Negara Pihak lain itu
sesuai dengan Konvensi ini.
5. The transmission of information
pursuant to paragraph 4 of this article
shall be without prejudice to inquiries
and criminal proceedings in the State
of the competent authorities providing
the information. The competent
authorities receiving the information
shall comply with a request that said
information remain confidential, even
temporarily, or with restrictions on its
use. However, this shall not prevent
the receiving State Party from
disclosing in its proceedings
information that is exculpatory to an
accused person. In such a case, the
5. Penyampaian informasi berdasarkan
ketentuan ayat 4 tidak boleh
mengurangi penyelidikan dan proses
pidana di Negara dari pejabat
berwenang yang memberikan
informasi. Pejabat berwenang yang
menerima informasi wajib mematuhi
permintaan agar informasi itu
dirahasiakan, meski untuk sementara
waktu, atau digunakan dengan
pembatasan-pembatasan tertentu.
Namun demikian, hal ini tidak
menghalangi Negara Pihak yang
menerima untuk di dalam proses
hukumnya mengungkapkan informasi
51
receiving State Party shall notify the
transmitting State Party prior to the
disclosure and, if so requested,
consult with the transmitting State
Party. If, in an exceptional case,
advance notice is not possible, the
receiving State Party shall inform the
transmitting State Party of the
disclosure without delay.
yang membebaskan kepada seorang
terdakwa. Dalam hal demikian,
Negara Pihak yang menerima wajib,
sebelum informasi diungkapkan,
memberitahu kepada Negara Pihak
yang menyampaikan dan, jika
diminta, berkonsultasi dengan Negara
Pihak yang menyampaikan. Jika
dalam keadaan luar biasa
pemberitahuan di muka itu tidak
memungkinkan, Negara Pihak yang
menerima wajib dengan segera
menginformasikan kepada Negara
Pihak yang menyampaikan mengenai
pengungkapan itu.
6. The provisions of this article shall not
affect the obligations under any other
treaty, bilateral or multilateral, that
governs or will govern, in whole or in
part, mutual legal assistance.
6. Ketentuan pasal ini tidak
mempengaruhi kewajiban dalam
traktat bilateral atau multilateral yang
mengatur atau akan mengatur,
seluruhnya atau sebagiannya,
mengenai bantuan hukum timbalbalik.
7. Paragraphs 9 to 29 of this article shall
apply to requests made pursuant to
this article if the States Parties in
question are not bound by a treaty of
mutual legal assistance. If those
States Parties are bound by such a
treaty, the corresponding provisions
of that treaty shall apply unless the
States Parties agree to apply
paragraphs 9 to 29 of this article in
lieu thereof. States Parties are
strongly encouraged to apply those
paragraphs if they facilitate
cooperation.
7. Ketentuan ayat 9 sampai ayat 29
berlaku bagi permintaan yang
diajukan berdasarkan pasal ini jika
Negara-Negara Pihak yang
bersangkutan tidak terikat oleh traktat
mengenai bantuan hukum timbalbalik.
Jika Negara-Negara Pihak
terikat oleh traktat sedemikian,
ketentuan-ketentuan yang
bersangkutan dalam traktat itu
berlaku kecuali Negara Pihak setuju
untuk menerapkan ketentuan ayat 9
sampai ayat 29 sebagai
penggantinya. Negara-Negara Pihak
sangat didorong untuk menerapkan
ketentuan ayat-ayat tersebut jika
mereka memfasilitasi kerjasama.
8. States Parties shall not decline to
render mutual legal assistance
pursuant to this article on the ground
of bank secrecy.
8. Negara Pihak tidak boleh menolak
untuk memberikan bantuan hukum
timbal-balik berdasarkan pasal ini
dengan alasan kerahasiaan bank.
9. (a) A requested State Party, in
responding to a request for
assistance pursuant to this article
in the absence of dual criminality,
shall take into account the
purposes of this Convention, as
set forth in article 1;
9. (a)Dalam menanggapi permintaan
bantuan menurut pasal ini jika tidak
ada kriminalitas ganda, Negara Pihak
yang diminta wajib
mempertimbangkan tujuan Konvensi
ini sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1;
(b) States Parties may decline to
render assistance pursuant to this
(b) Negara Pihak dapat menolak
memberikan bantuan menurut
52
article on the ground of absence
of dual criminality. However, a
requested State Party shall, where
consistent with the basic concepts
of its legal system, render
assistance that does not involve
coercive action. Such assistance
may be refused when requests
involve matters of a de minimis
nature or matters for which the
cooperation or assistance sought
is available under other provisions
of this Convention;
pasal ini dengan alasan tidak
ada kriminalitas ganda. Namun
demikian, Negara Pihak yang
diminta wajib, sepanjang sesuai
dengan konsep dasar sistem
hukumnya, memberikan bantuan
yang tidak melibatkan tindakan
yang bersifat paksaan. Bantuan
tersebut dapat ditolak jika
permintaan melibatkan masalahmasalah
yang bersifat de
minimis atau masalah-masalah
yang pemberian kerjasama atau
bantuannya diatur menurut
ketentuan lain dalam Konvensi
ini;
(c) Each State Party may consider
adopting such measures as may
be necessary to enable it to
provide a wider scope of
assistance pursuant to this article
in the absence of dual criminality.
(c) Negara Pihak dapat
mempertimbangkan untuk
mengambil tindakan-tindakan
yang perlu untuk memungkinkan
pemberian bantuan menurut
pasal ini dengan lingkup yang
lebih luas jika tidak ada
kriminalitas ganda.
10. A person who is being detained or is
serving a sentence in the territory of
one State Party whose presence in
another State Party is requested for
purposes of identification, testimony
or otherwise providing assistance in
obtaining evidence for investigations,
prosecutions or judicial proceedings
in relation to offences covered by this
Convention may be transferred if the
following conditions are met:
10. Seseorang yang sedang ditahan atau
sedang menjalani hukuman di wilayah
suatu Negara Pihak tetapi dibutuhkan
kehadirannya di Negara Pihak lain
untuk tujuan identifikasi, kesaksian
atau memberikan bantuan untuk
memperoleh bukti bagi penyidikan,
penuntutan atau proses pengadilan
yang berkaitan dengan kejahatan
menurut Konvensi ini dapat
dipindahkan jika syarat-syarat berikut
dipenuhi:
(a) The person freely gives his or her
informed consent;
(a) Orang tersebut secara sukarela
memberikan persetujuannya;
(b) The competent authorities of both
States Parties agree, subject to
such conditions as those States
Parties may deem appropriate.
(b) Pejabat berwenang kedua Negara
Pihak setuju, dengan syaratsyarat
yang dianggap layak oleh
Negara-Negara Pihak itu.
11. For the purposes of paragraph 10 of
this article:
11. Untuk tujuan ayat 10 :
(a) The State Party to which the
person is transferred shall have
the authority and obligation to
keep the person transferred in
custody, unless otherwise
requested or authorized by the
(a) Negara Pihak yang meminta
pemindahan memiliki
kewenangan dan kewajiban untuk
menahan orang yang
dipindahkan, kecuali diminta lain
atau diberi kewenangan lain oleh
53
State Party from which the person
was transferred;
Negara Pihak yang
memindahkan;
(b) The State Party to which the
person is transferred shall without
delay implement its obligation to
return the person to the custody of
the State Party from which the
person was transferred as agreed
beforehand, or as otherwise
agreed, by the competent
authorities of both States Parties;
(b) Negara Pihak yang meminta
pemindahan wajib dengan segera
melaksanakan kewajiban
mengembalikan orang itu ke
dalam tahanan Negara Pihak
yang memindahkan sebagaimana
disepakati sebelumnya, atau
sebagaimana disepakati lain, oleh
pejabat berwenang kedua Negara
Pihak;
(c) The State Party to which the
person is transferred shall not
require the State Party from which
the person was transferred to
initiate extradition proceedings for
the return of the person;
(c) Negara Pihak yang meminta
pemindahan tidak boleh
mewajibkan Negara Pihak yang
memindahkan untuk melakukan
proses ekstradisi bagi
pengembalian orang itu;
(d) The person transferred shall
receive credit for service of the
sentence being served in the
State from which he or she was
transferred for time spent in the
custody of the State Party to
which he or she was transferred.
(d) Orang yang dipindahkan akan
menerima pengurangan hukuman
yang dijalani di Negara yang
memindahkannya untuk waktu
yang dijalaninya selama ia ditahan
di Negara Pihak yang meminta
pemindahan;
12. Unless the State Party from which a
person is to be transferred in
accordance with paragraphs 10 and
11 of this article so agrees, that
person, whatever his or her
nationality, shall not be prosecuted,
detained, punished or subjected to
any other restriction of his or her
personal liberty in the territory of the
State to which that person is
transferred in respect of acts,
omissions or convictions prior to his
or her departure from the territory of
the State from which he or she was
transferred.
12. Jika tidak disetujui oleh Negara Pihak
yang memindahkan orang menurut
ketentuan ayat 10 dan ayat 11, maka
orang itu, apa pun
kewarganegaraannya, tidak boleh
dituntut, ditahan, dihukum atau
dikenakan pembatasan apapun
terhadap kebebasan pribadinya
dalam wilayah Negara yang meminta
pemindahan berkenaan dengan
perbuatan, kelalaian atau
penghukuman sebelum
keberangkatannya dari wilayah
Negara yang memindahkannya.
13. Each State Party shall designate a
central authority that shall have the
responsibility and power to receive
requests for mutual legal assistance
and either to execute them or to
transmit them to the competent
authorities for execution. Where a
State Party has a special region or
territory with a separate system of
mutual legal assistance, it may
designate a distinct central authority
that shall have the same function for
13. Negara Pihak wajib menunjuk badan
pusat yang bertanggungjawab dan
berwenang menerima permintaan
bantuan hukum timbal-balik dan
entah melaksanakannya entah
meneruskannya kepada badan
berwenang untuk dilaksanakan.
Dalam hal Negara Pihak mempunyai
daerah atau wilayah khusus dengan
sistem bantuan hukum timbal-balik
yang berbeda, Negara Pihak dapat
menunjuk badan pusat tersendiri
54
that region or territory. Central
authorities shall ensure the speedy
and proper execution or transmission
of the requests received. Where the
central authority transmits the request
to a competent authority for
execution, it shall encourage the
speedy and proper execution of the
request by the competent authority.
The Secretary-General of the United
Nations shall be notified of the central
authority designated for this purpose
at the time each State Party deposits
its instrument of ratification,
acceptance or approval of or
accession to this Convention.
Requests for mutual legal assistance
and any communication related
thereto shall be transmitted to the
central authorities designated by the
States Parties. This requirement shall
be without prejudice to the right of a
State Party to require that such
requests and communications be
addressed to it through diplomatic
channels and, in urgent
circumstances, where the States
Parties agree, through the
International Criminal Police
Organization, if possible.
yang memiliki fungsi yang sama untuk
daerah atau wilayah itu. Badan pusat
wajib mengusahakan pelaksanaan
dan penyampaian secara cepat dan
benar setiap permintaan yang
diterima. Dalam hal badan pusat
meneruskan permintaan itu kepada
pejabat yang berwenang untuk
dilaksanakan, badan pusat itu wajib
mendorong agar permintaan itu
dilaksanakan secara cepat dan benar
oleh badan berwenang. Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa wajib diberitahu mengenai
badan pusat yang ditunjuk untuk
tujuan ini pada saat Negara Pihak
menyerahkan instrumen pengesahan,
penerimaan atau persetujuan atas
atau aksesi pada Konvensi ini.
Permintaan bantuan hukum timbalbalik
dan komunikasi yang berkaitan
dengan hal itu wajib disampaikan
kepada badan pusat yang ditunjuk
oleh Negara Pihak. Kewajiban ini
tidak mengurangi hak Negara Pihak
untuk meminta agar permintaan dan
komunikasi itu ditujukan kepadanya
melalui saluran diplomatik dan, untuk
situasi yang mendesak, yang disetujui
oleh Negara-Negara Pihak, melalui
Organisasi Polisi Kriminal
Internasional, jika mungkin.
14. Requests shall be made in writing or,
where possible, by any means
capable of producing a written record,
in a language acceptable to the
requested State Party, under
conditions allowing that State Party to
establish authenticity. The Secretary-
General of the United Nations shall be
notified of the language or languages
acceptable to each State Party at the
time it deposits its instrument of
ratification, acceptance or approval of
or accession to this Convention. In
urgent circumstances and where
agreed by the States Parties,
requests may be made orally but shall
be confirmed in writing forthwith.
14. Permintaan harus diajukan secara
tertulis atau, jika memungkinkan,
dengan cara yang dapat
menghasilkan catatan tertulis, dalam
bahasa yang dapat diterima oleh
Negara Pihak yang diminta, dengan
syarat-syarat yang membolehkan
Negara Pihak itu untuk memeriksa
otensititas. Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib
diberitahu mengenai bahasa atau
bahasa-bahasa yang dapat diterima
oleh setiap Negara Pihak pada saat
menyerahkan instrumen pengesahan,
penerimaan atau persetujuan atas
atau aksesi pada Konvensi ini. Untuk
situasi yang mendesak dan jika
disetujui oleh Negara-Negara Pihak,
permintaan dapat diajukan secara
lisan tetapi harus selanjutnya
dikonfirmasikan secara tertulis.
15. A request for mutual legal assistance 15. Permintaan bantuan hukum timbal55
shall contain: balik harus memuat:
(a) The identity of the authority
making the request;
(a) Identitas pejabat yang
mengajukan permintaan;
(b) The subject matter and nature of
the investigation, prosecution or
judicial proceeding to which the
request relates and the name and
functions of the authority
conducting the investigation,
prosecution or judicial proceeding;
(b) Masalah pokok dan sifat
penyidikan, penuntutan atau
proses pengadilan yang berkaitan
dengan permintaan tersebut serta
nama dan fungsi dari pejabat
yang melakukan penyidikan,
penuntutan atau proses
pengadilan;
(c) A summary of the relevant facts,
except in relation to requests for
the purpose of service of judicial
documents;
(c) Ringkasan fakta yang relevan,
kecuali yang berkaitan dengan
permintaan untuk tujuan
penyampaian dokumen-dokumen
pengadilan;
(d) A description of the assistance
sought and details of any
particular procedure that the
requesting State Party wishes to
be followed;
(d) Uraian tentang bantuan yang
diminta dan rincian tentang
prosedur tertentu yang oleh
Negara Pihak yang meminta
dikehendaki untuk diikuti;
(e) Where possible, the identity,
location and nationality of any
person concerned; and
(e) Sepanjang memungkinkan,
identitas, lokasi, dan
kewarganegaraan orang yang
bersangkutan; dan
(f) The purpose for which the
evidence, information or action is
sought.
(f) Tujuan dari permintaan alat bukti,
informasi atau tindakan.
16. The requested State Party may
request additional information when it
appears necessary for the execution
of the request in accordance with its
domestic law or when it can facilitate
such execution.
16. Negara Pihak yang diminta dapat
meminta informasi tambahan jika
dirasa perlu untuk melaksanakan
permintaan itu sesuai dengan hukum
nasionalnya atau jika hal itu dapat
memudahkan pelaksanaannya.
17. A request shall be executed in
accordance with the domestic law of
the requested State Party and, to the
extent not contrary to the domestic
law of the requested State Party and
where possible, in accordance with
the procedures specified in the
request.
17. Permintaan wajib dilaksanakan
sesuai dengan hukum nasional
Negara Pihak yang diminta dan,
sepanjang tidak bertentangan dengan
hukum nasional Negara Pihak yang
diminta dan jika memungkinkan,
sesuai dengan prosedur yang disebut
dalam permintaan itu.
18. Wherever possible and consistent
with fundamental principles of
domestic law, when an individual is in
the territory of a State Party and has
to be heard as a witness or expert by
the judicial authorities of another
State Party, the first State Party may,
18. Sepanjang memungkinkan dan
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
hukum nasional, jika seseorang
berada di wilayah suatu Negara Pihak
dan harus didengar sebagai saksi
atau ahli oleh pejabat pengadilan
Negara Pihak lain, maka Negara
56
at the request of the other, permit the
hearing to take place by video
conference if it is not possible or
desirable for the individual in question
to appear in person in the territory of
the requesting State Party. States
Parties may agree that the hearing
shall be conducted by a judicial
authority of the requesting State Party
and attended by a judicial authority of
the requested State Party.
Pihak yang pertama dapat, atas
permintaan pihak lainnya,
mengizinkan sidang dilakukan
dengan video conference jika tidak
mungkin atau tidak dikehendaki
bahwa orang yang bersangkutan
hadir langsung di wilayah Negara
Pihak yang meminta. Negara-Negara
Pihak dapat menyepakati bahwa
sidang itu dilaksanakan oleh pejabat
pengadilan Negara Pihak yang
meminta dan dihadiri oleh pejabat
pengadilan Negara Pihak yang
diminta.
19. The requesting State Party shall not
transmit or use information or
evidence furnished by the requested
State Party for investigations,
prosecutions or judicial proceedings
other than those stated in the request
without the prior consent of the
requested State Party. Nothing in this
paragraph shall prevent the
requesting State Party from disclosing
in its proceedings information or
evidence that is exculpatory to an
accused person. In the latter case,
the requesting State Party shall notify
the requested State Party prior to the
disclosure and, if so requested,
consult with the requested State
Party. If, in an exceptional case,
advance notice is not possible, the
requesting State Party shall inform
the requested State Party of the
disclosure without delay.
19. Negara Pihak yang meminta tidak
boleh menyampaikan atau
menggunakan informasi atau bukti
yang diberikan oleh Negara Pihak
yang diminta bagi penyelidikan,
penuntutan atau proses pengadilan
yang lain daripada yang dinyatakan
dalam permintaan tanpa persetujuan
lebih dahulu Negara Pihak yang
diminta. Ketentuan ayat ini tidak
menghalangi Negara Pihak yang
meminta untuk mengungkapkan
kepada terdakwa di dalam proses
hukumnya informasi atau bukti yang
bersifat membebaskan. Dalam hal
terakhir ini, Negara Pihak yang
meminta wajib memberitahukan
kepada Negara Pihak yang diminta
sebelum pengungkapan dilakukan
dan, jika diminta, berkonsultasi
dengan Negara Pihak yang diminta.
Jika dalam keadaan tertentu
pemberitahuan lebih dulu itu tidak
mungkin dilakukan, Negara Pihak
yang meminta wajib dengan segera
memberitahukan pengungkapan itu
kepada Negara Pihak yang diminta.
20. The requesting State Party may
require that the requested State Party
keep confidential the fact and
substance of the request, except to
the extent necessary to execute the
request. If the requested State Party
cannot comply with the requirement of
confidentiality, it shall promptly inform
the requesting State Party.
20. Negara Pihak yang meminta dapat
mempersyaratkan Negara Pihak yang
diminta agar menjaga kerahasiaan
fakta dan isi permintaan, kecuali
sepanjang yang diperlukan untuk
melaksanakan permintaan itu. Jika
Negara Pihak yang diminta tidak
dapat memenuhi persyaratan
kerahasiaan, Negara Pihak itu wajib
dengan segera memberitahukan hal
itu kepada Negara Pihak yang
meminta.
57
21. Mutual legal assistance may be
refused:
21. Bantuan hukum timbal-balik dapat
ditolak :
(a) If the request is not made in
conformity with the provisions of
this article;
(a) Jika permintaan itu diajukan tidak
sesuai dengan ketentuan pasal
ini;
(b) If the requested State Party
considers that execution of the
request is likely to prejudice its
sovereignty, security, ordre public
or other essential interests;
(b) Jika Negara Pihak yang diminta
berpendapat bahwa pelaksanaan
permintaan itu akan merugikan
kedaulatan, keamanan, ketertiban
umum atau kepentingan
mendasar lainnya;
(c) If the authorities of the requested
State Party would be prohibited by
its domestic law from carrying out
the action requested with regard
to any similar offence, had it been
subject to investigation,
prosecution or judicial
proceedings under their own
jurisdiction;
(c) Jika pejabat Negara Pihak yang
diminta dilarang oleh hukum
nasionalnya untuk melakukan
tindakan yang diminta dalam
kaitannya dengan kejahatan yang
sama, seandainya bagi kejahatan
itu dilakukan penyidikan,
penuntutan atau proses
pengadilan berdasarkan
yurisdiksinya sendiri;
(d) If it would be contrary to the legal
system of the requested State
Party relating to mutual legal
assistance for the request to be
granted.
(d) Jika hal itu akan bertentangan
dengan sistem hukum Negara
Pihak yang diminta dalam
kaitannya dengan bantuan hukum
timbal-balik bagi permintaan yang
akan dikabulkan.
22. States Parties may not refuse a
request for mutual legal assistance on
the sole ground that the offence is
also considered to involve fiscal
matters.
22. Negara Pihak tidak boleh menolak
permintaan bantuan hukum timbalbalik
semata-mata karena alasan
bahwa kejahatan itu dianggap
melibatkan juga masalah-masalah
perpajakan.
23. Reasons shall be given for any
refusal of mutual legal assistance.
23. Alasan-alasan harus diberikan untuk
penolakan bantuan hukum timbalbalik.
24. The requested State Party shall
execute the request for mutual legal
assistance as soon as possible and
shall take as full account as possible
of any deadlines suggested by the
requesting State Party and for which
reasons are given, preferably in the
request. The requesting State Party
may make reasonable requests for
information on the status and
progress of measures taken by the
requested State Party to satisfy its
request. The requested State Party
shall respond to reasonable requests
24. Negara Pihak yang diminta wajib
sesegera mungkin melaksanakan
permintaan bantuan hukum timbalbalik
dan wajib sedapat mungkin
memenuhi tenggat waktu yang
disarankan oleh Negara Pihak yang
meminta dan alasan-alasan untuk itu
wajib diberikan, lebih disukai jika
dicantumkan di dalam permintaan itu.
Negara Pihak yang meminta dapat
meminta informasi tentang status dan
perkembangan tindakan yang diambil
oleh Negara Pihak yang diminta untuk
memenuhi permintaannya. Negara
58
by the requesting State Party on the
status, and progress in its handling, of
the request. The requesting State
Party shall promptly inform the
requested State Party when the
assistance sought is no longer
required.
Pihak yang diminta wajib menanggapi
permintaan yang wajar dari Negara
Pihak yang meminta mengenai status
dan perkembangan penanganan
permintaan itu. Negara Pihak yang
meminta wajib dengan segera
menginformasikan kepada Negara
Pihak yang diminta jika bantuan yang
diminta tidak lagi diperlukan.
25. Mutual legal assistance may be
postponed by the requested State
Party on the ground that it interferes
with an ongoing investigation,
prosecution or judicial proceeding.
25. Bantuan hukum timbal-balik dapat
ditunda oleh Negara Pihak yang
diminta dengan alasan bahwa hal itu
mencampuri penyidikan, penuntutan
atau proses yang sedang berjalan.
26. Before refusing a request pursuant to
paragraph 21 of this article or
postponing its execution pursuant to
paragraph 25 of this article, the
requested State Party shall consult
with the requesting State Party to
consider whether assistance may be
granted subject to such terms and
conditions as it deems necessary. If
the requesting State Party accepts
assistance subject to those
conditions, it shall comply with the
conditions.
26. Sebelum menolak suatu permintaan
menurut berdasarkan ketentuan ayat
21 atau menunda pelaksanaannya
berdasarkan ketentuan ayat 25,
Negara Pihak yang diminta wajib
berkonsultasi dengan Negara Pihak
yang meminta untuk
mempertimbangkan apakah bantuan
dapat diberikan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dan syaratsyarat
yang dianggapnya perlu. Jika
Negara Pihak yang meminta
menerima bantuan sesuai dengan
syarat-syarat itu, ia wajib mematuhi
syarat-syarat tersebut.
27. Without prejudice to the application of
paragraph 12 of this article, a witness,
expert or other person who, at the
request of the requesting State Party,
consents to give evidence in a
proceeding or to assist in an
investigation, prosecution or judicial
proceeding in the territory of the
requesting State Party shall not be
prosecuted, detained, punished or
subjected to any other restriction of
his or her personal liberty in that
territory in respect of acts, omissions
or convictions prior to his or her
departure from the territory of the
requested State Party. Such safe
conduct shall cease when the
witness, expert or other person
having had, for a period of fifteen
consecutive days or for any period
agreed upon by the States Parties
from the date on which he or she has
been officially informed that his or her
presence is no longer required by the
27. Tanpa mengurangi penerapan
ketentuan ayat 12, seorang saksi, ahli
atau orang lain yang, atas permintaan
Negara Pihak yang meminta, setuju
untuk memberikan bukti dalam suatu
proses hukum atau untuk membantu
suatu penyidikan, penuntutan atau
proses pengadilan di dalam wilayah
Negara Pihak yang meminta tidak
boleh dituntut, ditahan, dihukum atau
dikenakan pembatasan lain atas
kebebasan pribadinya di wilayah itu
berkenaan dengan perbuatan,
kelalaian atau penghukuman sebelum
keberangkatannya dari wilayah
Negara Pihak yang diminta. Jaminan
keamanan itu berakhir ketika saksi,
ahli atau orang lain itu, setelah jangka
waktu limabelas hari berturut-turut
atau jangka waktu lain yang
disepakati Negara-Negara Pihak
sejak tanggal ketika kepadanya
secara resmi diberitahukan bahwa
kehadirannya tidak lagi diperlukan
59
judicial authorities, an opportunity of
leaving, has nevertheless remained
voluntarily in the territory of the
requesting State Party or, having left
it, has returned of his or her own free
will.
oleh pejabat pengadilan, diberikan
kesempatan pergi, akan tetapi ia
tetap tinggal secara sukarela di
wilayah Negara Pihak yang meminta,
atau, setelah meninggalkan negara
itu, kembali lagi atas kemauannya
sendiri.
28. The ordinary costs of executing a
request shall be borne by the
requested State Party, unless
otherwise agreed by the States
Parties concerned. If expenses of a
substantial or extraordinary nature are
or will be required to fulfil the request,
the States Parties shall consult to
determine the terms and conditions
under which the request will be
executed, as well as the manner in
which the costs shall be borne.
28. Biaya-biaya yang biasa untuk
memenuhi permintaan wajib dibayar
oleh Negara Pihak yang meminta,
kecuali disepakati lain oleh Negara-
Negara Pihak yang bersangkutan.
Jika diperlukan atau akan diperlukan
pengeluaran-pengeluaran yang besar
atau luar biasa untuk memenuhi
permintaan itu, Negara-Negara Pihak
wajib berkonsultasi untuk
menentukan syarat-syarat bagi
pemenuhan permintaan, serta
bagaimana biaya-biaya itu akan
ditanggung.
29. The requested State Party: 29. Negara Pihak yang diminta:
(a) Shall provide to the requesting
State Party copies of government
records, documents or information
in its possession that under its
domestic law are available to the
general public;
(a) Wajib memberikan kepada
Negara Pihak yang meminta,
salinan dari catatan, dokumen
atau informasi kepemerintahan
yang dimilikinya yang menurut
hukum nasionalnya terbuka untuk
masyarakat umum.
(b) May, at its discretion, provide to
the requesting State Party in
whole, in part or subject to such
conditions as it deems
appropriate, copies of any
government records, documents
or information in its possession
that under its domestic law are not
available to the general public.
(b) Dapat, atas kebijakannya sendiri,
memberikan kepada Negara
Pihak yang meminta, seluruh,
sebagian atau berdasarkan syarat
yang dianggapnya perlu, salinan
dari catatan, dokumen atau
informasi kepemerintahan yang
dimilikinya yang menurut hukum
nasionalnya tidak terbuka untuk
masyarakat umum.
30. States Parties shall consider, as may
be necessary, the possibility of
concluding bilateral or multilateral
agreements or arrangements that
would serve the purposes of, give
practical effect to or enhance the
provisions of this article.
30. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan, sepanjang perlu,
kemungkinan untuk mengadakan
perjanjian atau pengaturan bilateral
atau multilateral untuk melaksanakan
maksud, menindaklanjuti atau
meningkatkan ketentuan pasal ini.
Article 47
Transfer of criminal proceedings
Pasal 47
Pengalihan proses pidana
States Parties shall consider the
possibility of transferring to one another
Negara Pihak wajib mempertimbangkan
kemungkinan mengalihkan ke Negara
60
proceedings for the prosecution of an
offence established in accordance with
this Convention in cases where such
transfer is considered to be in the
interests of the proper administration of
justice, in particular in cases where
several jurisdictions are involved, with a
view to concentrating the prosecution.
Pihak lain proses penuntutan kejahatan
menurut Konvensi ini jika pengalihan itu
dianggap untuk kepentingan proses
peradilan yang baik, khususnya dalam
hal ada beberapa yurisdiksi yang terlibat,
agar perhatian dapat dipusatkan pada
penuntutan.
Article 48
Law enforcement cooperation
Pasal 48
Kerjasama penegakan hukum
1. States Parties shall cooperate closely
with one another, consistent with their
respective domestic legal and
administrative systems, to enhance
the effectiveness of law enforcement
action to combat the offences covered
by this Convention. States Parties
shall, in particular, take effective
measures:
1. Negara-Negara Pihak wajib saling
bekerja sama dengn erat, sesuai
dengan sistem hukum dan
pemerintahan masing-masing, untuk
meningkatkan keefektivan tindakan
penegakan hukum untuk
memberantas kejahatan-kejahatan
menurut Konvensi ini. Negara-Negara
Pihak wajib, khususnya, mengambil
tindakan-tindakan yang efektif:
(a) To enhance and, where
necessary, to establish channels
of communication between their
competent authorities, agencies
and services in order to facilitate
the secure and rapid exchange of
information concerning all aspects
of the offences covered by this
Convention, including, if the
States Parties concerned deem it
appropriate, links with other
criminal activities;
(a) Untuk meningkatkan dan,
sepanjang perlu, untuk
mengadakan saluran komunikasi
antara pejabat yang berwenang,
instansi dan dinas agar
mempermudah pertukaran
informasi secara aman dan cepat
menyangkut semua aspek
kejahatan menurut Konvensi ini,
termasuk, jika dianggap perlu oleh
Negara Pihak yang bersangkutan,
kaitan dengan kegiatan kriminal
lain.
(b) To cooperate with other States
Parties in conducting inquiries
with respect to offences covered
by this Convention concerning:
(b) Untuk bekerja sama dengan
Negara Pihak lain dalam
melakukan penyelidikan atas
kejahatan menurut Konvensi ini
menyangkut:
(i) The identity, whereabouts and
activities of persons suspected
of involvement in such
offences or the location of
other persons concerned;
(i) Identitas, keberadaan dan
kegiatan orang yang
dicurigai terlibat dalam
kejahatan itu atau lokasi
orang lain yang
bersangkutan;
(ii) The movement of proceeds of
crime or property derived from
the commission of such
offences;
(ii) Pergerakan hasil kejahatan
atau kekayaan yang
berasal dari pelaksanaan
kejahatan itu;
(iii) The movement of property,
equipment or other
(iii) Pergerakan kekayaan,
peralatan atau sarana lain
61
instrumentalities used or
intended for use in the
commission of such offences;
yang digunakan atau
direncanakan untuk
digunakan dalam
melaksanakan kejahatan
itu;
(c) To provide, where appropriate,
necessary items or quantities of
substances for analytical or
investigative purposes;
(c) Untuk memberikan, sepanjang
perlu, barang atau bahan yang
perlu untuk tujuan analisis atau
penyidikan;
(d) To exchange, where appropriate,
information with other States
Parties concerning specific means
and methods used to commit
offences covered by this
Convention, including the use of
false identities, forged, altered or
false documents and other means
of concealing activities;
(d) Untuk bertukar, sepanjang perlu,
informasi dengan Negara Pihak
lain mengenai alat dan cara yang
digunakan untuk melakukan
kejahatan menurut Konvensi ini,
termasuk penggunaan identitas
palsu, dokumen palsu, yang
diubah, atau yang dipalsukan dan
cara lain untuk menyembunyikan
kegiatan;
(e) To facilitate effective coordination
between their competent
authorities, agencies and services
and to promote the exchange of
personnel and other experts,
including, subject to bilateral
agreements or arrangements
between the States Parties
concerned, the posting of liaison
officers;
(e) Untuk memfasilitasi koordinasi
yang efektif antara pejabat yang
berwenang, instansi dan dinas
serta untuk meningkatkan
pertukaran personil dan ahli lain,
termasuk penempatan petugas
penghubung, dengan
memperhatikan perjanjian atau
pengaturan bilateral antara
Negara Pihak yang bersangkutan;
(f) To exchange information and
coordinate administrative and
other measures taken as
appropriate for the purpose of
early identification of the offences
covered by this Convention.
(f) Untuk bertukar informasi dan
mengkoordinasikan tindakantindakan
yang diambil sepanjang
perlu untuk tujuan identifikasi dini
kejahatan menurut Konvensi ini.
2. With a view to giving effect to this
Convention, States Parties shall
consider entering into bilateral or
multilateral agreements or
arrangements on direct cooperation
between their law enforcement
agencies and, where such
agreements or arrangements already
exist, amending them. In the absence
of such agreements or arrangements
between the States Parties
concerned, the States Parties may
consider this Convention to be the
basis for mutual law enforcement
cooperation in respect of the offences
covered by this Convention.
Whenever appropriate, States Parties
2. Dalam rangka melaksanakan
Konvensi ini, Negara-Negara Pihak
wajib mempertimbangkan untuk
mengadakan perjanjian atau
pengaturan bilateral atau multilateral
mengenai kerjasama langsung antara
instansi penegakan hukum dan untuk
menyesuaikan perjanjian atau
pengaturan jika sudah ada. Jika tidak
ada perjanjian atau pengaturan
semacam itu antara Negara-Negara
Pihak yang bersangkutan, Negara-
Negara Pihak itu dapat
mempertimbangkan Konvensi ini
sebagai dasar bagi kerja sama
penegakan hukum bersama
berkenaan dengan kejahatan menurut
62
shall make full use of agreements or
arrangements, including international
or regional organizations, to enhance
the cooperation between their law
enforcement agencies.
Konvensi ini. Sepanjang perlu,
Negara Pihak wajib memanfaatkan
secara maksimal perjanjian atau
pengaturan, termasuk organisasi
internasional atau regional, untuk
meningkatkan kerja sama antara
instansi-instansi penegakan hukum.
3. States Parties shall endeavour to
cooperate within their means to
respond to offences covered by this
Convention committed through the
use of modern technology.
3. Negara Pihak wajib mengupayakan
untuk bekerja sama sesuai
kemampuan masing-masing untuk
mengatasi kejahatan menurut
Konvensi ini yang dilakukan melalui
penggunaan teknologi modern.
Article 49
Joint investigations
Pasal 49
Penyidikan bersama
States Parties shall consider concluding
bilateral or multilateral agreements or
arrangements whereby, in relation to
matters that are the subject of
investigations, prosecutions or judicial
proceedings in one or more States, the
competent authorities concerned may
establish joint investigative bodies. In the
absence of such agreements or
arrangements, joint investigations may be
undertaken by agreement on a case-bycase
basis. The States Parties involved
shall ensure that the sovereignty of the
State Party in whose territory such
investigation is to take place is fully
respected.
Negara Pihak wajib mempertimbangkan
untuk mengadakan perjanjian atau
pengaturan bilateral atau multilateral
yang, dalam kaitan dengan masalah
yang menjadi pokok penyidikan,
penuntutan atau proses pengadilan di
satu atau lebih Negara, dapat digunakan
oleh pejabat berwenang yang
bersangkutan untuk mengadakan
penyidikan bersama. Jika perjanjian atau
pengaturan semacam itu tidak ada,
penyidikan bersama dapat dilakukan
dengan perjanjian atas dasar kasus per
kasus. Negara Pihak yang terlibat wajib
mengusahakan agar kedaulatan Negara
Pihak yang di wilayahnya dilakukan
penyidikan semacam itu dihormati
sepenuhnya.
Article 50
Special investigative techniques
Pasal 50
Teknik penyidikan khusus
1. In order to combat corruption
effectively, each State Party shall, to
the extent permitted by the basic
principles of its domestic legal system
and in accordance with the conditions
prescribed by its domestic law, take
such measures as may be necessary,
within its means, to allow for the
appropriate use by its competent
authorities of controlled delivery and,
where it deems appropriate, other
special investigative techniques, such
as electronic or other forms of
surveillance and undercover
operations, within its territory, and to
allow for the admissibility in court of
1. Untuk memberantas korupsi secara
efektif, Negara Pihak wajib,
sepanjang dimungkinkan oleh prinsipprinsip
dasar sistem hukum
nasionalnya dan berdasarkan syaratsyarat
yang ditetapkan oleh hukum
nasionalnya, mengambil tindakantindakan
yang perlu, sesuai
kemampuannya, untuk mengizinkan
pejabat berwenangnya menggunakan
penyerahan terkendali dan,
sepanjang dianggap layak, teknikteknik
penyidikan khusus lain, seperti
pengintaian elektronik atau bentuk
lain pengintaian atau operasi rahasia,
di dalam wilayahnya, dan untuk
memungkinkan agar bukti yang
63
evidence derived therefrom. diperoleh dari kegiatan itu diterima
oleh pengadilan.
2. For the purpose of investigating the
offences covered by this Convention,
States Parties are encouraged to
conclude, when necessary,
appropriate bilateral or multilateral
agreements or arrangements for
using such special investigative
techniques in the context of
cooperation at the international level.
Such agreements or arrangements
shall be concluded and implemented
in full compliance with the principle of
sovereign equality of States and shall
be carried out strictly in accordance
with the terms of those agreements or
arrangements.
2. Untuk tujuan penyidikan kejahatan
menurut Konvensi ini, Negara Pihak
dianjurkan untuk mengadakan, jika
perlu, perjanjian atau pengaturan
bilateral atau multilateral yang sesuai
untuk menggunakan teknik
penyidikan khusus itu dalam rangka
kerjasama di tingkat internasional.
Perjanjian atau pengaturan itu wajib
diadakan dan dilaksanakan dengan
mematuhi sepenuhnya prinsip
kesetaraan kedaulatan Negara dan
wajib dilaksanakan dengan mengikuti
secara ketat ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam perjanjian atau
pengaturan itu.
3. In the absence of an agreement or
arrangement as set forth in paragraph
2 of this article, decisions to use such
special investigative techniques at the
international level shall be made on a
case-by-case basis and may, when
necessary, take into consideration
financial arrangements and
understandings with respect to the
exercise of jurisdiction by the States
Parties concerned.
3. Dalam hal perjanjian atau pengaturan
sebagaimana dimaksud pada ayat 2
tidak ada, keputusan untuk
menggunakan teknik penyidikan
khusus itu di tingkat internasional
wajib dilakukan atas dasar kasus per
kasus dan dapat, jika perlu,
memperhatikan pengaturan dan
akibat keuangan berkenaan dengan
pelaksanaan yurisdiksi oleh Negara
Pihak yang bersangkutan.
4. Decisions to use controlled delivery at
the international level may, with the
consent of the States Parties
concerned, include methods such as
intercepting and allowing the goods or
funds to continue intact or be
removed or replaced in whole or in
part.
4. Keputusan untuk menggunakan
penyerahan terkendali di tingkat
internasional dapat, dengan
persetujuan Negara-Negara Pihak,
meliputi metoda seperti pencegatan
dan pembiaran barang atau dana
secara utuh atau dipindahkan atau
ditukar seluruhnya atau sebagiannya.
Chapter V
Asset recovery
Bab V
Pengembalian Aset
Article 51
General provision
Pasal 51
Ketentuan umum
The return of assets pursuant to this
chapter is a fundamental principle of this
Convention, and States Parties shall
afford one another the widest measure of
cooperation and assistance in this
regard.
Pengembalian aset menurut bab ini
merupakan prinsip dasar Konvensi ini,
dan Negara Pihak wajib saling
memberikan kerjasama dan bantuan
seluas mungkin untuk itu.
64
Article 52
Prevention and detection of transfers
of proceeds of crime
Pasal 52
Pencegahan dan Deteksi Transfer
Hasil Kejahatan
1. Without prejudice to article 14 of this
Convention, each State Party shall
take such measures as may be
necessary, in accordance with its
domestic law, to require financial
institutions within its jurisdiction to
verify the identity of customers, to
take reasonable steps to determine
the identity of beneficial owners of
funds deposited into high-value
accounts and to conduct enhanced
scrutiny of accounts sought or
maintained by or on behalf of
individuals who are, or have been,
entrusted with prominent public
functions and their family members
and close associates. Such enhanced
scrutiny shall be reasonably designed
to detect suspicious transactions for
the purpose of reporting to competent
authorities and should not be so
construed as to discourage or prohibit
financial institutions from doing
business with any legitimate
customer.
1. Tanpa mengurangi ketentuan pasal
14 Konvensi ini, Negara Pihak wajib
mengambil tindakan-tindakan yang
perlu, sesuai dengan hukum
nasionalnya, untuk mewajibkan
lembaga keuangan dalam
yurisdiksinya untuk meneliti identitas
nasabah, untuk mengambil langkahlangkah
yang wajar guna menetapkan
identitas pemilik dari dana yang
disimpan dalam rekening yang
bernilai besar dan untuk
melaksanakan ketelitian ekstra atas
rekening yang dibuat atau dipegang
oleh atau atas nama perorangan yang
dipercayakan atau telah dipercayakan
pada jabatan publik yang penting dan
para anggota keluarga serta mitra
dekatnya. Ketelitian ekstra itu harus
dirancang secara memadai untuk
mendeteksi transaksi-transaksi yang
mencurigakan untuk tujuan pelaporan
kepada pejabat yang berwenang dan
tidak boleh ditafsirkan sedemikian
untuk mencegah atau melarang
lembaga keuangan melakukan
kegiatan usaha dengan nasabah
yang sah.
2. In order to facilitate implementation of
the measures provided for in
paragraph 1 of this article, each State
Party, in accordance with its domestic
law and inspired by relevant initiatives
of regional, interregional and
multilateral organizations against
money-laundering, shall:
2. Untuk memfasilitasi pelaksanaan
tindakan-tindakan sebagimana
dimaksud pada ayat 1, Negara Pihak,
sesuai dengan hukum nasionalnya
dan dengan mengikuti prakarsaprakarsa
organisasi regional, antarregional
dan multilateral yang
bersangkutan terhadap pencucian
uang, wajib:
(a) Issue advisories regarding the
types of natural or legal person to
whose accounts financial
institutions within its jurisdiction
will be expected to apply
enhanced scrutiny, the types of
accounts and transactions to
which to pay particular attention
and appropriate account-opening,
maintenance and record-keeping
measures to take concerning such
accounts; and
(a) Mengeluarkan pedoman
mengenai jenis orang atau badan
hukum yang rekeningrekeningnya
perlu diberikan
ketelitian ekstra oleh lembaga
keuangan di dalam yurisdiksinya,
jenis rekening dan transaksi yang
perlu diberikan perhatian khusus
serta tindakan-tindakan yang akan
diambil dalam pembukaan
rekening, penyimpanan dan
pembukuan menyangkut
rekening-rekening tersebut; dan
65
(b) Where appropriate, notify financial
institutions within its jurisdiction, at
the request of another State Party
or on its own initiative, of the
identity of particular natural or
legal persons to whose accounts
such institutions will be expected
to apply enhanced scrutiny, in
addition to those whom the
financial institutions may
otherwise identify.
(b) Sepanjang diperlukan,
memberitahukan kepada lembaga
keuangan di dalam yurisdiksinya,
atas permintaan Negara Pihak
lain atau atas prakarsanya sendiri,
mengenai identitas orang atau
badan hukum tertentu yang
rekening-rekeningnya perlu
diberikan ketelitian ekstra oleh
lembaga tersebut, selain dari
orang atau badan hukum yang
diidentifkasi oleh lembaga
keuangan.
3. In the context of paragraph 2 (a) of
this article, each State Party shall
implement measures to ensure that
its financial institutions maintain
adequate records, over an
appropriate period of time, of
accounts and transactions involving
the persons mentioned in paragraph 1
of this article, which should, as a
minimum, contain information relating
to the identity of the customer as well
as, as far as possible, of the
beneficial owner.
3. Dalam rangka ketentuan ayat 2 (a),
Negara Pihak wajib melaksanakan
tindakan-tindakan untuk menjamin
agar lembaga keuangannya
menyimpan catatan yang memadai,
selama jangka waktu yang layak,
tentang rekening-rekening dan
transaksi-transaksi yang melibatkan
orang-orang sebagaimana dimaksud
pada ayat 1, dan catatan itu
sekurang-kurangnya memuat
informasi yang berkaitan dengan
identitas nasabah dan, sejauh
memungkinkan, identitas pemilik.
4. With the aim of preventing and
detecting transfers of proceeds of
offences established in accordance
with this Convention, each State Party
shall implement appropriate and
effective measures to prevent, with
the help of its regulatory and
oversight bodies, the establishment of
banks that have no physical presence
and that are not affiliated with a
regulated financial group. Moreover,
States Parties may consider requiring
their financial institutions to refuse to
enter into or continue a correspondent
banking relationship with such
institutions and to guard against
establishing relations with foreign
financial institutions that permit their
accounts to be used by banks that
have no physical presence and that
are not affiliated with a regulated
financial group.
4. Untuk maksud mencegah dan
mendeteksi transfer hasil dari
kejahatan menurut Konvensi ini,
Negara Pihak wajib melaksanakan
tindakan-tindakan yang tepat dan
efektif untuk mencegah, dengan
bantuan badan pengatur dan
pengawas, pendirian bank yang tidak
mempunyai keberadaan fisik dan
yang tidak terafiliasi pada suatu
kelompok keuangan. Selain itu,
Negara Pihak dapat
mempertimbangkan untuk
mewajibkan lembaga keuangannya
menolak mengadakan atau
meneruskan hubungan koresponden
perbankan dengan lembaga
semacam itu dan untuk menghindari
hubungan dengan lembaga keuangan
asing yang mengizinkan rekeningnya
digunakan oleh bank yang tidak
mempunyai keberadaan fisik dan
yang tidak terafiliasi pada suatu
kelompok keuangan.
5. Each State Party shall consider
establishing, in accordance with its
5. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk
66
domestic law, effective financial
disclosure systems for appropriate
public officials and shall provide for
appropriate sanctions for noncompliance.
Each State Party shall
also consider taking such measures
as may be necessary to permit its
competent authorities to share that
information with the competent
authorities in other States Parties
when necessary to investigate, claim
and recover proceeds of offences
established in accordance with this
Convention.
mengadakan, sesuai dengan hukum
nasionalnya, sistem pengungkapan
keuangan yang efektif untuk para
pejabat publik yang sesuai dan wajib
mengatur sanksi yang sesuai jika
tidak dipatuhi. Negara Pihak wajib
juga mempertimbangkan untuk
mengambil tindakan-tindakan yang
perlu untuk mengizinkan pejabat
berwenangnya memberikan informasi
itu kepada pejabat berwenang
Negara Pihak yang lain jika ada
keperluan untuk menyidik, menuntut
dan mengembalikan hasil dari
kejahatan menurut Konvensi ini.
6. Each State Party shall consider taking
such measures as may be necessary,
in accordance with its domestic law,
to require appropriate public officials
having an interest in or signature or
other authority over a financial
account in a foreign country to report
that relationship to appropriate
authorities and to maintain
appropriate records related to such
accounts. Such measures shall also
provide for appropriate sanctions for
non-compliance.
6. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk mengambil
tindakan-tindakan yang perlu, sesuai
dengan hukum nasionalnya, untuk
mewajibkan para pejabat publik yang
sesuai yang mempunyai kepentingan
dalam atau tandatangan atau
kewenangan lain atas suatu rekening
di negara asing untuk melaporkan
hubungan itu kepada pejabat
berwenang yang sesuai dan untuk
menyimpan catatan-catatan yang
sesuai yang berkaitan dengan
rekening-rekening itu. Tindakantindakan
itu wajib juga memberikan
sanksi yang sesuai jika tidak dipatuhi.
Article 53
Measures for direct recovery of
property
Pasal 53
Tindakan untuk pengembalian
kekayaan secara langsung
Each State Party shall, in accordance
with its domestic law:
Negara Pihak wajib, sesuai dengan
hukum nasionalnya:
(a) Take such measures as may be
necessary to permit another State
Party to initiate civil action in its
courts to establish title to or
ownership of property acquired
through the commission of an
offence established in accordance
with this Convention;
(a) Mengambil tindakan-tindakan yang
perlu untuk mengizinkan Negara
Pihak lain melakukan tindakan
perdata di pengadilannya untuk
menetapkan hak atas atau pemilikan
dari kekayaan yang diperoleh dari
pelaksanaan kejahatan menurut
Konvensi ini;
(b) Take such measures as may be
necessary to permit its courts to
order those who have committed
offences established in accordance
with this Convention to pay
compensation or damages to
another State Party that has been
(b) Mengambil tindakan-tindakan yang
perlu untuk mengizinkan
pengadilannya memerintahkan
kepada mereka yang telah melakukan
kejahatan menurut Konvensi ini untuk
membayar kompensasi atau kerugian
kepada Negara Pihak lain yang
67
harmed by such offences; and dirugikan oleh kejahatan itu; dan
(c) Take such measures as may be
necessary to permit its courts or
competent authorities, when having
to decide on confiscation, to
recognize another State Party’s
claim as a legitimate owner of
property acquired through the
commission of an offence
established in accordance with this
Convention.
(c) Mengambil tindakan-tindakan yang
perlu untuk mengizinkan pengadilan
atau badan berwenangnya, ketika
harus memutus tentang perampasan,
untuk menerima klaim Negara lain
sebagai pemilik sah dari kekayaan
yang diperoleh dari pelaksanaan
kejahatan menurut Konvensi ini.
Article 54
Mechanisms for recovery of property
through international cooperation in
confiscation
Pasal 54
Mekanisme pengembalian kekayaan
melalui kerjasama internasional untuk
perampasan
1. Each State Party, in order to provide
mutual legal assistance pursuant to
article 55 of this Convention with
respect to property acquired through
or involved in the commission of an
offence established in accordance
with this Convention, shall, in
accordance with its domestic law:
1. Untuk memberikan bantuan hukum
timbal-balik menurut ketentuan pasal
55 Konvensi ini menyangkut
kekayaan yang diperoleh dari atau
yang terlibat dalam pelaksanaan
kejahatan menurut Konvensi ini,
Negara Pihak wajib, sesuai dengan
hukum nasionalnya:
(a) Take such measures as may be
necessary to permit its competent
authorities to give effect to an
order of confiscation issued by a
court of another State Party;
(a) Mengambil tindakan yang perlu
untuk mengizinkan pejabat
berwenangnya melaksanakan
perintah perampasan yang
dikeluarkan oleh pengadilan
Negara Pihak lain;
(b) Take such measures as may be
necessary to permit its competent
authorities, where they have
jurisdiction, to order the
confiscation of such property of
foreign origin by adjudication of an
offence of money-laundering or
such other offence as may be
within its jurisdiction or by other
procedures authorized under its
domestic law; and
(b) Mengambil tindakan yang perlu
untuk mengizinkan pejabat
berwenangnya, yang ada dalam
yurisdiksinya, memerintahkan
perampasan kekayaan yang
berasal dari luar negeri dengan
putusan tentang kejahatan
pencucian uang atau kejahatan
lain yang ada dalam yurisdiksinya
atau dengan prosedur lain yang
dimungkinkan oleh hukum
nasionalnya; dan
(c) Consider taking such measures
as may be necessary to allow
confiscation of such property
without a criminal conviction in
cases in which the offender
cannot be prosecuted by reason
of death, flight or absence or in
other appropriate cases.
(c) mempertimbangkan untuk
mengambil tindakan-tindakan
yang perlu untuk memungkinkan
perampasan kekayaan itu tanpa
disertai penghukuman pidana
dalam kasus-kasus yang
pelakunya tidak dapat dituntut
karena meninggal dunia,
melarikan diri atau tidak
ditemukan atau dalam kasus68
kasus lain yang sesuai.
2. Each State Party, in order to provide
mutual legal assistance upon a
request made pursuant to paragraph
2 of article 55 of this Convention,
shall, in accordance with its domestic
law:
2. Untuk memberikan bantuan hukum
timbal-balik atas permintaan yang
diajukan menurut ketentuan ayat 2
pasal 55 Konvensi ini, Negara Pihak
wajib, sesuai dengan hukum
nasionalnya:
(a) Take such measures as may be
necessary to permit its competent
authorities to freeze or seize
property upon a freezing or
seizure order issued by a court or
competent authority of a
requesting State Party that
provides a reasonable basis for
the requested State Party to
believe that there are sufficient
grounds for taking such actions
and that the property would
eventually be subject to an order
of confiscation for purposes of
paragraph 1 (a) of this article;
(a) mengambil tindakan-tindakan
yang perlu untuk mengizinkan
pejabat berwenangnya
membekukan atau menyita
kekayaan berdasarkan perintah
pembekuan atau penyitaan yang
dikeluarkan oleh pengadilan atau
pejabat berwenang Negara Pihak
yang meminta yang memberikan
dasar yang memadai bagi Negara
Pihak yang diminta untuk
meyakini bahwa terdapat alasanalasan
yang cukup untuk
mengambil tindakan-tindakan itu
dan bahwa kekayaan tersebut
akan pada akhirnya dikenakan
perintah perampasan untuk tujuan
ketentuan ayat 1 (a);
(b) Take such measures as may be
necessary to permit its competent
authorities to freeze or seize
property upon a request that
provides a reasonable basis for
the requested State Party to
believe that there are sufficient
grounds for taking such actions
and that the property would
eventually be subject to an order
of confiscation for purposes of
paragraph 1 (a) of this article; and
(b) mengambil tindakan-tindakan
yang perlu untuk mengizinkan
pejabat berwenangnya
membekukan atau menyita
kekayaan atas permintaan yang
memberikan dasar yang memadai
bagi Negara Pihak yang diminta
untuk meyakini bahwa terdapat
alasan-alasan yang cukup untuk
mengambil tindakan-tindakaan itu
dan bahwa kekayaan tersebut
akan pada akhirnya dikenakan
perintah perampasan untuk tujuan
ketentuan ayat 1 (a); dan
(c) Consider taking additional
measures to permit its competent
authorities to preserve property for
confiscation, such as on the basis
of a foreign arrest or criminal
charge related to the acquisition of
such property.
(c) mempertimbangkan untuk
mengambil tindakan-tindakan
tambahan untuk mengizinkan
pejabat berwenangnya menahan
kekayaan itu guna perampasan,
seperti atas dasar putusan negara
asing atau tuduhan pidana yang
berkaitan dengan perolehan
kekayaan itu.
69
Article 55
International cooperation for purposes
of confiscation
Pasal 55
Kerjasama internasional untuk tujuan
perampasan
1. A State Party that has received a
request from another State Party
having jurisdiction over an offence
established in accordance with this
Convention for confiscation of
proceeds of crime, property,
equipment or other instrumentalities
referred to in article 31, paragraph 1,
of this Convention situated in its
territory shall, to the greatest extent
possible within its domestic legal
system:
1. Negara Pihak yang telah menerima
permintaan dari Negara Pihak lain
yang mempunyai yurisdiksi atas suatu
kejahatan menurut Konvensi ini untuk
merampas hasil kejahatan, kekayaan,
alat atau sarana lain sebagaimana
dimaksud dalam pasal 31 ayat 1
Konvensi ini yang ada di wilayahnya
wajib, sepanjang dimungkinkan dalam
sistem hukum nasionalnya:
(a) Submit the request to its
competent authorities for the
purpose of obtaining an order of
confiscation and, if such an order
is granted, give effect to it; or
(a) menyampaikan permintaan itu
kepada pejabat berwenangnya
dengan tujuan untuk memperoleh
perintah perampasan dan untuk
menindak-lanjuti, jika perintah itu
diberikan; atau
(b) Submit to its competent
authorities, with a view to giving
effect to it to the extent requested,
an order of confiscation issued by
a court in the territory of the
requesting State Party in
accordance with articles 31,
paragraph 1, and 54, paragraph 1
(a), of this Convention insofar as it
relates to proceeds of crime,
property, equipment or other
instrumentalities referred to in
article 31, paragraph 1, situated in
the territory of the requested State
Party.
(b) menyampaikan kepada pejabat
berwenangnya, dengan tujuan
untuk menindak-lanjuti, jika
diminta, perintah perampasan
yang dikeluarkan oleh pengadilan
di wilayah Negara Pihak yang
meminta sesuai dengan ketentuan
pasal 31 ayat 1 dan pasal 54 ayat
1 (a) Konvensi ini, sepanjang hal
tersebut berkaitan dengan hasil
kejahatan, kekayaan, alat atau
sarana lain sebagaimana
dimaksud dalam pasal 31 ayat 1,
yang berada di wilayah Negara
Pihak yang diminta.
2. Following a request made by another
State Party having jurisdiction over an
offence established in accordance
with this Convention, the requested
State Party shall take measures to
identify, trace and freeze or seize
proceeds of crime, property,
equipment or other instrumentalities
referred to in article 31, paragraph 1,
of this Convention for the purpose of
eventual confiscation to be ordered
either by the requesting State Party
or, pursuant to a request under
paragraph 1 of this article, by the
requested State Party.
2. Setelah suatu permintaan diajukan
oleh Negara Pihak lain yang
mempunyai yurisdiksi atas suatu
kejahatan menurut Konvensi ini,
Negara Pihak yang diminta wajib
mengambil tindakan-tindakan untuk
mengidentifikasi, melacak dan
membekukan atau menyita hasil
kejahatan, kekayaan, alat dan sarana
lain sebagaimana dimaksud dalam
pasal 31 ayat 1 Konvensi ini untuk
tujuan perampasan yang akan
diperintahkan oleh Negara Pihak
yang meminta atau, berdasarkan
permintaan menurut ketentuan ayat 1,
oleh Negara Pihak yang diminta.
70
3. The provisions of article 46 of this
Convention are applicable, mutatis
mutandis, to this article. In addition to
the information specified in article 46,
paragraph 15, requests made
pursuant to this article shall contain:
3. Ketentuan pasal 46 Konvensi ini
berlaku, mutatis mutandis, bagi pasal
ini. Selain dari informasi yang diatur
dalam pasal 46 ayat 15, permintaan
yang diajukan berdasarkan pasal ini
harus memuat:
(a) In the case of a request pertaining
to paragraph 1 (a) of this article, a
description of the property to be
confiscated, including, to the
extent possible, the location and,
where relevant, the estimated
value of the property and a
statement of the facts relied upon
by the requesting State Party
sufficient to enable the requested
State Party to seek the order
under its domestic law;
(a) Bagi permintaan yang
menyangkut ketentuan ayat 1 (a),
uraian mengenai kekayaan yang
akan dirampas, termasuk,
sepanjang memungkinkan, lokasi
dan, jika relevan, perkiraan nilai
kekayaan serta pernyataan
mengenai fakta-fakta yang
diyakini oleh Negara Pihak yang
meminta yang cukup untuk
memungkinkan Negara Pihak
yang diminta untuk
mengupayakan perintah
berdasarkan hukum nasionalnya;
(b) In the case of a request pertaining
to paragraph 1 (b) of this article, a
legally admissible copy of an
order of confiscation upon which
the request is based issued by the
requesting State Party, a
statement of the facts and
information as to the extent to
which execution of the order is
requested, a statement specifying
the measures taken by the
requesting State Party to provide
adequate notification to bona fide
third parties and to ensure due
process and a statement that the
confiscation order is final;
(b) Bagi permintaan yang
menyangkut ketentuan ayat 1 (b),
salinan sah perintah perampasan
yang menjadi dasar pengajuan
permintaan, yang dikeluarkan
oleh Negara Pihak yang meminta,
pernyataan mengenai fakta-fakta
dan informasi mengenai lingkup
yang diminta dalam pelaksanaan
perintah itu, pernyataan tentang
tindakan-tindakan Negara Pihak
yang meminta yang dilakukan
untuk menyampaikan
pemberitahuan yang cukup
kepada pihak ketiga yang
beritikad baik dan untuk menjamin
perlindungan hukum serta
pernyataan bahwa perintah
perampasan itu bersifat final;
(c) In the case of a request pertaining
to paragraph 2 of this article, a
statement of the facts relied upon
by the requesting State Party and
a description of the actions
requested and, where available, a
legally admissible copy of an
order on which the request is
based.
(c) Bagi permintaan yang
menyangkut ketentuan ayat 2,
pernyataan mengenai fakta-fakta
yang diyakini oleh Negara Pihak
yang meminta dan uraian tentang
tindakan-tindakan yang diminta
dan, jika ada, salinan sah perintah
yang menjadi dasar pengajuan
permintaan;
4. The decisions or actions provided for
in paragraphs 1 and 2 of this article
shall be taken by the requested State
Party in accordance with and subject
4. Keputusan atau tindakan-tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dan ayat 2 harus diambil oleh Negara
Pihak yang diminta sesuai dengan
71
to the provisions of its domestic law
and its procedural rules or any
bilateral or multilateral agreement or
arrangement to which it may be
bound in relation to the requesting
State Party.
dan menurut ketentuan-ketentuan
hukum nasionalnya dan hukum
acaranya atau perjanjian atau
pengaturan bilateral atau multilateral
yang membuatnya terikat pada
Negara Pihak yang meminta.
5. Each State Party shall furnish copies
of its laws and regulations that give
effect to this article and of any
subsequent changes to such laws
and regulations or a description
thereof to the Secretary-General of
the United Nations.
5. Negara Pihak wajib menyerahkan
salinan undang-undang dan
peraturan-peraturan yang
melaksanakan pasal ini serta
perubahan-perubahannya atau
keterangan mengenai hal itu kepada
Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
6. If a State Party elects to make the
taking of the measures referred to in
paragraphs 1 and 2 of this article
conditional on the existence of a
relevant treaty, that State Party shall
consider this Convention the
necessary and sufficient treaty basis.
6. Jika suatu Negara Pihak memilih
untuk mengambil tindakan-tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dan ayay 2 tergantung pada adanya
traktat yang sesuai, Negara Pihak itu
wajib mempertimbangkan Konvensi
ini sebagai dasar traktat yang perlu
dan cukup.
7. Cooperation under this article may
also be refused or provisional
measures lifted if the requested State
Party does not receive sufficient and
timely evidence or if the property is of
a de minimis value.
7. Kerjasama berdasarkan pasal ini
dapat juga ditolak atau tindakantindakan
sementara dihentikan jika
Negara Pihak yang diminta tidak
menerima bukti yang cukup dan
tepat-waktu atau jika kekayaan itu
bernilai de minimis.
8. Before lifting any provisional measure
taken pursuant to this article, the
requested State Party shall, wherever
possible, give the requesting State
Party an opportunity to present its
reasons in favour of continuing the
measure.
8. Sebelum menghentikan suatu
tindakan sementara yang dilakukan
berdasarkan pasal ini, Negara Pihak
yang diminta wajib, jika
dimungkinkan, memberikan kepada
Negara Pihak yang meminta,
kesempatan untuk menyampaikan
alasan-alasannya yang mendukung
agar tindakan itu dilanjutkan.
9. The provisions of this article shall not
be construed as prejudicing the rights
of bona fide third parties.
9. Ketentuan pasal ini tidak boleh
ditafsirkan sebagai
mengesampingkan hak-hak pihak
ketiga yang beritikad baik.
Article 56
Special cooperation
Pasal 56
Kerjasama khusus
Without prejudice to its domestic law,
each State Party shall endeavour to take
measures to permit it to forward, without
prejudice to its own investigations,
prosecutions or judicial proceedings,
information on proceeds of offences
Tanpa mengurangi hukum nasionalnya,
Negara Pihak wajib berupaya mengambil
tindakan-tindakan untuk
memungkinkannya meneruskan, tanpa
mengurangi penyidikan, penuntutan atau
proses pengadilannya sendiri, informasi
72
established in accordance with this
Convention to another State Party
without prior request, when it considers
that the disclosure of such information
might assist the receiving State Party in
initiating or carrying out investigations,
prosecutions or judicial proceedings or
might lead to a request by that State
Party under this chapter of the
Convention.
mengenai hasil kejahatan menurut
Konvensi ini kepada Negara Pihak lain
tanpa diminta, bilamana ia berpendapat
bahwa pengungkapan informasi itu dapat
membantu Negara Pihak lain untuk
memulai atau melakukan penyidikan,
penuntutan atau proses peradilan atau
dapat mengarah pada pengajuan
permintaan oleh Negara Pihak lain itu
berdasarkan bab ini.
Article 57
Return and disposal of assets
Pasal 57
Pengembalian dan penyerahan aset
1. Property confiscated by a State Party
pursuant to article 31 or 55 of this
Convention shall be disposed of,
including by return to its prior
legitimate owners, pursuant to
paragraph 3 of this article, by that
State Party in accordance with the
provisions of this Convention and its
domestic law.
1. Kekayaan yang dirampas oleh suatu
Negara Pihak berdasarkan pasal 31
atau 55 Konvensi ini wajib
diserahkan, termasuk dengan
pengembalian kepada para pemilik
sah sebelumnya, berdasarkan
ketentuan ayat 3, oleh Negara Pihak
sesuai dengan ketentuan Konvensi ini
dan hukum nasionalnya.
2. Each State Party shall adopt such
legislative and other measures, in
accordance with the fundamental
principles of its domestic law, as may
be necessary to enable its competent
authorities to return confiscated
property, when acting on the request
made by another State Party, in
accordance with this Convention,
taking into account the rights of bona
fide third parties.
2. Negara Pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan legislatif dan
lainnya, sesuai dengan prinsipprinsip
dasar hukum nasionalnya,
yang perlu untuk memungkinkan
pejabat berwenangnya
mengembalikan kekayaan yang
dirampas, ketika bertindak atas
permintaan yang diajukan oleh
Negara Pihak lain, sesuai dengan
Konvensi ini, dengan memperhatikan
hak-hak pihak ketiga yang beritikad
baik.
3. In accordance with articles 46 and 55
of this Convention and paragraphs 1
and 2 of this article, the requested
State Party shall:
3. Sesuai dengan ketentuan pasal 46
dan pasal 55 Konvensi ini dan ayat 1
dan ayat 2, Negara Pihak yang
diminta wajib :
(a) In the case of embezzlement of
public funds or of laundering of
embezzled public funds as
referred to in articles 17 and 23 of
this Convention, when
confiscation was executed in
accordance with article 55 and on
the basis of a final judgement in
the requesting State Party, a
requirement that can be waived by
the requested State Party, return
the confiscated property to the
requesting State Party;
(a) Untuk kasus penggelapan dana
publik atau pencucian dana yang
digelapkan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 17 dan
pasal 23 Konvensi ini, jika
perampasan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan pasal 55 dan
atas dasar putusan akhir di
Negara Pihak yang meminta,
suatu persyaratan yang dapat
dikesampingkan oleh Negara
Pihak yang diminta,
mengembalikan kekayaan yang
dirampas kepada Negara Pihak
73
yang meminta;
(b) In the case of proceeds of any
other offence covered by this
Convention, when the confiscation
was executed in accordance with
article 55 of this Convention and
on the basis of a final judgement
in the requesting State Party, a
requirement that can be waived by
the requested State Party, return
the confiscated property to the
requesting State Party, when the
requesting State Party reasonably
establishes its prior ownership of
such confiscated property to the
requested State Party or when the
requested State Party recognizes
damage to the requesting State
Party as a basis for returning the
confiscated property;
(b) Untuk kasus hasil dari kejahatan
lain menurut Konvensi ini, jika
perampasan dilakukan sesuai
dengan ketentuan pasal 55
Konvensi ini dan atas dasar
putusan akhir di Negara Pihak
yang meminta, suatu persyaratan
yang dapat dikesampingkan oleh
Negara Pihak yang diminta,
mengembalikan kekayaan yang
dirampas kepada Negara Pihak
yang meminta, jika Negara Pihak
yang meminta menetapkan
secara memadai pemilikan
sebelumnya atas kekayaan yang
dirampas kepada Negara Pihak
yang diminta atau jika Negara
Pihak yang diminta mengakui
adanya kerugian terhdap Negara
Pihak yang meminta sebagai
dasar untuk mengembalikan
kekayaan yang dirampas itu.
(c) In all other cases, give priority
consideration to returning
confiscated property to the
requesting State Party, returning
such property to its prior legitimate
owners or compensating the
victims of the crime.
(c) Untuk kasus lain, memberikan
prioritas bagi pengembalian
kekayaan yang dirampas kepada
Negara Pihak yang meminta,
mengembalikan kekayaan itu
kepada para pemilik sah
sebelumnya atau memberi
kempensasi kepada korban
kejahatan.
4. Where appropriate, unless States
Parties decide otherwise, the
requested State Party may deduct
reasonable expenses incurred in
investigations, prosecutions or judicial
proceedings leading to the return or
disposition of confiscated property
pursuant to this article.
4. Sepanjang perlu, jika Negara-Negara
Pihak tidak memutuskan lain, Negara
Pihak yang diminta dapat mengurangi
pengeluaran-pengeluaran yang wajar
yang terjadi dalam penyidikan,
penuntutan atau proses peradilan
yang mengarah pada pengembalian
atau penyerahan kekayaan yang
dirampas berdasarkan pasal ini.
5. Where appropriate, States Parties
may also give special consideration to
concluding agreements or mutually
acceptable arrangements, on a caseby-
case basis, for the final disposal of
confiscated property.
5. Sepanjang perlu, Negara-Negara
Pihak dapat juga memberikan
pertimbangan khusus untuk
mengadakan perjanjian atau
pengaturan yang dapat diterima
bersama, atas dasar kasus per kasus,
untuk penyerahan akhir kekayaan
yang dirampas.
74
Article 58
Financial intelligence unit
Pasal 58
Unit intelijens keuangan
States Parties shall cooperate with one
another for the purpose of preventing and
combating the transfer of proceeds of
offences established in accordance with
this Convention and of promoting ways
and means of recovering such proceeds
and, to that end, shall consider
establishing a financial intelligence unit to
be responsible for receiving, analysing
and disseminating to the competent
authorities reports of suspicious financial
transactions.
Negara-Negara Pihak wajib saling
bekerja sama untuk mencegah dan
memberantas transfer hasil dari
kejahatan menurut Konvensi ini dan
meningkatkan cara dan sarana untuk
mengembalikan hasil itu dan, untuk
tujuan itu, wajib mempertimbangkan
untuk membentuk unit intelijen keuangan
yang bertanggung jawab atas
penerimaan, analisis dan
penyebarluasan laporan mengenai
transaksi keuangan yang mencurigakan
kepada pejabat-pejabat yang berwenang.
Article 59
Bilateral and multilateral agreements
and arrangements
Pasal 59
Perjanjian dan pengaturan bilateral
dan multilateral
States Parties shall consider concluding
bilateral or multilateral agreements or
arrangements to enhance the
effectiveness of international cooperation
undertaken pursuant to this chapter of
the Convention.
Negara Pihak wajib mempertimbangkan
untuk mengadakan perjanjian atau
pengaturan bilateral atau multilateral
untuk meningkatkan keefektivan
kerjasama internasional yang dilakukan
berdasarkan bab ini.
Chapter VI
Technical assistance and information
exchange
Bab VI
Bantuan teknis dan pertukaran
informasi
Article 60
Training and technical assistance
Pasal 60
Pelatihan dan bantuan teknis
1. Each State Party shall, to the extent
necessary, initiate, develop or
improve specific training programmes
for its personnel responsible for
preventing and combating corruption.
Such training programmes could deal,
inter alia, with the following areas:
1. Negara Pihak wajib, sepanjang perlu,
membuat, mengembangkan atau
menyempurnakan program-program
pelatihan khusus bagi personilnya
yang bertanggung jawab mencegah
dan memberantas korupsi. Programprogram
pelatihan itu dapat
menyangkut, antara lain, bidangbidang
sebagai berikut:
(a) Effective measures to prevent,
detect, investigate, punish and
control corruption, including the
use of evidence-gathering and
investigative methods;
(a) Tindakan-tindakan yang efektif
untuk mencegah, mendeteksi,
menyidik, menghukum dan
mengendalikan korupsi, termasuk
penggunaan metoda-metoda
pengumpulan bukti dan
penyidikan;
(b) Building capacity in the
development and planning of
strategic anticorruption policy;
(b) Peningkatan kemampuan dalam
pengembangan dan perencanaan
kebijakan strategis anti korupsi;
75
(c) Training competent authorities in
the preparation of requests for
mutual legal assistance that meet
the requirements of this
Convention;
(c) Pelatihan pejabat yang
berwenang dalam menyiapkan
permintaan bantuan hukum
timbal-balik yang memenuhi
persyaratan-persyaratan Konvensi
ini.
(d) Evaluation and strengthening of
institutions, public service
management and the
management of public finances,
including public procurement, and
the private sector;
(d) Evaluasi dan penguatan lembaga,
pengelolaan layanan umum dan
pengelolaan keuangan publik,
termasuk pengadaan barang
publik, dan sektor swasta;
(e) Preventing and combating the
transfer of proceeds of offences
established in accordance with
this Convention and recovering
such proceeds;
(e) Pencegahan dan pemberantasan
transfer hasil kejahatan yang
dilakukan sesuai dengan
Konvensi ini dan pengembalian
hasil itu;
(f) Detecting and freezing of the
transfer of proceeds of offences
established in accordance with
this Convention;
(f) Deteksi dan pembekuan transfer
hasil kejahatan yang dilakukan
sesuai dengan Konvensi ini;
(g) Surveillance of the movement of
proceeds of offences established
in accordance with this
Convention and of the methods
used to transfer, conceal or
disguise such proceeds;
(g) Pengintaian terhadap pergerakan
hasil kejahatan yang dilakukan
sesuai dengan Konvensi ini dan
terhadap metoda-metoda yang
digunakan untuk mentransfer,
menyembunyikan atau
menyamarkan hasil itu;
(h) Appropriate and efficient legal and
administrative mechanisms and
methods for facilitating the return
of proceeds of offences
established in accordance with
this Convention;
(h) Mekanisme hukum dan
administrasi yang tepat dan
efisien serta metoda-metoda
untuk memfasilitasi pengembalian
hasil kejahatan yang dilakukan
sesuai dengan Konvensi ini; dan
(i) Methods used in protecting
victims and witnesses who
cooperate with judicial authorities;
and
(i) Metoda-metoda yang digunakan
dalam melindungi korban dan
saksi yang bekerjasama dengan
pejabat peradilan; dan
(j) Training in national and
international regulations and in
languages.
(j) Pelatihan mengenai peraturan
nasional dan internasional serta
pelatihan mengenai bahasa.
2. States Parties shall, according to their
capacity, consider affording one
another the widest measure of
technical assistance, especially for
the benefit of developing countries, in
their respective plans and
programmes to combat corruption,
including material support and training
in the areas referred to in paragraph 1
2. Negara Pihak wajib, sesuai dengan
kemampuan masing-masing,
mempertimbangkan untuk saling
memberikan bantuan teknis seluas
mungkin, khususnya untuk Negara-
Negara berkembang, dalam rencanarencana
dan program-program
masing-masing untuk memberantas
korupsi, termasuk dukungan material
76
of this article, and training and
assistance and the mutual exchange
of relevant experience and
specialized knowledge, which will
facilitate international cooperation
between States Parties in the areas of
extradition and mutual legal
assistance.
dan pelatihan di bidang-bidang
sebagaimana dimaksud pada ayat 1,
dan pelatihan serta bantuan dan
pertukaran pengalaman yang relevan
dan pengetahuan khusus, yang akan
memfasilitasi kerjasama antar Negara
Pihak di bidang ekstradisi dan
bantuan hukum timbal-balik.
3. States Parties shall strengthen, to the
extent necessary, efforts to maximize
operational and training activities in
international and regional
organizations and in the framework of
relevant bilateral and multilateral
agreements or arrangements.
3. Negara Pihak wajib memperkuat,
sepanjang perlu, upaya-upaya
memaksimalkan kegiatan operasional
dan pelatihan pada organisasiorganisasi
internasional dan regional
dan dalam rangka perjanjian atau
pengaturan bilateral dan multilateral
yang relevan.
4. States Parties shall consider assisting
one another, upon request, in
conducting evaluations, studies and
research relating to the types, causes,
effects and costs of corruption in their
respective countries, with a view to
developing, with the participation of
competent authorities and society,
strategies and action plans to combat
corruption.
4. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk saling
membantu, atas permintaan, dalam
melakukan evaluasi, studi dan riset
yang berkaitan dengan jenis, sebab,
akibat dan biaya korupsi di Negara
masing-masing, dengan tujuan untuk
mengembangkan, dengan partisipasi
pejabat yang berwenang dan
masyarakat, strategi dan rencana aksi
untuk memberantas korupsi.
5. In order to facilitate the recovery of
proceeds of offences established in
accordance with this Convention,
States Parties may cooperate in
providing each other with the names
of experts who could assist in
achieving that objective.
5. Untuk memfasilitasi pengembalian
hasil dari kejahatan menurut
Konvensi ini, Negara Pihak dapat
bekerjasama untuk memberikan
nama para ahli yang dapat membantu
pencapaian tujuan itu.
6. States Parties shall consider using
subregional, regional and
international conferences and
seminars to promote cooperation and
technical assistance and to stimulate
discussion on problems of mutual
concern, including the special
problems and needs of developing
countries and countries with
economies in transition.
6. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk
menggunakan konperensi subregional,
regional dan internasional
untuk meningkatkan kerjasama dan
bantuan teknis serta untuk
mendorong diskusi tentang
persoalan-persoalan yang menjadi
perhatian bersama, termasuk
persoalan-persoalan dan kebutuhankebutuhan
khusus Negara-Negara
berkembang dan Negara-Negara
dengan ekonomi dalam transisi.
7. States Parties shall consider
establishing voluntary mechanisms
with a view to contributing financially
to the efforts of developing countries
and countries with economies in
7. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk
menetapkan mekanisme sukarela
dengan tujuan memberikan
sumbangan keuangan kepada upaya77
transition to apply this Convention
through technical assistance
programmes and projects.
upaya Negara-Negara berkembang
dan Negara-Negara dengan ekonomi
dalam transisi untuk menerapkan
Konvensi ini melalui program dan
proyek bantuan teknis.
8. Each State Party shall consider
making voluntary contributions to the
United Nations Office on Drugs and
Crime for the purpose of fostering,
through the Office, programmes and
projects in developing countries with a
view to implementing this Convention.
8. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk
memberikan sumbangan-sumbangan
sukarela kepada Dinas Perserikatan
Bangsa-Bangsa Mengenai Obat
Terlarang dan Kejahatan untuk tujuan
mengembangkan, melalui Dinas
tersebut, program-program dan
proyek-proyek di Negara-Negara
berkembang dengan tujuan
melaksanakan Konvensi ini.
Article 61
Collection, exchange and analysis of
information on corruption
Pasal 61
Pengumpulan, pertukaran dan analisis
informasi tentang korupsi
1. Each State Party shall consider
analysing, in consultation with
experts, trends in corruption in its
territory, as well as the circumstances
in which corruption offences are
committed.
1. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk
menganalisis, dengan berkonsultasi
dengan para ahli, kecenderungan
dalam korupsi di wilayahnya, juga
keadaan-keadaan apa yang
menyebabkan kejahatan korupsi
dilakukan.
2. States Parties shall consider
developing and sharing with each
other and through international and
regional organizations statistics,
analytical expertise concerning
corruption and information with a view
to developing, insofar as possible,
common definitions, standards and
methodologies, as well as information
on best practices to prevent and
combat corruption.
2. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk
mengembangkan dan saling berbagi
melalui statistik organisasi
internasional dan regional, keahlian
analitis mengenai korupsi dan
informasi untuk mengembangkan,
sepanjang memungkinkan, definisi,
standar dan metodologi bersama,
serta informasi tentang praktekpraktek
terbaik untuk mencegah dan
memberantas korupsi.
3. Each State Party shall consider
monitoring its policies and actual
measures to combat corruption and
making assessments of their
effectiveness and efficiency.
3. Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk memantau
kebijakan dan tindakan nyatanya
untuk memberantas korupsi dan
membuat penilaian mengenai
keefektivan dan keefisiennnya.
Article 62
Other measures: implementation of
the Convention through economic
development and technical assistance
Pasal 62
Tindakan lain: pelaksanaan Konvensi
melalui pembangunan ekonomi dan
bantuan teknis
1. States Parties shall take measures 1. Negara Pihak wajib mengambil
78
conducive to the optimal
implementation of this Convention to
the extent possible, through
international cooperation, taking into
account the negative effects of
corruption on society in general, in
particular on sustainable
development.
tindakan-tindakan yang mendukung
pelaksanaan optimal Konvensi ini
sepanjang memungkinkan, melalui
kerjasama internasional, dengan
mempertimbangkan akibat-akibat
negatif korupsi terhadap masyarakat
pada umumnya, dan pada khususnya
terhadap pembangunan yang
berkelanjutan.
2. States Parties shall make concrete
efforts to the extent possible and in
coordination with each other, as well
as with international and regional
organizations:
2. Negara Pihak wajib melakukan
upaya-upaya nyata sepanjang
memungkinkan dan dengan
berkoordinasi satu sama lain, juga
dengan organisasi-organisasi
internasional dan regional:
(a) To enhance their cooperation at
various levels with developing
countries, with a view to
strengthening the capacity of the
latter to prevent and combat
corruption;
(a) Untuk meningkatkan kerjasama di
berbagai tingkat dengan negaranegara
berkembang, untuk
memperkuat kedudukan negaranegara
itu dalam mencegah dan
memberantas korupsi;
(b) To enhance financial and material
assistance to support the efforts of
developing countries to prevent
and fight corruption effectively and
to help them implement this
Convention successfully;
(b) Untuk meningkatkan bantuan
keuangan dan material guna
mendukung upaya-upaya negaranegara
berkembang dalam
mencegah dan melawan korupsi
secara efektif dan untuk
membantu negara-negara itu
melaksanakan Konvensi ini;
(c) To provide technical assistance to
developing countries and
countries with economies in
transition to assist them in
meeting their needs for the
implementation of this
Convention. To that end, States
Parties shall endeavour to make
adequate and regular voluntary
contributions to an account
specifically designated for that
purpose in a United Nations
funding mechanism. States
Parties may also give special
consideration, in accordance with
their domestic law and the
provisions of this Convention, to
contributing to that account a
percentage of the money or of the
corresponding value of proceeds
of crime or property confiscated in
accordance with the provisions of
this Convention;
(c) Untuk memberikan bantuan teknis
kepada negara-negara
berkembang dan negara-negara
dengan ekonomi dalam transisi
guna membantu negar-negara itu
untuk memenuhi kebutuhankebutuhan
mereka dalam
melaksanakan Konvensi ini. Untuk
tujuan itu, Negara Pihak harus
berupaya untuk memberikan
sumbangan-sumbangan sukarela
yang cukup dan teratur ke
rekening yang khusus untuk
tujuan itu dalam suatu mekanisme
pendanaan Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Negara Pihak dapat juga
memberikan pertimbangan
khusus, sesuai dengan hukum
nasional masing-masing dan
ketentuan-ketentuan Konvensi ini
untuk menyumbang kepada
rekening itu suatu persentase
uang atau nilai setara dari hasil
79
kejahatan yang atau kekayaan
yang disita sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Konvensi ini;
(d) To encourage and persuade other
States and financial institutions as
appropriate to join them in efforts
in accordance with this article, in
particular by providing more
training programmes and modern
equipment to developing countries
in order to assist them in
achieving the objectives of this
Convention.
(d) Untuk mendorong dan
menghimbau Negara lain dan
lembaga keuangan lain sepanjang
perlu untuk bergabung dalam
upaya-upaya menurut pasal ini,
khususnya dengan memberikan
program pelatihan dan peralatan
modern yang lebih banyak kepada
Negara-Negara berkembang guna
membantu Negara-Negara itu
dalam mencapai tujuan-tujuan
Konvensi ini.
3. To the extent possible, these
measures shall be without prejudice
to existing foreign assistance
commitments or to other financial
cooperation arrangements at the
bilateral, regional or international
level.
3. Sepanjang memungkinkan, tindakantindakan
ini harus dilakukan dengan
memperhatikan komitmen-komitmen
bantuan asing yang ada atau
pengaturan kerjasama keuangan lain
di tingkat bilateral, regional atau
internasional.
4. States Parties may conclude bilateral
or multilateral agreements or
arrangements on material and
logistical assistance, taking into
consideration the financial
arrangements necessary for the
means of international cooperation
provided for by this Convention to be
effective and for the prevention,
detection and control of corruption.
4. Negara Pihak dapat mengadakan
perjanjian atau pengaturan bilateral
atau multilateral mengenai bantuan
material dan logistik, dengan
mempertimbangkan pengaturan
keuangan yang perlu untuk saranasarana
kerjasama internasional
sebagaimana dimaksud dalam
Konvensi ini agar efektif dan untuk
pencegahan, deteksi dan
pengendalian korupsi.
Chapter VII
Mechanisms for implementation
Bab VII
Mekanisme pelaksanaan
Article 63
Conference of the States Parties to the
Convention
Pasal 63
Konperensi Negara Pihak pada
Konvensi
1. A Conference of the States Parties to
the Convention is hereby established
to improve the capacity of and
cooperation between States Parties to
achieve the objectives set forth in this
Convention and to promote and
review its implementation.
1. Konperensi Para Negara Pihak pada
Konvensi dengan ini ditetapkan untuk
meningkatkan kemampuan dari dan
kerjasama antar Negara Pihak untuk
mencapai tujuan-tujuan sebagaimana
dimaksud dalam Konvensi ini dan
untuk meningkatkan dan mengkaji
pelaksanaannya.
2. The Secretary-General of the United
Nations shall convene the Conference
of the States Parties not later than
one year following the entry into force
2. Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa wajib
menyelenggarakan Konperensi
Negara Pihak selambat-lambatnya
80
of this Convention. Thereafter, regular
meetings of the Conference of the
States Parties shall be held in
accordance with the rules of
procedure adopted by the
Conference.
satu tahun setelah Konvensi ini mulai
berlaku. Setelah itu, pertemuan
regular Konperensi Negara Pihak
harus dilaksanakan sesuai dengan
aturan tata tertib yang diputuskan
oleh Konperensi itu.
3. The Conference of the States Parties
shall adopt rules of procedure and
rules governing the functioning of the
activities set forth in this article,
including rules concerning the
admission and participation of
observers, and the payment of
expenses incurred in carrying out
those activities.
3. Konperensi Negara Pihak wajib
membuat aturan tata tertib dan aturan
yang mengatur berfungsinya
kegiatan-kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini, termasuk
aturan mengenai penerimaan dan
partisipasi para peninjau, dan
pembayaran biaya-biaya pelaksanaan
kegiatan-kegiatan itu.
4. The Conference of the States Parties
shall agree upon activities,
procedures and methods of work to
achieve the objectives set forth in
paragraph 1 of this article, including:
4. Konperensi Negara Pihak wajib
menyetujui kegiatan, tata tertib dan
metoda kerja untuk mencapai tujuantujuan
sebagaimana dimaksud pada
ayat 1, termasuk :
(a) Facilitating activities by States
Parties under articles 60 and 62
and chapters II to V of this
Convention, including by
encouraging the mobilization of
voluntary contributions;
(a) Memfasilitasi kegiatan-kegiatan
Negara Pihak berdasarkan pasal
60 dan pasal 62 serta bab II
sampai bab V Konvensi ini,
termasuk dengan mendorong
mobilisasi sumbangansumbangan
sukarela;
(b) Facilitating the exchange of
information among States Parties
on patterns and trends in
corruption and on successful
practices for preventing and
combating it and for the return of
proceeds of crime, through, inter
alia, the publication of relevant
information as mentioned in this
article;
(b) Memfasilitasi pertukaran informasi
antar Negara Pihak tentang polapola
dan kecenderungankecenderungan
dalam korupsi
dan tentang praktek-praktek yang
berhasil untuk mencegah dan
memberantasnya serta untuk
pengembalian hasil-hasil
kejahatan, melalui, antara lain,
publikasi informasi yang relevan
sebagaimana dimaksud dalam
pasal ini;
(c) Cooperating with relevant
international and regional
organizations and mechanisms
and non-governmental
organizations;
(c) Bekerjasama dengan organisasi
dan mekanisme regional dan
internasional terkait serta
organisasi non-pemerintah;
(d) Making appropriate use of
relevant information produced by
other international and regional
mechanisms for combating and
preventing corruption in order to
avoid unnecessary duplication of
work;
(d) Memanfaatkan secara baik
informasi terkait yang dihasilkan
oleh mekanisme regional dan
internasional lain dalam
memberantas dan mencegah
korupsi untuk menghindari
duplikasi kerja yang tidak perlu;
81
(e) Reviewing periodically the
implementation of this Convention
by its States Parties;
(e) Mengkaji secara berkala
pelaksanaan Konvensi ini oleh
Negara Pihak;
(f) Making recommendations to
improve this Convention and its
implementation;
(f) Membuat rekomendasi untuk
meningkatkan Konvensi ini dan
pelaksanaannya;
(g) Taking note of the technical
assistance requirements of States
Parties with regard to the
implementation of this Convention
and recommending any action it
may deem necessary in that
respect.
(g) Mencatat persyaratan-persyaratan
bantuan teknis Negara Pihak
berkenaan dengan pelaksanaan
Konvensi ini dan menyarankan
tindakan yang dianggap perlu
dalam kaitan itu;
5. For the purpose of paragraph 4 of this
article, the Conference of the States
Parties shall acquire the necessary
knowledge of the measures taken by
States Parties in implementing this
Convention and the difficulties
encountered by them in doing so
through information provided by them
and through such supplemental
review mechanisms as may be
established by the Conference of the
States Parties.
5. Untuk melaksanakan ketentuan ayat
4, Konperensi Negara Pihak harus
memperoleh pengetahuan yang
cukup mengenai tindakan-tindakan
yang diambil oleh Negara Pihak
dalam melaksanakan Konvensi ini
dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi
dalam pelaksanaannya melalui
informasi yang mereka berikan dan
melalui mekanisme kajian tambahan
sebagaimana yang dapat ditetapkan
oleh Konperensi Negara Pihak;
6. Each State Party shall provide the
Conference of the States Parties with
information on its programmes, plans
and practices, as well as on
legislative and administrative
measures to implement this
Convention, as required by the
Conference of the States Parties. The
Conference of the States Parties shall
examine the most effective way of
receiving and acting upon information,
including, inter alia, information
received from States Parties and from
competent international organizations.
Inputs received from relevant nongovernmental
organizations duly
accredited in accordance with
procedures to be decided upon by the
Conference of the States Parties may
also be considered.
6. Negara Pihak wajib memberikan
informasi kepada Konperensi Negara
Pihak tentang program, rencana dan
praktek, serta tindakan administratif
dan legislatif dalam melaksanakan
Konvensi ini, sebagaimana diwajibkan
oleh Konperensi Negara Pihak.
Konperensi Negara Pihak wajib
memeriksa cara yang paling efektif
untuk menerima dan bertindak atas
dasar informasi, termasuk, antara
lain, informasi yang diterima dari
Negara Pihak dan dari organisasi
internasional yang kompeten.
Masukan-masukan yang diterima dari
organisasi non-pemerintah yang
terkait, yang dimungkinkan menurut
prosedur yang akan diputuskan oleh
Konperensi Negara Pihak dapat juga
dipertimbangkan.
7. Pursuant to paragraphs 4 to 6 of this
article, the Conference of the States
Parties shall establish, if it deems it
necessary, any appropriate
mechanism or body to assist in the
effective implementation of the
7. Berdasarkan ketentuan ayat 4 sampai
ayat 6, Konperensi Negara Pihak
harus menetapkan, jika dianggap
perlu, mekanisme atau badan yang
tepat untuk membantu pelaksanaan
Konvensi ini secara efektif.
82
Convention.
Article 64
Secretariat
Pasal 64
Sekretariat
1. The Secretary-General of the United
Nations shall provide the necessary
secretariat services to the Conference
of the States Parties to the
Convention.
1. Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa wajib menyediakan
layanan kesekretariatan yang
diperlukan pada Konperensi Negara
Pihak pada Konvensi ini.
2. The secretariat shall: 2. Sekretariat wajib :
(a) Assist the Conference of the
States Parties in carrying out the
activities set forth in article 63 of
this Convention and make
arrangements and provide the
necessary services for the
sessions of the Conference of the
States Parties;
(a) Membantu Konperensi Negara
Pihak dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 63
Konvensi ini dan membuat
pengaturan serta memberikan
layanan yang diperlukan untuk
sidang-sidang Konperensi Negara
Pihak;
(b) Upon request, assist States
Parties in providing information to
the Conference of the States
Parties as envisaged in article 63,
paragraphs 5 and 6, of this
Convention; and
(b) Jika diminta, membantu Negara
Pihak dalam memberikan
informasi kepada Konperensi
Negara Pihak sebagaimana
dimaksud dalam pasal 63 ayat 5
dan ayat 6 Konvensi ini; dan
(c) Ensure the necessary
coordination with the secretariats
of relevant international and
regional organizations.
(c) Mengadakan koordinasi yang
diperlukan dengan sekretariat
organisasi internasional dan
regional terkait.
Chapter VIII
Final provisions
Bab VIII
Ketentuan Penutup
Article 65
Implementation of the Convention
Pasal 65
Pelaksanaan Konvensi
1. Each State Party shall take the
necessary measures, including
legislative and administrative
measures, in accordance with
fundamental principles of its domestic
law, to ensure the implementation of
its obligations under this Convention.
1. Negara Pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan yang perlu,
termasuk tindakan-tindakan legislatif
dan administratif, sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar dari hukum
nasionalnya, untuk menjamin
pelaksanaan kewajiban-kewajibannya
berdasarkan Konvensi ini;
2. Each State Party may adopt more
strict or severe measures than those
provided for by this Convention for
preventing and combating corruption.
2. Negara Pihak dapat mengambil
tindakan-tindakan yang lebih ketat
atau keras daripada yang diatur
dalam Konvensi ini untuk mencegah
dan memberantas korupsi.
83
Article 66
Settlement of disputes
Pasal 66
Penyelesaian sengketa
1. States Parties shall endeavour to
settle disputes concerning the
interpretation or application of this
Convention through negotiation.
1. Negara Pihak wajib berupaya untuk
menyelesaikan sengketa mengenai
penafsiran atau penerapan Konvensi
ini melalui perundingan.
2. Any dispute between two or more
States Parties concerning the
interpretation or application of this
Convention that cannot be settled
through negotiation within a
reasonable time shall, at the request
of one of those States Parties, be
submitted to arbitration. If, six months
after the date of the request for
arbitration, those States Parties are
unable to agree on the organization of
the arbitration, any one of those
States Parties may refer the dispute
to the International Court of Justice by
request in accordance with the
Statute of the Court.
2. Sengketa antara dua atau lebih
Negara Pihak mengenai penafsiran
atau penerapan Konvensi ini yang
tidak dapat diselesaikan melalui
perundingan dalam waktu yang wajar
wajib, atas permintaan salah satu
Negara Pihak, diajukan ke arbitrase.
Jika dalam waktu enam bulan setelah
permintaan pengajuan ke arbitrase,
Negara-Negara Pihak itu tidak dapat
bersepakat mengenai struktur
arbitrase, salah satu Negara Pihak
dapat mengajukan sengketa itu
kepada Mahkamah Internasional
dengan permintaan sesuai dengan
Statuta Mahkamah Internasional.
3. Each State Party may, at the time of
signature, ratification, acceptance or
approval of or accession to this
Convention, declare that it does not
consider itself bound by paragraph 2
of this article. The other States
Parties shall not be bound by
paragraph 2 of this article with respect
to any State Party that has made
such a reservation.
3. Negara Pihak pada saat
penandatanganan, pengesahan,
penerimaan atau persetujuan atas
atau aksesi terhadap Konvensi ini
dapat menyatakan tidak terikat pada
ketentuan ayat 2. Negara Pihak lain
tidak akan terikat oleh ketentuan ayat
2 terhadap Negara Pihak yang telah
membuat pensyaratan itu.
4. Any State Party that has made a
reservation in accordance with
paragraph 3 of this article may at any
time withdraw that reservation by
notification to the Secretary-General
of the United Nations.
4. Negara Pihak yang telah membuat
pensyaratan sesuai dengan
ketentuan ayat 3 dapat setiap saat
menarik kembali pensyaratan itu
dengan pemberitahuan kepada
Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Article 67
Signature, ratification, acceptance,
approval and accession
Pasal 67
Penandatanganan, pengesahan,
penerimaan, persetujuan dan aksesi
1. This Convention shall be open to all
States for signature from 9 to 11
December 2003 in Merida, Mexico,
and thereafter at United Nations
Headquarters in New York until 9
December 2005.
1. Konvensi ini terbuka untuk
penandatanganan oleh semua
Negara dari tanggal 9 sampai tanggal
11 Desember 2003 di Merida, Mexico,
dan setelah itu di Markas Besar
Perserikatan Bangsa-Bangsa di New
York sampai tanggal 9 Desember
2005.
84
2. This Convention shall also be open
for signature by regional economic
integration organizations provided
that at least one member State of
such organization has signed this
Convention in accordance with
paragraph 1 of this article.
2. Konvensi ini juga terbuka untuk
penandatanganan oleh organisasiorganisasi
integrasi ekonomi regional
dengan ketentuan bahwa sekurangkurangnya
satu Negara anggota dari
organisasi tersebut telah
menandatangani Konvensi ini sesuai
dengan ketentuan ayat 1.
3. This Convention is subject to
ratification, acceptance or approval.
Instruments of ratification, acceptance
or approval shall be deposited with
the Secretary-General of the United
Nations. A regional economic
integration organization may deposit
its instrument of ratification,
acceptance or approval if at least one
of its member States has done
likewise. In that instrument of
ratification, acceptance or approval,
such organization shall declare the
extent of its competence with respect
to the matters governed by this
Convention. Such organization shall
also inform the depositary of any
relevant modification in the extent of
its competence.
3. Konvensi ini berlaku melalui
pengesahan, penerimaan atau
persetujuan. Instrumen pengesahan,
penerimaan atau persetujuan wajib
disimpan pada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Organisasi integrasi ekonomi regional
dapat menyimpan instrumen
pengesahan, penerimaan atau
persetujuannya jika sekurangkurangnya
satu dari Negara
anggotanya telah melakukan hal yang
sama. Dalam instrumen pengesahan,
penerimaan atau persetujuan,
organisasi tersebut wajib menyatakan
lingkup kewenangannya berkenaan
dengan hal-hal yang diatur oleh
Konvensi ini. Organisasi tersebut juga
wajib menginformasikan kepada
penyimpan mengenai perubahanperubahan
yang berkaitan dengan
lingkup kewenangannya.
4. This Convention is open for accession
by any State or any regional
economic integration organization of
which at least one member State is a
Party to this Convention. Instruments
of accession shall be deposited with
the Secretary-General of the United
Nations. At the time of its accession,
a regional economic integration
organization shall declare the extent
of its competence with respect to
matters governed by this Convention.
Such organization shall also inform
the depositary of any relevant
modification in the extent of its
competence.
4. Konvensi ini terbuka untuk aksesi
oleh Negara atau organisasi integrasi
ekonomi manapun jika sekurangkurangnya
satu Negara anggotanya
merupakan Pihak pada Konvensi ini.
Instrumen aksesi wajib disimpan pada
Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Pada waktu aksesi,
suatu organisasi integrasi ekonomi
regional wajib menyatakan lingkup
kewenangannya berkenaan dengan
hal-hal yang diatur oleh Konvensi ini.
Organisasi tersebut harus juga
menginformasikan kepada penyimpan
mengenai perubahan-perubahan
yang berkaitan dengan lingkup
kewenangannya.
Article 68
Entry into force
Pasal 68
Saat-Berlaku
1. This Convention shall enter into force
on the ninetieth day after the date of
deposit of the thirtieth instrument of
1. Konvensi ini akan berlaku pada hari
kesembilanpuluh sejak tanggal
penyimpanan ketigapuluh instrumen
85
ratification, acceptance, approval or
accession. For the purpose of this
paragraph, any instrument deposited
by a regional economic integration
organization shall not be counted as
additional to those deposited by
member States of such organization.
pengesahan, penerimaan,
persetujuan atau aksesi. Untuk tujuan
ayat ini, instrumen yang disimpan
oleh suatu organisasi integrasi
ekonomi regional tidak dihitung
sebagai tambahan instrumen yang
telah disimpan oleh Negara anggota
organisasi tersebut.
2. For each State or regional economic
integration organization ratifying,
accepting, approving or acceding to
this Convention after the deposit of
the thirtieth instrument of such action,
this Convention shall enter into force
on the thirtieth day after the date of
deposit by such State or organization
of the relevant instrument or on the
date this Convention enters into force
pursuant to paragraph 1 of this article,
whichever is later.
2. Bagi setiap Negara atau organisasi
integrasi ekonomi regional yang
mengesahkan, menerima, menyetujui
atau mengaksesi Konvensi ini setelah
penyimpanan instrumen yang
ketigapuluh, Konvensi ini akan
berlaku pada hari ketiga puluh setelah
tanggal penyimpanan instrumen oleh
Negara atau organisasi itu atau pada
tanggal mulai berlakunya Konvensi ini
berdasarkan ayat 1, yang mana yang
lebih dulu berlaku.
Article 69
Amendment
Pasal 69
Amandemen
1. After the expiry of five years from the
entry into force of this Convention, a
State Party may propose an
amendment and transmit it to the
Secretary-General of the United
Nations, who shall thereupon
communicate the proposed
amendment to the States Parties and
to the Conference of the States
Parties to the Convention for the
purpose of considering and deciding
on the proposal. The Conference of
the States Parties shall make every
effort to achieve consensus on each
amendment. If all efforts at consensus
have been exhausted and no
agreement has been reached, the
amendment shall, as a last resort,
require for its adoption a two-thirds
majority vote of the States Parties
present and voting at the meeting of
the Conference of the States Parties.
1. Lima tahun terhitung sejak Konvensi
ini mulai berlaku, suatu Negara Pihak
dapat mengusulkan amandemen dan
mengajukannya kepada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa, yang akan meneruskan usul
amandemen itu kepada Negara-
Negara Pihak dan kepada Konperensi
Negara-Negara Pihak pada Konvensi
ini untuk dipertimbangkan dan
diputuskan. Konperensi Negara-
Negara Pihak wajib berupaya untuk
mencapai konsensus atas setiap
amandemen. Jika semua upaya untuk
mencapai konsensus gagal dan tidak
tercapai kesepakatan, maka untuk
dapat diterima, amandemen itu
membutuhkan, sebagai upaya
terakhir, suara mayoritas dua pertiga
dari Negara-Negara Pihak yang hadir
dan memberikan suara pada
pertemuan Konperensi Negara-
Negara Pihak itu.
2. Regional economic integration
organizations, in matters within their
competence, shall exercise their right
to vote under this article with a
number of votes equal to the number
of their member States that are
Parties to this Convention. Such
2. Organisasi-organisasi integrasi
ekonomi regional, untuk masalahmasalah
dalam kewenangan mereka,
wajib melaksanakan hak mereka
untuk memberikan suara berdasarkan
pasal ini dengan sejumlah suara yang
setara dengan jumlah Negara-Negara
86
organizations shall not exercise their
right to vote if their member States
exercise theirs and vice versa.
anggotanya yang merupakan Pihak
pada Konvensi ini. Organisasiorganisasi
tersebut tidak boleh
melaksanakan hak mereka untuk
memberikan suara jika Negara-
Negara anggotanya melaksanakan
haknya dan demikian sebaliknya.
3. An amendment adopted in
accordance with paragraph 1 of this
article is subject to ratification,
acceptance or approval by States
Parties.
3. Suatu amandemen yang diputuskan
sesuai dengan ketentuan ayat 1
memerlukan syarat pengesahan,
penerimaan atau persetujuan oleh
Negara Pihak.
4. An amendment adopted in
accordance with paragraph 1 of this
article shall enter into force in respect
of a State Party ninety days after the
date of the deposit with the Secretary-
General of the United Nations of an
instrument of ratification, acceptance
or approval of such amendment.
4. Suatu amandemen yang diputuskan
sesuai dengan ayat 1 akan
mempunyai kekuatan berlaku pada
suatu Negara Pihak, sembilanpuluh
hari setelah tanggal penyimpanan
pada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa,
instrumen pengesahan, penerimaan
atau persetujuan atas amandemen
itu.
5. When an amendment enters into
force, it shall be binding on those
States Parties which have expressed
their consent to be bound by it. Other
States Parties shall still be bound by
the provisions of this Convention and
any earlier amendments that they
have ratified, accepted or approved.
5. Bilamana suatu amandemen
mempunyai kekuatan berlaku, ia
mengikat Para Negara Pihak itu yang
telah menyatakan persetujuannya
untuk terikat olehnya. Para Negara
Pihak lainnya masih terikat dengan
ketentuan-ketentuan Konvensi ini dan
amandemen-amandemen
sebelumnya yang manapun yang
telah mereka sahkan, terima atau
setujui.
Article 70
Denunciation
Pasal 70
Penarikan diri
1. A State Party may denounce this
Convention by written notification to
the Secretary-General of the United
Nations. Such denunciation shall
become effective one year after the
date of receipt of the notification by
the Secretary-General.
1. Negara Pihak dapat menarik diri dari
Konvensi ini dengan pemberitahuan
tertulis kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Penarikan diri akan berlaku efektif
satu tahun sejak tanggal
pemberitahuan itu diterima oleh
Sekretaris Jenderal.
2. A regional economic integration
organization shall cease to be a Party
to this Convention when all of its
member States have denounced it.
2. Organisasi integrasi ekonomi regional
akan berhenti menjadi Pihak pada
Konvensi ini bilamana semua Negara
anggotanya telah menarik diri.
Article 71
Depositary and languages
Pasal 71
Penyimpanan dan bahasa
1. The Secretary-General of the United 1. Sekretaris Jenderal Perserikatan
87
Nations is designated depositary of
this Convention.
Bangsa-Bangsa ditunjuk untuk
menyimpan Konvensi ini.
2. The original of this Convention, of
which the Arabic, Chinese, English,
French, Russian and Spanish texts
are equally authentic, shall be
deposited with the Secretary-General
of the United Nations.
2. Teks asli Konvensi ini, yang dalam
bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis,
Rusia dan Spanyol adalah samasama
otentik, akan disimpan pada
Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
IN WITNESS WHEREOF, the
undersigned plenipotentiaries, being duly
authorized thereto by their respective
Governments, have signed this
Convention.
SEBAGAI BUKTI, yang bertandatangan
di bawah ini, duta-duta besar berkuasa
penuh, yang dikuasakan untuk itu oleh
Pemerintah masing-masing, telah
menandatangani Konvensi ini.
.
Terjemahan ini merupakan hasil kerjasama antara Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar
Komisi dan Instansi dan Biro Hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi.
Informasi lebih lanjut hubungi:
rooseno@kpk.go.id
Johnson.ginting@kpk.go.id
88
89
JUARA I
LOMBA POSTER KPK
KATEGORI PELAJAR
90
JUARA II
LOMBA POSTER KPK
KATEGORI UMUM
91
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2006
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATION CONVENTION AGAINST
CORRUPTION, 2OO3
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI,
2003)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, maka pemerintah bersama-sama masyarakat
mengambil langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi secara sistematis dan berkesinambungan;
b bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan
tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi
seluruh masyarakat dan perekonomian sehingga penting adanya kerja
sama internasional untuk pencegahan dan pemberantasannya
termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil tindak pidana
korupsi;
c bahwa kerja sama internasional dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi perlu didukung oleh integritas,
akuntabilitas, dan manajemen pemerintahan yang baik;
d bahwa bangsa Indonesia telah ikut aktif daiam upaya masyarakat
internasional untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi dengan telah menandatangani United Nations Convention
Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi, 2003);
e bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption,
2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2OO3);
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2O0O tentang Perjanjian
Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4012);
92
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN UNITED NATION
CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2OO3 (KONVENSI
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003).
Pasal 1
Mengesahkan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal
66 ayat (2) tentang Penyelesaian Sengketa.
Salinan naskah asli United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan Reservation (Pensyaratan)
terhradap Pasal 66 ayat (2) tentang Penyelesaian Sengketa dalam bahasa Inggris dan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setlap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
-
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 18 April 2006
PRESIDEN REPUBUK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 April 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 32
93
JUARA II
LOMBA POSTER KPK
KATEGORI MAHASISWA
94
JUARA II
LOMBA POSTER KPK
KATEGORI PELAJAR
95
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2002
TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat
dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu
ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah
merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan
nasional;
b. bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum
berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209);
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3851);
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4150).
96
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Penyelenggara Negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan
peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 3
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Pasal 4
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil
guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal 5
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan
pada:
kepastian hukum;
keterbukaan;
akuntabilitas;
kepentingan umum; dan
proporsionalitas.
97
BAB II
TUGAS, WEWENANG, DAN KEWAJIBAN
Pasal 6
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pasal 7
Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada
instansi yang terkait;
d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Pasal 8
(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau
penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang
berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam
melaksanakan pelayanan publik.
(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau
penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh
berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya
permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan
menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan
kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pasal 9
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
98
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana
korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif,
yudikatif, atau legislatif; atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan
tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Pasal 10
Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan
Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak
pidana korupsi yang sedang ditangani.
Pasal 11
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 12
(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
bepergian ke luar negeri;
c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir
rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak
lain yang terkait;
e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada
instansi yang terkait;
g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan,
dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta
konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga
99
berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana
korupsi yang sedang diperiksa;
h. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain
untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar
negeri;
i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara
tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan
sebagai berikut:
a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan
penyelenggara negara;
b. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
d. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak
pidana korupsi;
e. melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Pasal 14
Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga
negara dan pemerintah;
b. memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan
perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi
tersebut berpotensi korupsi;
c. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi
Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.
Pasal 15
Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban:
a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan
ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi;
b. memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan
bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak
pidana korupsi yang ditanganinya;
c. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa
Keuangan;
d. menegakkan sumpah jabatan;
e. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
100
BAB III
TATA CARA PELAPORAN DAN PENENTUAN STATUS GRATIFIKASI
Pasal 16
Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut:
a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan
dengan gratifikasi.
b. Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat:
1) nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
2) jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
3) tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
4) uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan
5) nilai gratifikasi yang diterima.
Pasal 17
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status kepemilikan
gratifikasi disertai pertimbangan.
(2) Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk
memberikan keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi.
(3) Status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat berupa penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima
gratifikasi atau menjadi milik negara.
(5) Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan
gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada penerima gratifikasi paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
(6) Penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri Keuangan,
dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
Pasal 18
Komisi Pemberantasan Korupsi wajib mengumumkan gratifikasi yang ditetapkan menjadi
milik negara paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun dalam Berita Negara.
BAB IV
TEMPAT KEDUDUKAN, TANGGUNG JAWAB, DAN SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 19
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia
dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
Pasal 20
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan
tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada
101
Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan
Badan Pemeriksa Keuangan.
(2) Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan cara:
a. wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan
program kerjanya;
b. menerbitkan laporan tahunan; dan
c. membuka akses informasi.
Pasal 21
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas
a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) Anggota
Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. Tim Penasihat yang terdiri dari 4 (empat) Anggota; dan
c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas.
(2) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a disusun sebagai berikut:
a. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi merangkap Anggota; dan
b. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas 4 (empat) orang,
masing-masing merangkap Anggota.
(3) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a adalah pejabat negara.
(4) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a adalah penyidik dan penuntut umum.
(5) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bekerja secara kolektif.
(6) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a adalah penanggung jawab tertinggi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 22
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengangkat Tim Penasihat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b yang diajukan oleh panitia seleksi
pemilihan.
(2) Panitia seleksi pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(3) Panitia seleksi pemilihan mengumumkan penerimaan calon dan melakukan kegiatan
mengumpulkan calon anggota berdasarkan keinginan dan masukan dari masyarakat.
(4) Calon anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan
terlebih dahulu kepada masyarakat untuk mendapat tanggapan sebelum ditunjuk dan
diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan calon yang diusulkan oleh
panitia seleksi pemilihan.
(5) Setelah mendapat tanggapan dari masyarakat, panitia seleksi pemilihan mengajukan
8 (delapan) calon anggota Tim Penasihat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
untuk dipilih 4 (empat) orang anggota.
(6) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5) dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal panitia seleksi
pemilihan dibentuk.
102
Pasal 23
Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan
kepakarannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pelaksanaan tugas dan
wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 24
(1) Anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 adalah warga negara
Indonesia yang karena kepakarannya diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) huruf c adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai
pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Pasal 25
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi:
a. menetapkan kebijakan dan tata kerja organisasi mengenai pelaksanaan tugas
dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala
Subbidang, dan pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi;
c. menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi.
(2) Ketentuan mengenai prosedur tata kerja Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 26
(1) Susunan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi dan 4 (empat) orang Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membawahkan
4 (empat) bidang yang terdiri atas:
a. Bidang Pencegahan;
b. Bidang Penindakan;
c. Bidang Informasi dan Data; dan
d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
(3) Bidang Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a membawahkan:
a. Subbidang Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara;
b. Subbidang Gratifikasi;
c. Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan
d. Subbidang Penelitian dan Pengembangan.
(4) Bidang Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b membawahkan:
a. Subbidang Penyelidikan;
b. Subbidang Penyidikan; dan
c. Subbidang Penuntutan.
103
(5) Bidang Informasi dan Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
membawahkan:
a. Subbidang Pengolahan Informasi dan Data;
b. Subbidang Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan Instansi;
c. Subbidang Monitor.
(6) Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf d membawahkan:
a. Subbidang Pengawasan Internal;
b. Subbidang Pengaduan Masyarakat.
(7) Subbidang Penyelidikan, Subbidang Penyidikan, dan Subbidang Penuntutan, masingmasing
membawahkan beberapa Satuan Tugas sesuai dengan kebutuhan
subbidangnya.
(8) Ketentuan mengenai tugas Bidang-bidang dan masing-masing Subbidang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7)
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 27
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi
dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal.
(2) Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden Republik Indonesia.
(3) Dalam menjalankan tugasnya Sekretaris Jenderal bertanggungjawab kepada
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Ketentuan mengenai tugas dan fungsi Sekretariat Jenderal ditetapkan lebih lanjut
dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 28
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka
pengembangan dan pembinaan organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi.
BAB V
PIMPINAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Pasal 29
Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan,
atau perbankan;
e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam
puluh lima) tahun pada proses pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
104
i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota
Komisi Pemberantasan Korupsi;
j. tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan
Korupsi; dan
k. mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 30
(1) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) huruf a dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan
calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.
(2) Untuk melancarkan pemilihan dan penentuan calon Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi, Pemerintah membentuk panitia seleksi yang bertugas melaksanakan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur
pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Setelah terbentuk, panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
mengumumkan penerimaan calon.
(5) Pendaftaran calon dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja secara terus
menerus.
(6) Panitia seleksi mengumumkan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan
terhadap nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada panitia seleksi
paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diumumkan.
(8) Panitia seleksi menentukan nama calon Pimpinan yang akan disampaikan kepada
Presiden Republik Indonesia.
(9) Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya daftar
nama calon dari panitia seleksi, Presiden Republik Indonesia menyampaikan nama
calon sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan
yang dibutuhkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(10) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan 5 (lima)
calon yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dalam waktu paling
lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden Republik
Indonesia.
(11) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan di
antara calon sebagaimana dimaksud pada ayat (10), seorang Ketua sedangkan 4
(empat) calon anggota lainnya dengan sendirinya menjadi Wakil Ketua.
(12) Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden Republik
Indonesia selaku Kepala Negara.
(13) Presiden Republik Indonesia wajib menetapkan calon terpilih paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 31
Proses pencalonan dan pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan secara transparan.
105
Pasal 32
(1) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena:
a. meninggal dunia;
b. berakhir masa jabatannya;
c. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan;
d. berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan
tidak dapat melaksanakan tugasnya;
e. mengundurkan diri; atau
f. dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana
kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.
(3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh
Presiden Republik Indonesia.
Pasal 33
(1) Dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden
Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.
(2) Prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal
30, dan Pasal 31.
Pasal 34
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan
dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Pasal 35
(1) Sebelum memangku jabatan, Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Presiden Republik
Indonesia.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan
tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara
apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun
juga”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku
bagi negara Republik Indonesia”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan
wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, seksama, obyektif, jujur, berani, adil,
tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan
akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab
sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima
106
atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap
teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-undang
kepada saya”.
Pasal 36
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang:
a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak
lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun;
b. menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan
keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
derajat ketiga dengan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;
c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas atau
pengurus koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang
berhubungan dengan jabatan tersebut.
Pasal 37
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 berlaku juga untuk Tim Penasihat dan
pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
BAB VI
PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, DAN PENUNTUTAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 38
(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana
korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 39
(1) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan
berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
(2) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(3) Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi
Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan
kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 40
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.
107
Pasal 41
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum negara
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian
internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pasal 42
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersamasama
oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Bagian Kedua
Penyelidikan
Pasal 43
(1) Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyelidikan
tindak pidana korupsi.
Pasal 44
(1) Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang
cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut,
penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurangkurangnya
2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik
atau optik.
(3) Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang
cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik melaporkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan
penyelidikan.
(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut
diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau
dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.
(5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi
dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bagian Ketiga
Penyidikan
Pasal 45
(1) Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan
tindak pidana korupsi.
108
Pasal 46
(1) Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku
dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundangundangan
lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak
mengurangi hak-hak tersangka.
Pasal 47
(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat
melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas
penyidikannya.
(2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai
tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita acara penyitaan
pada hari penyitaan yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita;
b. keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda
berharga lain tersebut;
d. tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan; dan
e. tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang
tersebut.
(4) Salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan
kepada tersangka atau keluarganya.
Pasal 48
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidana korupsi wajib memberikan
keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang
diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.
Pasal 49
Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan disampaikan
kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera ditindaklanjuti.
Pasal 50
(1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi
belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan
oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak tanggal dimulainya penyidikan.
(2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi.
109
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi
melakukan penyidikan.
(4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau
kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh
kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.
Bagian Keempat
Penuntutan
Pasal 51
(1) Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat
dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi
penuntutan tindak pidana korupsi.
(3) Penuntut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jaksa Penuntut Umum.
Pasal 52
(1) Penuntut Umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib
melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri wajib
menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk
diperiksa dan diputus.
BAB VII
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 53
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 54
(1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum.
(2) Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya
meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden.
Pasal 55
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) juga
berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang dilakukan di luar wilayah
negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.
110
Pasal 56
(1) Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan
hakim ad hoc.
(2) Hakim Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
(3) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden Republik Indonesia atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(4) Dalam menetapkan dan mengusulkan calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib
melakukan pengumuman kepada masyarakat.
Pasal 57
(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi hakim sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;
b. berpengalaman mengadili tindak pidana korupsi;
c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya;
dan
d. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin.
(2) Untuk dapat diusulkan sebagai hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan
berpengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun di bidang hukum;
e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada proses pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang
baik;
h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan
i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim
ad hoc.
Pasal 58
(1) Perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara
dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh majelis
hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan
Negeri yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
Pasal 59
(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dimohonkan banding ke
Pengadilan Tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling
111
lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh
Pengadilan Tinggi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis
hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan
Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 juga berlaku bagi hakim ad hoc
pada Pengadilan Tinggi.
Pasal 60
(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi dimohonkan kasasi
kepada Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu
paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara
diterima oleh Mahkamah Agung.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Majelis
Hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3
(tiga) orang hakim ad hoc.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan
berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun di bidang hukum;
e. berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun pada proses pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang
baik;
h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan
i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim
ad hoc.
Pasal 61
(1) Sebelum memangku jabatan, hakim ad hoc wajib mengucapkan sumpah/janji menurut
agamanya di hadapan Presiden Republik Indonesia.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan
tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara
apapun juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada
siapapun juga”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku
bagi negara Republik Indonesia”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan
jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan
menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan
112
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang
berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.
Pasal 62
Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum
acara pidana yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
BAB VIII
REHABILITASI DAN KOMPENSASI
Pasal 63
(1) Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan, yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara bertentangan
dengan Undang-Undang ini atau dengan hukum yang berlaku, orang yang
bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak orang yang
dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan, jika terdapat alasan-alasan
pengajuan praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
(3) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Negeri
yang berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54.
(4) Dalam putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan
jenis, jumlah, jangka waktu, dan cara pelaksanaan rehabilitasi dan/atau kompensasi
yang harus dipenuhi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
BAB IX
PEMBIAYAAN
Pasal 64
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 65
Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 66
Dipidana dengan pidana penjara yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65,
pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang :
113
a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak
lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi
Pemberantasan Korupsi tanpa alasan yang sah;
b. menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan
keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
derajat ketiga dengan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang
bersangkutan;
c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengurus koperasi,
dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan
tersebut.
Pasal 67
Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi dan pegawai pada Komisi Pemberantasan
Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi, pidananya diperberat dengan menambah 1/3
(satu pertiga) dari ancaman pidana pokok.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 68
Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses
hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat
diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 69
(1) Dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi maka Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjadi bagian Bidang Pencegahan pada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(2) Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, sampai Komisi
Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan Undang-
Undang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 70
Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat 1
(satu) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 71
(1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150)
dinyatakan tidak berlaku;
114
(2) Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan wewenangnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 dalam BAB VII
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3851), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 72
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 27 Desember 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 27 Desember 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 137
115
JUARA III
LOMBA POSTER KPK
KATEGORI UMUM
116
JUARA III
LOMBA POSTER KPK
KATEGORI MAHASISWA
117
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2002
TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
I. UMUM
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.
Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang
terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana
yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek
kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana
tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan
sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi
dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan
luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan
secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan
metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan
khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan
manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya
dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan
landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi.
Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,
serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut
Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan
supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan
mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban,
tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang.
Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-
Undang tersebut di atas. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi
sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan
badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh
karena itu pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang118
Undang ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan
dengan berbagai instansi tersebut.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang
ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:
1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan
institusi yang telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga
pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;
2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan;
3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam
pemberantasan korupsi (trigger mechanism);
4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada,
dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang
dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah didukung
oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain:
1) ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang
asas pembuktian terbalik;
2) ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat
melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku
pejabat negara;
3) ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi
kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan
Pemeriksa Keuangan;
4) ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota
Komisi atau pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan
korupsi; dan
5) ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah pentingnya
adalah sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola Komisi
Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang ini memberikan dasar hukum yang kuat
sehingga sumber daya manusia tersebut dapat konsisten dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap
119
sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri
atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan
keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus
melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik
Indonesia.
Di samping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya,
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasihat yang berasal dari
berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang mengenai aspek kelembagaan,
ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi diatur
sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut
berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat
dilakukan secara sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan
Korupsi dapat diawasi oleh masyarakat luas.
Untuk mendukung kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat luas dan berat
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi
perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk
dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan
di daerah provinsi.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,
Komisi Pemberantasan Korupsi di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga
dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus
(lex specialis). Di samping itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan
hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini diatur
mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan
umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakim terdiri
atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
Demikian pula dalam proses pemeriksaan baik di tingkat banding maupun tingkat
kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3
(tiga) orang hakim ad hoc. Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat
pemeriksaan ditentukan jangka waktu secara tegas.
Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-Undang ini diatur pula
mengenai ketentuan rehabilitasi dan kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan
Korupsi melakukan tugas dan wewenangnya bertentangan dengan Undang-Undang
ini atau hukum yang berlaku.
120
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang
dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota
Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait
dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan
apapun.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan :
a. “kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;
c. “akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. “kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan
cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;
e. “proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas,
wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” termasuk Badan Pemeriksa Keuangan,
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-
Departemen.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang,
sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka
tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan
121
kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala
Rumah Tahanan Negara untuk menempatkan tersangka di Rumah Tahanan
tersebut. Lihat pula penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf i.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara”, adalah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, termasuk Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah orang perorangan atau
korporasi.
Huruf g
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari penghilangan atau penghancuran
alat bukti yang diperlukan oleh penyelidik, penyidik, atau penuntut atau untuk
menghindari kerugian negara yang lebih besar.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi
Pemberantasan Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan
tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada
Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menerima penempatan tahanan tersebut
dalam Rumah Tahanan.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
122
Pasal 15
Huruf a
Yang dimaksud dengan “memberikan perlindungan”, dalam ketentuan ini melingkupi
juga pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau
penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan
hukum.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 16
Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai tata cara pelaporan dan penentuan status
gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “bekerja secara kolektif” adalah bahwa setiap pengambilan
keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
123
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Yang dimaksud dengan “jabatan lainnya” misalnya komisaris atau direksi, baik pada
Badan Usaha Milik Negara atau swasta.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “profesinya”, misalnya advokat, akuntan publik, atau dokter.
Huruf k
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Yang dimaksud dengan “transparan” adalah masyarakat dapat mengikuti proses dan
mekanisme pencalonan dan pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
124
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan” dalam ketentuan ini antara lain, kewenangan melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Yang dimaksud “lembaga penegak hukum negara lain”, termasuk kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan badan-badan khusus lain dari negara asing yang menangani perkara tindak
pidana korupsi.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi
tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
125
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan” adalah dihitung berdasarkan
hari dan tanggal yang sama dimulainya penyidikan.
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menetapkan hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, Ketua Mahkamah Agung dapat menyeleksi hakim yang bertugas
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Berdasarkan ketentuan ini maka pemilihan calon hakim yang akan ditetapkan dan
yang akan diusulkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk menjadi hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dilakukan secara transparan dan partisipatif.
Pengumuman dapat dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik guna
mendapat masukan dan tanggapan masyarakat terhadap calon hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi tersebut.
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
126
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Yang dimaksud dengan “hukum acara pidana yang berlaku” adalah sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan
untuk pemeriksaan kasasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Yang dimaksud dengan “biaya” termasuk juga biaya untuk pembayaran rehabilitasi dan
kompensasi.
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4250
127
JUARA III
LOMBA POSTER KPK
KATEGORI PELAJAR
128
FINALIS
LOMBA POSTER KPK
KATEGORI UMUM
129
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi;
c. bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam
masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c
perlu dibentuk Undang-undang yang baru tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.
Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
130
(1) Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
(2) Pegawai Negeri adalah meliputi:
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang
Kepegawaian;
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
(3) Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
Pasal 4
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Pasal 5
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (Lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 6
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
131
Pasal 7
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 atau
Pasal 388 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah).
Pasal 8
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 10
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 11
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 12
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal
420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak RP.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 14
Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan
bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana
korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
132
dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan,
kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadi` tindak pidana korupsi dipidana dengan
pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 17
Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18.
Pasal 18
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh
jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana
dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Pasal 19
(1) Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan
terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan
dirugikan.
(2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga
barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat
mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu
paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka
untuk umum.
(3) Pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
133
(4) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hakim meminta keterangan
penuntut umum dan pihak yang berkepentingan.
(5) Penetapan hakim atas surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pemohon atau penuntut umum.
Pasal 20
(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka
tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau
pengurusnya.
(2) Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke
sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus
di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan
ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 22
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36
yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 23
Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
134
Pasal 24
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak
Rp150.000.000,000 (seratus lima puluh juta rupiah).
BAB IV
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 25
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana
korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.
Pasal 26
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-undang ini.
Pasal 27
Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk
tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.
Pasal 28
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan tersangka.
Pasal 29
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan,
penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
(2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung
sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap.
(4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir
rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti
yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu
juga mencabut pemblokiran.
Pasal 30
Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos,
telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak
pidana korupsi yang sedang diperiksa.
Pasal 31
(1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat
135
pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas
pelapor.
(2) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
Pasal 32
(1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak
pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan
perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
(2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk
menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
Pasal 33
Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas
perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada
instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 34
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera
menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara
atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap
ahli warisnya.
Pasal 35
(1) Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu,
kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa.
(2) Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh
terdakwa.
(3) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat memberikan
keterangan sebagai saksi tanpa disumpah.
Pasal 36
Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga
terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan
rahasia.
.
Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan
baginya.
136
(3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang
diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya, maka keterangan
tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Pasal 38
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan
tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa
kehadirannya.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka
terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang
dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang
sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum
pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan
kepada kuasanya.
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti
yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi,
maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang
yang telah disita.
(6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat
dimohonkan upaya banding.
(7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan
yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 39
Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk
pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
Pasal 40
Dalam hal terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di lingkungan Peradilan
Militer, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf g Undangundang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak dapat diberlakukan.
137
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 41
(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam
bentuk:
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung
jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
(4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma
agama dan norma sosial lainnya.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa
membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana
korupsi.
(2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 43
(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku,
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang
melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan,
138
dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur
Pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja,
pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1). ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-undang.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Nomor 19, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 16 Agustus 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 16 Agustus 1999
MENTERI NEGARA/SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 140
139
FINALIS
LOMBA POSTER KPK
KATEGORI UMUM
140
FINALIS
LOMBA POSTER KPK
KATEGORI PELAJAR
141
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya
merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hakhak
sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu
digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar
biasa;
b. bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran
hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi,
perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu membentuk Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3209);
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851);
4. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan
5. Lembaran Negara Nomor 3874).
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31
142
TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal I
Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:
1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya
sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang
ini.
2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal
12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undangundang
Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat
dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diacu,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian
atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
143
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta
rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan
perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan
bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan
negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah),
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang
lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri
atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu bukubuku
atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri
atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
144
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena
jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat
atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolaholah
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
145
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolaholah
merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,
seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak
langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian
ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.”
3. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal
12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 12A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan
Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun,
dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
146
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan
oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.”
4. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A
yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 26A
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188
ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus
untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas,
maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki
makna.”
5. Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 37 dengan substansi yang berasal dari ayat (1) dan ayat (2) dengan
penyempurnaan pada ayat (2) frase yang berbunyi "keterangan tersebut
dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya" diubah menjadi
"pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti", sehingga bunyi keseluruhan Pasal
37 adalah sebagai berikut:
“Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan
sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.”
b. Pasal 37 A dengan substansi yang berasal dari ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
dengan penyempurnaan kata "dapat" pada ayat (4) dihapus dan penunjukan
ayat (1) dan ayat (2) pada ayat (5) dihapus, serta ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
masing-masing berubah menjadi ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), sehingga
bunyi keseluruhan Pasal 37 A adalah sebagai berikut:
147
“Pasal 37A
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan
harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya,
maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan
tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum
tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.”
6. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A,
Pasal 38 B, dan Pasal 38 C yang seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 38A
Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 38B
(1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda
miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana
korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana
korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana
korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda
tersebut dirampas untuk negara.
(3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada
perkara pokok.
(4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan
berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat
membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada
memori banding dan memori kasasi.
(5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian
yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan
hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
148
Pasal 38C
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga
juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat
melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.”
7. Di antara Bab VI dan Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai Ketentuan
Peralihan yang berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang diletakkan di antara Pasal
43 dan Pasal 44 sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
“BAB VIA
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43A
(1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa
dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum
pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undangundang
ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak
berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undangundang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang ini diundangkan,
diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan
mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana korupsi yang nilainya
kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 A ayat (2) Undang-undang ini.”
8. Dalam BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu) pasal baru yakni Pasal 43 B yang
berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 43B
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387,
Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal
423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana jis. Undangundang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Republik
Indonesia II Nomor 9), Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan
Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara,
dinyatakan tidak berlaku.”
149
Pasal II
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 21 November 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 21 November 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 134
150
151
FINALIS
LOMBA POSTER KPK
KATEGORI MAHASISWA
152
FINALIS
LOMBA POSTER KPK
KATEGORI MAHASISWA
153
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI
KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa Penyelenggara Negara mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam
penyelenggaraan negara untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Dasar 1945;
b. bahwa untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan fungsi
dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, perlu diletakkan
asas-asas penyelenggaraan negara;
c. bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar
Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dan pihak lain
yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan
hukum untuk pencegahannya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c
perlu dibentuk Undang-undang tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme.
Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS
DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
154
1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati
asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
4. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar
Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
5. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum
yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan
masyarakat, bangsa dan negara.
6. Asas Umum Pemerintahan Negara Yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi
norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara
Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
7. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Komisi
Pemeriksa adalah lembaga independen yang bertugas untuk memeriksa kekayaan
Penyelenggara Negara dan mantan Penyelenggara Negara untuk mencegah praktek
korupsi, kolusi dan nepotisme.
BAB II
PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 2
Penyelenggara Negara meliputi:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB III
ASAS UMUM PENYELENGGARAAN NEGARA
Pasal 3
Asas-asas Umum penyelenggaraan negara meliputi:
1. Asas Kepastian Hukum;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3. Asas Kepentingan Umum;
4. Asas Keterbukaan;
155
5. Asas Proporsionalitas;
6. Asas Profesionalitas, dan
7. Asas Akuntabilitas.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 4
Setiap Penyelenggara Negara berhak untuk:
1. menerima gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2. menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan dari atasannya, ancaman
hukuman, dan kritik masyarakat;
3. menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggung jawab sesuai dengan
wewenangnya; dan
4. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 5
Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk:
1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku
jabatannya;
2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
3. melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat;
4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
5. melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan;
6. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan
perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni,
maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7. bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam
perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 6
Hak dan kewajiban Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal
5 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB V
HUBUNGAN ANTAR PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 7
(1) Hubungan antar Penyelenggara Negara dilaksanakan dengan menaati norma-norma
kelembagaan, kesopanan, kesusilaan, dan etika yang berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
156
(2) Hubungan antar Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berpegang teguh pada asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 8
(1) Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan
tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang
bersih.

(2) Hubungan antar Penyelenggara Negara dan masyarakat dilaksanakan dengan
berpegang teguh pada asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.

Pasal 9
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam
bentuk:
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang
penyelenggaraan negara;
b. hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara
Negara;

c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap
kebijakan Penyelenggara Negara; dan
d. hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1. melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2. diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan
norma sosial lainnya.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII

KOMISI PEMERIKSA
Pasal 10
Untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme, Presiden selaku Kepala Negara membentuk Komisi Pemeriksa.
Pasal 11
Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 merupakan lembaga independen
yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara.

Pasal 12

(1) Komisi Pemeriksa mempunyai fungsi untuk mencegah praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme dalam penyelenggaraan negara.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komisi
Pemeriksa dapat melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga terkait baik di
dalam negeri maupun di luar negeri.

Pasal 13
(1) Keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat.
(2) Pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa ditetapkan dengan
Keputusan Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 14
(
1) Untuk dapat diangkat sebagai Anggota Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 seorang calon Anggota serendah-rendahnya berumur 40 (empat
puluh) tahun dan setinggi-tingginya berumur 75 (tujuh puluh lima) tahun.

(2) Anggota Komisi Pemeriksa diberhentikan dalam hal:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Anggota Komisi Pemeriksa diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan
setelah berakhir masa jabatannya dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali
masa jabatan.

(4) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan serta pemberhentian
Anggota Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15

(1) Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas seorang Ketua merangkap
Anggota, 4 (empat) orang Wakil Ketua merangkap Anggota dan sekurang-kurangnya
20 (dua puluh) orang Anggota yang terbagi dalam 4 (empat) Sub Komisi.

(2) Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemeriksa dipilih oleh dan dari para Anggota
berdasarkan musyawarah mufakat.

(3) Empat Sub Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:

a. Sub Komisi Eksekutif;
b. Sub Komisi Legislatif;
c. Sub Komisi Yudikatif; dan
d. Sub Komisi Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah.

(4) Masing-masing Anggota Sub Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diangkat
sesuai dengan keahliannya dan bekerja secara kolegial.

(5) Dalam melaksanakan tugasnya Komisi Pemeriksa dibantu oleh Sekretariat Jenderal.

(6) Komisi Pemeriksa berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.

(7) Wilayah kerja Komisi Pemeriksa meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.


(8) Komisi Pemeriksa membentuk Komisi Pemeriksa di daerah yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Pasal 16

(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Pemeriksa
mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya, yang berbunyi sebagai
berikut:

"Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan
wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, jujur, berani, adil, tidak membedabedakan
jabatan, suku, agama, ras dan golongan dari Penyelenggara Negara yang
saya periksa, dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta
bertanggungjawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa
dan negara".

"Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam tugas dan wewenang saya ini, tidak akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya akan mempertahankan dan mengamalkan
Pancasila sebagai Dasar Negara, melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945, dan
peraturan perundang-undangan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan di hadapan
Presiden.

Pasal 17

(1) Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan
terhadap kekayaan Penyelenggara Negara.

(2) Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah:
a. melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan Penyelenggara
Negara;

b. meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,
atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi, dan
nepotisme dari para Penyelenggara Negara;

c. melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan
Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi, dan
nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang bersangkutan;

d. mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi untuk
penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi,
dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari pihak-pihak yang terkait
dengan penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara yang
bersangkutan;

e. jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau seluruh
harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari korupsi,
kolusi dan nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga
meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) dilakukan sebelum, selama, dan setelah yang bersangkutan menjabat.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
159
Pasal 18

(1) Hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
disampaikan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa
Keuangan.

(2) Khusus hasil pemeriksaan atas kekayaan Penyelenggara Negara yang dilakukan oleh
Sub Komisi Yudikatif, juga disampaikan kepada Mahkamah Agung.

(3) Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan
petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut
disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, untuk ditindaklanjuti.
Pasal 19

(1) Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa
dilakukan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII

SANKSI
Pasal 20

(1) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 angka 1, 2, 3, 5 atau 6 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21

Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah).

Pasal 22
Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah).
BAB IX

KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Dalam waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak Undang-undang ini mulai berlaku,
setiap Penyelenggara Negara harus melaporkan dan mengumumkan harta kekayaan dan
bersedia dilakukan pemeriksaan terhadap kekayaan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-undang ini.
160
BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24
Undang-undang ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 19 Mei 1999
MENTERI NEGARA/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
PROF. DR. H. MULADI, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 75

PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 1999

TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS
DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME
UMUM


1. Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita
perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Undang-
Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa yang sangat penting dalam
pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat para Penyelenggara
Negara dan pemimpin pemerintahan.

Dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) tahun, Penyelenggara Negara tidak dapat
menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, sehingga penyelenggaraan negara
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu terjadi karena adanya pemusatan
kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden/Mandataris Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Di samping itu, masyarakat pun belum
sepenuhnya berperan serta dalam menjalankan fungsi kontrol sosial yang efektif
terhadap penyelenggaraan negara.

Pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab tersebut tidak hanya
berdampak negatif di bidang politik, namun juga di bidang ekonomi dan moneter,
antara lain terjadinya praktek penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan
kelompok tertentu dan memberi peluang terhadap tumbuhnya korupsi, kolusi, dan
nepotisme.

Tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme tersebut tidak hanya dilakukan oleh
Penyelenggara Negara, antar Penyelenggara Negara, melainkan juga Penyelenggara
Negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni, dan para pengusaha, sehingga
merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta
membahayakan eksistensi negara.

Dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sesuai tuntutan
reformasi diperlukan kesamaan visi, persepsi, dan misi dari seluruh Penyelenggara
Negara dan masyarakat. Kesamaan visi, persepsi, dan misi tersebut harus sejalan
dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya Penyelenggara
Negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara sungguh-sungguh,
penuh rasa tanggung jawab yang dilaksanakan secara efektif, efisien, bebas dari
korupsi, kolusi dan nepotisme, sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

2. Undang-undang ini memuat tentang ketentuan yang berkaitan langsung atau tidak
langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, kolusi, dan
nepotisme yang khusus ditujukan kepada para Penyelenggara Negara dan pejabat
lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Undang-undang ini merupakan bagian atau sub-sistem dari peraturan perundangundangan
yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap perbuatan korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Sasaran pokok Undang-undang ini adalah para Penyelenggara
Negara yang meliputi Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, Pejabat
Negara pada Lembaga Tinggi Negara, Menteri, Gubernur, Hakim pejabat negara dan
atau pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

4. Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme, dalam Undang-undang ini ditetapkan asas-asas umum
penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.

5. Pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam Undang-undang ini dimaksud
untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan
negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan hak dan
kewajiban yang dimiliki, masyarakat diharapkan dapat lebih bergairah melaksanakan
kontrol sosial secara optimal terhadap penyelenggaraan negara, dengan tetap
menaati rambu-rambu hukum yang berlaku.

6. Agar Undang-undang ini dapat mencapai sasaran secara efektif maka diatur
pembentukan Komisi Pemeriksa yang bertugas dan berwenang melakukan
pemeriksaan harta kekayaan pejabat negara sebelum, selama dan setelah menjabat,
termasuk meminta keterangan, baik dari mantan pejabat negara, keluarga dan
kroninya, maupun para pengusaha, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak
bersalah dan hak-hak asasi manusia. Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri
atas unsur Pemerintah dan masyarakat mencerminkan independensi atau
kemandirian dari lembaga ini.

7. Undang-undang ini mengatur pula kewajiban para Penyelenggara Negara, antara lain
mengumumkan dan melaporkan harta kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.
Ketentuan tentang sanksi dalam Undang-undang ini berlaku bagi Penyelenggara
Negara, masyarakat, dan Komisi Pemeriksa sebagai upaya preventif dan represif
serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya ketentuan tentang asas-asas umum
penyelenggaraan negara, hak dan kewajiban Penyelenggara Negara, dan ketentuan
lainnya, sehingga dapat diharapkan memperkuat norma kelembagaan, moralitas,
individu dan sosial.

PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Yang dimaksud dengan "Gubernur" adalah wakil Pemerintah Pusat di daerah.
Angka 5
Yang dimaksud dengan "Hakim" dalam ketentuan ini meliputi Hakim di semua
tingkatan Pengadilan.
Angka 6
Yang dimaksud dengan "Pejabat Negara yang lain" dalam ketentuan ini misalnya
Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta
Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya.
165
Angka 7
Yang dimaksud dengan "pejabat lain yang memiliki fungsi strategis" adalah pejabat
yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan
terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:
1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional;
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer,
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.
Pasal 3
Angka 1
Yang dimaksud dengan "Asas Kepastian Hukum" adalah asas dalam negara hukum
yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
Angka 2
Yang dimaksud dengan "Asas Tertib Penyelenggara Negara" adalah asas yang
menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan negara.
Angka 3
Yang dimaksud dengan "Asas Kepentingan Umum" adalah asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
Angka 4
Yang dimaksud dengan "Asas Keterbukaan" adalah asas yang membuka diri terhadap
hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak
asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
Angka 5
Yang dimaksud dengan "Asas Proporsionalitas" adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
Angka 6
Yang dimaksud dengan "Asas Profesionalitas" adalah asas yang mengutamakan
keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Angka 7
Yang dimaksud dengan "Asas Akuntabilitas" adalah asas yang menentukan bahwa
setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 4
Pelaksanaan hak Penyelenggara Negara yang ditentukan dalam Pasal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 UUD 1945 serta ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 5
Dalam hal Penyelenggara Negara dijabat oleh anggota Tentara Nasional Indonesia dan
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka terhadap pejabat tersebut berlaku
ketentuan dalam Undang-undang ini.
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Apabila Penyelenggara Negara dengan sengaja menghalang-halangi dalam
pendataan kekayaannya, maka dikenakan sanksi ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Apabila Penyelenggara Negara yang didata kekayaannya oleh Komisi Pemeriksa
dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar, maka dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Pasal 6
Yang dimaksud dengan "hak dan kewajiban Penyelenggara Negara dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan UUD 1945" adalah hak dan kewajiban yang dilaksanakan dengan
memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat
yang luhur.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, adalah peran aktif
masyarakat untuk ikut serta mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang dilaksanakan dengan menaati norma
hukum, moral, dan sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat (1) huruf d angka 2) merupakan suatu kewajiban bagi
masyarakat yang oleh Undang-undang ini diminta hadir dalam proses penyelidikan,
penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli.
Apabila oleh pihak yang berwenang dipanggil sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi
ahli dengan sengaja tidak hadir, maka dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Pada dasarnya masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang
penyelenggaraan negara, namun hal tersebut tetap harus memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memberikan batasan untuk
masalah-masalah tertentu dijamin kerahasiaannya, antara lain yang dijamin oleh
Undang-undang tentang Pos dan Undang-undang tentang Perbankan.
167
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Yang dimaksud dengan "lembaga independen" dalam Pasal ini adalah lembaga yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan lembaga negara lainnya.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa dalam ketentuan ini, harus berjumlah ganjil.
Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengambil keputusan dengan suara terbanyak
apabila tidak dapat dicapai pengambilan keputusan dengan musyawarah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan, anggota
sub-sub komisi harus berintegritas tinggi, memiliki keahlian, dan profesional di
bidangnya.
Dalam hal terdapat dugaan adanya keterlibatan pihak lain seperti keluarga, kroni, dan
atau pihak lain dalam praktek korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka bagi keluarga,
kroni, dan atau pihak lain tersebut dikenakan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Sekretariat Jenderal bertugas membantu di bidang pelayanan administrasi untuk
kelancaran pelaksanaan tugas Komisi Pemeriksa.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Pembentukan Komisi Pemeriksa di daerah dimaksudkan untuk membantu tugas
Komisi Pemeriksa di daerah. Keanggotaan Komisi Pemeriksa di daerah perlu terlebih
dahulu mendapatkan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ayat (2) ini pada dasarnya berlaku pula bagi Komisi Pemeriksa di daerah.
168
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mempertegas atau menegaskan
perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi Pemeriksa selaku pemeriksa harta
kekayaan Penyelenggara Negara dan fungsi Kepolisian dan Kejaksaan.
Fungsi pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisi Pemeriksa sebelum seorang diangkat
selaku pejabat negara adalah bersifat pendataan, sedangkan pemeriksaan yang
dilakukan sesudah Pejabat Negara selesai menjalankan jabatannya bersifat evaluasi
untuk menentukan ada atau tidaknya petunjuk tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Yang dimaksud dengan "petunjuk" dalam Pasal ini adalah fakta-fakta atau data yang
menunjukkan adanya unsur-unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang" adalah Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3851