SYARAT MELAWAN HUKUM

Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila orang tersebut melanggar undang-undang yang ditetapkan oleh hukum. Tidak semua tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum karena ada alasan pembenar, berdasarkan pasal 50, pasal 51 KUHP. Sifat dari melawan hukum itu sendiri meliputi : a. Sifat formil yaitu bahwa perbuatan tersebut diatur oleh undang-undang. b. Sifat materiil yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak selalu harus diatur dalam sebuah undang-undang tetapi juga dengan perasaan keadilan dalam masyarakat. Perbuatan melawan hukum dapat dibedakan menjadi : • Fungsi negatif yaitu mengakui kemungkinan adanya hal-hal diluar undang-undang dapat menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang. • Fungsi positif yaitu mengakui bahwa suatu perbuatan itu tetap merupakan tindak pidana meskipun tidak dinyatakan diancam pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau aturan-aturan yang ada di luar undang-undang. Sifat melawan hukum untuk yang tercantum dalam undang-undang secara tegas haruslah dapat dibuktikan. Jika unsure melawan hukum dianggap memiliki fungsi positif untuk suatu delik maka hal itu haruslah dibuktikan. Jika unsure melawan hukum dianggap memiliki fungsi negative maka hal itu tidak perlu dibuktikan. D. KESALAHAN Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, maka pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud pertanggungjawaban tindak pidana. Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan. Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut denganopzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan. Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat. Disini dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu. Jika unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil -karena memang maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materiil- maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut. Disamping unsur kesengajaan diatas ada pula yang disebut sebagai unsur kelalaian atau kelapaan atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan disadari atau bewuste schuld. Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati. Wilayah culpa ini terletak diantara sengaja dan kebetulan. Kelalaian ini dapat didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang, atau pelaku dapat tidak melakukan perbuatan itu sama sekali. Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-undang. Maka dari uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa jika ada hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang itu, maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidananya itu.