PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DAN YURIPRUDENSI

Sistem hukum pemeriksaan perkara Tindak Pidana Korupsi hendaknya harus sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku sebagai hukum positifnya (UU 31/1999 jo UU 20/2001). Tindak Pidana Korupsi hanya bersifat prosedural dan administratif sebagaimana termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 1988 tanggal 7 Juli 1988, Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2001 tanggal 20 Agustus 2001,Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2002 tanggal 30 Januari 2002.

, “KEBIJAKAN” yang digariskan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam rangka sistem hukum pemeriksaan perkara Tindak Pidana Korupsi hanya bersifat prosedural dan administratif sebagaimana termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 1988 tanggal 7 Juli 1988, Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2001 tanggal 20 Agustus 2001,Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2002 tanggal 30 Januari 2002.

Walaupun Mahkamah Agung berdasarkan ketentuan Pasal 32 UU 14/1985 jo UU 5/2004 melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggara peradilan di semua lingkungan peradilan. Namun hal tersebut hanya menjalankan kekuasaan kehakiman terutama bidang pengawasan.Sedangkan kepada substansi perkara tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Dikaji dari perspektif teori hukum maka di Indonesia tidak menganut asas “the binding force of precedents” akan tetapi bersifat “persuasieve precedents” maka kebijakan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ketika memutus perkara bukanlah kebijakan yang bersifat mengikat akan tetapi tergantung kepada peradilan bawahannya, terkecuali terhadap yurisprudensi yang bersifat konstan/tetap (vaste jurisprudentie). Dikaji dari perspektif sumber hukum2 maka Yurisprudensi merupakan sumber hukum dalam artian formal.

sOURCE .Net